Apa kabar semua!
Udah lama bener nggak ngisi lagi rumahku yang satu ini 😊
Sibuk dikit wara wiri di laman orang 😋
Kali ini aku ingin berbagi kisah yang semoga bisa di ambil manfaatnya bagi siapapun yang membaca.
Kisah tentang perjalanan haji bersama orang tuaku, mamak!
Semoga betah ikutin kisahnya ya...
Puji
syukur yang tidak terhingga pada Allah Sang Maha
Esa atas segala anugerah di dalam kehidupan ini. Selawat berangkai salam pada
Rasulullah, nabi akhir zaman, beserta
keluarga dan sahabat serta aulia Allah yang mengikuti cahaya Islam hingga dunia berakhir.
Bukan
menjadi suatu mimpi, saat saya harus dihadapkan pada sebuah kenyataan bahwa
Allah masih memberi saya kesempatan untuk dapat kembali ke tanah air bersama
dengan orang tua (Mamak) setelah melaksanakan haji dan umrah pada tahun 2016.
Karena sebelum keberangkatan, saya telah mengikhlaskan diri ini apabila dapat
tinggal di dua kota suci itu walaupun hakikatnya tidak lagi bernyawa.
Memiliki
kenangan dalam melaksanakan ibadah haji menjadikan relung hati saya bercahaya
dan selalu mengingatnya serta berbagi cerita kepada mereka yang bertanya. Akan
tetapi, manakala saya teringat akan sebuah goresan “Yang terucap akan lenyap,
yang tertulis akan abadi”, maka hati
saya kembali bimbang, apakah tetap menyimpan kenangan ini untuk sendiri atau
akan saya bagikan kepada orang lain? Dan, dari sinilah keberanian itu muncul.
Maka...
Setelah tulisan itu sudah terkumpul dalam naskah yang lumayan tebal, akupun mendatangi ketua kloter dan memberikan naskah itu kepada beliau.
Wah, naskah setebal 360 lembar itu langsung dapat tanggapan luar biasa, jauh dari bayangan diri ini. Tidak sampai dua bulan, beliau kemudian menyerahkan tulisan ini untuk melengkapi bukuku.
Assalamu’alaikum
warahmatullahi wabarakatuh.
Alhamdulillah,
puji beserta syukur sama-sama kita panjatkan ke hadirat Allah swt. yang masih memberikan kita nikmat sehat dan nikmat Islam,
sehingga kita masih bisa beraktivitas sebagaimana biasanya, sementara di sisi lain banyak saudara-saudara kita yang masih tergeletak tidak berdaya
karena sakitnya. Selawat beriring salam tidak
jemu-jemunya kita sanjung sajikan ke pangkuan baginda Rasulullah SAW, seorang
tokoh reformis dunia dan juga pemimpin umat yang telah memperjuangkan agama
Allah (Islam) tegak di muka bumi ini.
Naskah
sebanyak 360 halaman lebih ini yang telah ditulis oleh Ibu Hj. Safrida Lubis,
S. Pd. layak untuk dijadikan bacaan dan referensi bagi
kita semua khususnya kaum hawa yang ingin mendarmabaktikan kasih sayang kepada
ibunda tercinta, orang yang dengan susah payah mengandung kita, mempertaruhkan nyawa demi menghadirkan kita ke dunia
yang fana ini, serta membesarkan dan mendidik kita untuk menjadi anak yang
berguna bagi keluarga, agama dan bangsa. Bacaan ini disajikan walaupun tidak
terperinci, akan tetapi sudah mewakili dari kondisi yang sebenarnya dari
perjalanan penulis dan kita diajak ikut bersamanya.
Tulisan
ini disajikan dengan bumbu-bumbu perasaan dan kasih sayang seorang anak kepada
ibu kandungnya yang membawa pembaca seolah-olah berada atau ikut merasakan dan
terbawa dalam kondisi atau keadaan yang dialami penulis. Kita paham bahwa
perjuangan penulis tidaklah semudah membalikkan telapak tangan dan tidak
semudah lidah berucap, akan tetapi dimulai dari pergumulan hati yang membuatnya
harus memilih salah satu di antara banyak pilihan. Siapa, sih, yang tidak ingin sebagai
seorang anak dapat melihat bahkan mendampingi orang tuanya menunaikan rukun Islam
yang kelima (haji)? Namun, hal ini bagi penulis
tidaklah mulus dalam perjalanannya. Ketidakmampuan keuangan menjadi salah satu
kendala, belum lagi kabar duka yang meliputi keluarga dengan meninggalnya
orang-orang tercinta. Usaha untuk mengumpulkan sepeser rupiah terus dilakukan
dengan harapan dapat berangkat bersama suami tercinta dan ibunda tersayang
lagi-lagi dihadapkan pada kenyataan lainnya, bahwa orang yang akan didampingi
hajinya yaitu ibunda suami lebih dahulu menghadap sang khalik.
Ketika
kesedihan sedikit demi sedikit menghilang, dan Allah memanggil penulis untuk
berhaji dengan cara-Nya sendiri (pendamping
lansia), lagi-lagi penulis dihadapkan kepada dua pilihan antara investasi
akhirat (haji) dan investasi dunia (sertifikasi guru) karena penulis merupakan
salah seorang tenaga pengajar pada salah satu sekolah lanjutan menengah atas
yang ada di Kota Langsa, di mana sertifikasi guru merupakan keharusan dalam
mengajar dan lagi-lagi keputusan bisa di ambil walaupun terasa berat. Dan, cobaan yang terberat adalah ketika penulis
dihadapkan kembali kepada dua pilihan, yaitu memilih antara meninggalkan anak
kandungnya atau menemani ibu kandungnya. Kedua pilihan tersebut Bukanlah
pilihan yang mudah, karena selama ini sang buah hati adalah impian dan doa yang
terus dipanjatkan setelah hampir satu dasawarsa menjalin rumah tangga dengan suami tercinta, tapi belum memiliki anak. Ya! Buah hati itu bernama Waffa, sehingga
menimbulkan sisi-sisi lain yang terungkap dalam bacaan ini.
Kami
sendiri selaku petugas haji yang diberi amanah oleh Pemerintah Republik
Indonesia, dalam hal ini Kementerian Agama (Ketua Kloter 1 BTJ Aceh tahun 2016)
merasa terharu dan simpati atas kisah penulis yang disimpan dalam
catatan-catatan kecil dan telah dirangkum dalam suatu buku/bacaan. Kisah yang
disajikan ini dimulai dari prakeberangkatan haji, proses perjalanan haji dan
pascahaji sampai dengan ibunda tercintanya menghadap Sang Ilahi tidak berapa lama dari
pasca kepulangan haji.
Semuanya ini tidak pernah terlintas dan terpikirkan di benak kami sedikit pun, bahwa seorang jamaah
haji kami akan menuliskannya secara lengkap. Karena kami melihat sisi ganda
penulis, selain memang dianya seorang jurnalis, dia juga jamaah haji double (pendamping
lansia), di kesehariannya juga merupakan seorang guru yang bertanggung jawab
terhadap siswa didiknya, sedangkan di rumah dia juga sebagai ibu rumah tangga
yang mengelola rumah tangga dan melayani suaminya serta seorang ibu bagi si
kecil Waffa yang sudah bertahun-tahun diidam-idamkan kehadirannya, dan yang
tidak kalah pentingnya adalah penulis juga sorang anak dari seorang ibu yang
sudah lansia yang sangat membutuhkan bantuan dari anaknya. Ibu inilah yang
menjadi titik awal motivasinya dalam bergelut dengan berbagai masalah yang
timbul dalam pengambilan keputusan. Dan, satu hal
yang membuat penulis selalu terbantu setiap menghadapi masalah yaitu dengan
senantiasa berdoa kepada Allah tidak bosan-bosannya serta memperbanyak zikir
“Subhanaka inni kuntum Minal Dzalimin” dan permohonan “Ya Allah mudahkanlah
urusanku dan jauhkanlah kesusahan dariku”.
Akhir
kata, mudah-mudahan buku ini bermanfaat bagi kita semua dan Allah memberikan kemudahan kepada
kita, agar kita dapat mencurahkan kasih sayang kepada kedua orang tua selagi
mereka masih hidup. Mari bahagiakan mereka, karena ketika mereka telah tiada
semua itu tidak ada artinya.
Nah... sebenarnya tentang apa sih buku itu?
Ini dia jawabannya 😃
Apa
jadinya jika pendamping haji bagi jemaah usia lanjut adalah seorang perempuan?
Perempuan yang kekuatannya tidak seberapa bila dibandingkan kaum laki-laki.
Sebagai seorang pendamping haji usia lanjut, jika masih muda, maka tidak boleh
dalam keadaan hamil saat keberangkatan, mengikuti
kegiatan manasik, akan tetapi namanya masih dalam arti diusulkan, tidak ada
dalam daftar jemaah terpanggil dan selalu dibayang-bayangi dengan kegagalan
berangkat karena visa perjalanan yang tidak jelas. Itulah sedikit kesan yang
saya rasakan sebagai pendamping bagi mamak saya
yang tercatat usia lansia dalam menunaikan haji. Belum lagi, saya harus
berlapang dada jika harus tercampak dari daerah sendiri dan masuk dalam
rombongan daerah lain.
Suka duka
pengalaman dalam berhaji sebagai pendamping usia lansia mengenalkan saya kepada
tokoh pendamping lain di regu sesama lansia, sehingga walau hakikatnya
terasing, semua itu mengajarkan kami ketegaran.
Saya tidak
sedang menggurui siapa pun tentang sebuah perjalanan
ibadah haji. Akan tetapi melalui sekelumit dari kisah nyata yang saya ceritakan
dalam buku ini,
paling tidak memberikan referensi cerita bagi mereka yang rindu akan dua kota
suci itu untuk beribadah umrah maupun haji. Irama perjalanan saya dengan segala
kesenangan dan kesedihan yang menimbulkan rasa suka duka beragam, ketakutan di
pekuburan Baqi’ di Madinah saat berjalan seorang diri, hingga dihadapkan pada
suasana mencekam di sebuah lantai restoran hotel berbintang saya ceritakan di
sini.
Perjalanan
saat di tanah Mekah sampai pada musim haji, merupakan rangkaian kisah saya
dengan beragam rasa yang timbul. Saat harus menjadi pendorong kursi roda sambil
melaksanakan tawaf dan sai, tersesat di Masjidil Haram yang sangat luas
tempatnya dan terjebak di lantai dapur hotel oleh teguran Allah karena saya
melupakan bahwa Mekah adalah tanah haram, berusaha saya ceritakan seadanya.
Penggalan cerita saat menikmati hujan yang mengguyur kota Mekah kala itu,
sampai perjalanan ARMINA yang menyisakan secuil tragedi Arafah di dalam ingatan
juga mewarnai kisah saya pada perjalanan ini. Sampai pada langkah-langkah
perjalanan di hari tasriq hingga mengantarkan saya untuk menuliskan sepenggal
tawaf ifadhah dan detik-detik saya dapat mencium Hajar Aswad sebagai sebuah
cerita yang ingin saya bagikan.
Oke, udahan dulu... Ikuti kisahnya jika ya. 👌