Thursday 31 January 2019


Apa kabar semua!

Udah lama bener nggak ngisi lagi rumahku yang satu ini 😊
Sibuk dikit wara wiri di laman orang 😋

Kali ini aku ingin berbagi kisah yang semoga bisa di ambil manfaatnya bagi siapapun yang membaca.

Kisah tentang perjalanan haji bersama orang tuaku, mamak!
Semoga betah ikutin kisahnya ya...



Puji syukur yang tidak terhingga pada Allah Sang Maha Esa atas segala anugerah di dalam kehidupan ini. Selawat berangkai salam pada Rasulullah, nabi akhir zaman, beserta keluarga dan sahabat serta aulia Allah yang mengikuti cahaya Islam hingga  dunia berakhir.

Bukan menjadi suatu mimpi, saat saya harus dihadapkan pada sebuah kenyataan bahwa Allah masih memberi saya kesempatan untuk dapat kembali ke tanah air bersama dengan orang tua (Mamak) setelah melaksanakan haji dan umrah pada tahun 2016. Karena sebelum keberangkatan, saya telah mengikhlaskan diri ini apabila dapat tinggal di dua kota suci itu walaupun hakikatnya tidak lagi bernyawa.

Memiliki kenangan dalam melaksanakan ibadah haji menjadikan relung hati saya bercahaya dan selalu mengingatnya serta berbagi cerita kepada mereka yang bertanya. Akan tetapi, manakala saya teringat akan sebuah goresan “Yang terucap akan lenyap, yang tertulis akan abadi”, maka hati saya kembali bimbang, apakah tetap menyimpan kenangan ini untuk sendiri atau akan saya bagikan kepada orang lain? Dan, dari sinilah keberanian itu muncul.

Butuh keyakinan besar untuk saya mulai menuliskan paragraf demi paragraf. Perasaan was-was selalu muncul manakala saya telah menata kalimat yang akan saya goreskan di depan komputer, rasa takut kalau-kalau tulisan ini nanti terkesan menggurui, atau apalah yang menjadikan niat itu padam dan saya kembali membiarkan halaman yang telah terbuka dalam keadaan mandul. Hingga akhirnya setelah meminta restu dan doa dari Mamak atas apa yang ingin saya lakukan, pada tanggal sembilan maret, empat bulan setelah kepulangan dari perjalanan haji itu, maka saya memulai dan terus menulis hingga tulisan itu rampung di bulan yang sama pada tahun berikutnya.

Maka... 

Setelah tulisan itu sudah terkumpul dalam naskah yang lumayan tebal, akupun mendatangi ketua kloter dan memberikan naskah itu kepada beliau.
Wah, naskah setebal 360 lembar itu langsung dapat tanggapan luar biasa, jauh dari bayangan diri ini. Tidak sampai dua bulan, beliau kemudian menyerahkan tulisan ini untuk melengkapi bukuku.


Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Alhamdulillah, puji beserta syukur sama-sama kita panjatkan ke hadirat Allah swt. yang masih memberikan kita nikmat sehat dan nikmat Islam, sehingga kita masih bisa beraktivitas sebagaimana biasanya, sementara di sisi lain banyak saudara-saudara kita yang masih tergeletak tidak berdaya karena sakitnya. Selawat beriring salam tidak jemu-jemunya kita sanjung sajikan ke pangkuan baginda Rasulullah SAW, seorang tokoh reformis dunia dan juga pemimpin umat yang telah memperjuangkan agama Allah (Islam) tegak di muka bumi ini.

Naskah sebanyak 360 halaman lebih ini yang telah ditulis oleh Ibu Hj. Safrida Lubis, S. Pd. layak untuk dijadikan bacaan dan referensi bagi kita semua khususnya kaum hawa yang ingin mendarmabaktikan kasih sayang kepada ibunda tercinta, orang yang dengan susah payah mengandung kita, mempertaruhkan nyawa demi menghadirkan kita ke dunia yang fana ini, serta membesarkan dan mendidik kita untuk menjadi anak yang berguna bagi keluarga, agama dan bangsa. Bacaan ini disajikan walaupun tidak terperinci, akan tetapi sudah mewakili dari kondisi yang sebenarnya dari perjalanan penulis dan kita diajak ikut bersamanya.

Tulisan ini disajikan dengan bumbu-bumbu perasaan dan kasih sayang seorang anak kepada ibu kandungnya yang membawa pembaca seolah-olah berada atau ikut merasakan dan terbawa dalam kondisi atau keadaan yang dialami penulis. Kita paham bahwa perjuangan penulis tidaklah semudah membalikkan telapak tangan dan tidak semudah lidah berucap, akan tetapi dimulai dari pergumulan hati yang membuatnya harus memilih salah satu di antara banyak pilihan. Siapa, sih, yang tidak ingin sebagai seorang anak dapat melihat bahkan mendampingi orang tuanya menunaikan rukun Islam yang kelima (haji)? Namun, hal ini bagi penulis tidaklah mulus dalam perjalanannya. Ketidakmampuan keuangan menjadi salah satu kendala, belum lagi kabar duka yang meliputi keluarga dengan meninggalnya orang-orang tercinta. Usaha untuk mengumpulkan sepeser rupiah terus dilakukan dengan harapan dapat berangkat bersama suami tercinta dan ibunda tersayang lagi-lagi dihadapkan pada kenyataan lainnya, bahwa orang yang akan didampingi hajinya yaitu ibunda suami lebih dahulu menghadap sang khalik.

Ketika kesedihan sedikit demi sedikit menghilang, dan Allah memanggil penulis untuk berhaji dengan cara-Nya sendiri (pendamping lansia), lagi-lagi penulis dihadapkan kepada dua pilihan antara investasi akhirat (haji) dan investasi dunia (sertifikasi guru) karena penulis merupakan salah seorang tenaga pengajar pada salah satu sekolah lanjutan menengah atas yang ada di Kota Langsa, di mana sertifikasi guru merupakan keharusan dalam mengajar dan lagi-lagi keputusan bisa di ambil walaupun terasa berat. Dan, cobaan yang terberat adalah ketika penulis dihadapkan kembali kepada dua pilihan, yaitu memilih antara meninggalkan anak kandungnya atau menemani ibu kandungnya. Kedua pilihan tersebut Bukanlah pilihan yang mudah, karena selama ini sang buah hati adalah impian dan doa yang terus dipanjatkan setelah hampir satu dasawarsa menjalin rumah tangga dengan suami tercinta, tapi belum memiliki anak. Ya! Buah hati itu bernama Waffa, sehingga menimbulkan sisi-sisi lain yang terungkap dalam bacaan ini.

Kami sendiri selaku petugas haji yang diberi amanah oleh Pemerintah Republik Indonesia, dalam hal ini Kementerian Agama (Ketua Kloter 1 BTJ Aceh tahun 2016) merasa terharu dan simpati atas kisah penulis yang disimpan dalam catatan-catatan kecil dan telah dirangkum dalam suatu buku/bacaan. Kisah yang disajikan ini dimulai dari prakeberangkatan haji, proses perjalanan haji dan pascahaji sampai dengan ibunda tercintanya menghadap Sang Ilahi tidak berapa lama dari pasca kepulangan haji.

Semuanya ini tidak pernah terlintas dan terpikirkan di benak kami sedikit pun, bahwa seorang jamaah haji kami akan menuliskannya secara lengkap. Karena kami melihat sisi ganda penulis, selain memang dianya seorang jurnalis, dia juga jamaah haji double (pendamping lansia), di kesehariannya juga merupakan seorang guru yang bertanggung jawab terhadap siswa didiknya, sedangkan di rumah dia juga sebagai ibu rumah tangga yang mengelola rumah tangga dan melayani suaminya serta seorang ibu bagi si kecil Waffa yang sudah bertahun-tahun diidam-idamkan kehadirannya, dan yang tidak kalah pentingnya adalah penulis juga sorang anak dari seorang ibu yang sudah lansia yang sangat membutuhkan bantuan dari anaknya. Ibu inilah yang menjadi titik awal motivasinya dalam bergelut dengan berbagai masalah yang timbul dalam pengambilan keputusan. Dan, satu hal yang membuat penulis selalu terbantu setiap menghadapi masalah yaitu dengan senantiasa berdoa kepada Allah tidak bosan-bosannya serta memperbanyak zikir “Subhanaka inni kuntum Minal Dzalimin” dan permohonan “Ya Allah mudahkanlah urusanku dan jauhkanlah kesusahan dariku”.

Akhir kata, mudah-mudahan buku ini bermanfaat bagi kita semua dan Allah memberikan kemudahan kepada kita, agar kita dapat mencurahkan kasih sayang kepada kedua orang tua selagi mereka masih hidup. Mari bahagiakan mereka, karena ketika mereka telah tiada semua itu tidak ada artinya.

Wassalam.

Nah... sebenarnya tentang apa sih buku itu?
Ini dia jawabannya 😃


Apa jadinya jika pendamping haji bagi jemaah usia lanjut adalah seorang perempuan? Perempuan yang kekuatannya tidak seberapa bila dibandingkan kaum laki-laki. Sebagai seorang pendamping haji usia lanjut, jika masih muda, maka tidak boleh dalam keadaan hamil saat keberangkatan, mengikuti kegiatan manasik, akan tetapi namanya masih dalam arti diusulkan, tidak ada dalam daftar jemaah terpanggil dan selalu dibayang-bayangi dengan kegagalan berangkat karena visa perjalanan yang tidak jelas. Itulah sedikit kesan yang saya rasakan sebagai pendamping bagi mamak saya yang tercatat usia lansia dalam menunaikan haji. Belum lagi, saya harus berlapang dada jika harus tercampak dari daerah sendiri dan masuk dalam rombongan daerah lain.

Suka duka pengalaman dalam berhaji sebagai pendamping usia lansia mengenalkan saya kepada tokoh pendamping lain di regu sesama lansia, sehingga walau hakikatnya terasing, semua itu mengajarkan kami ketegaran.

Saya tidak sedang menggurui siapa pun tentang sebuah perjalanan ibadah haji. Akan tetapi melalui sekelumit dari kisah nyata yang saya ceritakan dalam buku ini, paling tidak memberikan referensi cerita bagi mereka yang rindu akan dua kota suci itu untuk beribadah umrah maupun haji. Irama perjalanan saya dengan segala kesenangan dan kesedihan yang menimbulkan rasa suka duka beragam, ketakutan di pekuburan Baqi’ di Madinah saat berjalan seorang diri, hingga dihadapkan pada suasana mencekam di sebuah lantai restoran hotel berbintang saya ceritakan di sini.

Perjalanan saat di tanah Mekah sampai pada musim haji, merupakan rangkaian kisah saya dengan beragam rasa yang timbul. Saat harus menjadi pendorong kursi roda sambil melaksanakan tawaf dan sai, tersesat di Masjidil Haram yang sangat luas tempatnya dan terjebak di lantai dapur hotel oleh teguran Allah karena saya melupakan bahwa Mekah adalah tanah haram, berusaha saya ceritakan seadanya. Penggalan cerita saat menikmati hujan yang mengguyur kota Mekah kala itu, sampai perjalanan ARMINA yang menyisakan secuil tragedi Arafah di dalam ingatan juga mewarnai kisah saya pada perjalanan ini. Sampai pada langkah-langkah perjalanan di hari tasriq hingga mengantarkan saya untuk menuliskan sepenggal tawaf ifadhah dan detik-detik saya dapat mencium Hajar Aswad sebagai sebuah cerita yang ingin saya bagikan.

Terakhir, saya ingin berbagi di dalam catatan perjalanan ini sebagai pendamping dari jemaah usia lansia adalah bahwa kekuatan yang sungguh besar manfaatnya adalah kekuatan Allah semata. Terlebih lagi dalam perjalanan ibadah haji dan umrah, doa adalah jalan kita untuk memohon pertolongan-Nya. Hanya kepada Allah saya pasrahkan segalanya, tentang keikhlasan niat saya dalam menyampaikan, juga manfaat yang diperoleh. Kepada pembaca, terima kasih telah membaca kisah ini.

Oke, udahan dulu... Ikuti kisahnya jika ya. 👌
Share:

Total Pageviews

Popular Posts

Powered by Blogger.

Apakah blog ini bermanfaat?

Translate

Copyright © Ummi Waffa Dan Tulisan | Powered by Blogger

Design by ThemePacific | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com