Sunday 30 October 2016

Bahagia Itu Sederhana



Lelaki bersahaja itu membetulkan letak sarung bercorak pintu aceh yang di pakainya sore ini. Indah nian dalam sorotan retinaku yang menyipit karena cahaya matahari jingga. 

Dauni terkekeh terpingkal-pingkal mendengar jawaban dari lelaki itu atas pertanyaan si ibu yang berada tak jauh dari depannya. Tampak muka sang ibu berubah masam.

"Kau dengar Dahanu, sungguh jawaban yang sempurna dari lidah lelaki itu, aku sangat suka sekali saat dia menjawab dengan 'hate brok' (hati yang buruk)." Dauni tetap terpingkal sejalur angin yang terus menggodanya.

Memang sepintas ku rasakan tidak ada hubungannya sama sekali apa yang menjadi pertanyaan si ibu dengan lelaki itu, yang ku dengar adalah si ibu mengeluhkan dirinya adalah madu dari suaminya, tetapi selalu mendapat hinaan langsung maupun tidak langsung dari istrinya yang pertama, terasa berat sekali bagi dirinya menurut sebagaimana lelaki itu jelaskan sore ini pada surat Annisa, 'kita harus memaafkan' katanya. Jadi kalau kita tidak bisa memaafkan bagaimana? Tanyanya, saya sakit hati! dan itulah jawaban yang di dengar Dauni dari lelaki itu. Hmm.. 'hate brok', aku ingin juga terpingkal seperti Dauni, tapi melihatnya senang seperti itu, cukuplah bagiku hanya diam dan mendoakan si ibu agar di jauhkan dari hal tersebut.

"Bahagia akan kita rasakan jika kita memenuhi hati ini dengan keikhlasan, bahagia itu sederhana, ada kalanya kita melihat anak saat dia tersenyum hati sudah gembira, banyak juga yang harus kumpul-kumpul bersama teman dia baru bisa bahagia, ada dari mereka cukup bersama ibunya maka kebahagian dapat dirasakan, tak sedikit juga harus menipu dirinya sendiri dengan mencari kesenangan yang dalam pandangannya akan berakhir bahagia layaknya teman dari kalangan narkoba, manusia se-ide dalam maksiat, juga sahabat mata yang bersyahwat tanpa kendali, banyak juga mencari kebahagiaan dalam peperangan yang mampu melepaskan lengan dari tangannya, mengucurkan darah dari puluhan pembuluh darah yang di robek pedang, tombak ataupun mata panah agar nyata sumpahnya kepada Allah, mereka kebanyakan adalah rombongan Islam terdahulu dari para sahabat Rasulullah, ada kalanya bahagia hanya datang saat membaca ayat Alquran dengan suara kita sendiri, dan membaca maknanya seperti yang kita lakukan saat ini, maka bahagia itu sederhana sekali, tergantung kepada pilihan hati kita, tapi jangan biarkan hati kita 'brok' (atau buruk)." Lelaki itu menutup lipatan Alquran di depannya.

Yah, pelajaran yang sempurna di pelataran mesjid itu.

"Hei Dahanu, aku merasa bahagia di sini bersamamu sambil ditemani angin yang terus menerpa diri ini, bagaimana denganmu sobat?"

Dahanu melirik Dauni, ada senyum di ujung bibirnya. "Aku lebih bahagia saat-saat seperti ini Dauni, saat ada lelaki bersarung itu berada di pelataran mesjid dan mengajarkan ibu-ibu di sana akan makna Alquran dan aku mampu menatapnya seperti ini." Bisik lirih Dahanu di dalam hati tanpa gema bibirnya. Kata -kata itu terus tenggelam seiring hilangnya matahari ditelan suara azan maghrib.####
Share:

Friday 28 October 2016

Hening (P8)



Detik berdentang lantang
Desah tegar menantang
Oh hati yang berpalung
Lubuk arusmu tak ku tau
Tersungkur diam mata meradang
Tatkala jiwa insan melanglang buana
Pasrah diharibaan kebesaranNya
Telinga yang sunyi dari gema
Cahaya nun jauh di bawah kakimu
Menanti tumpahan sinarnya di hening hati
Langsa, 21 Januari 2016
Share:

Bait Untukmu (P7)



Bening mengalir rindu parasmu
Pujian salawat dan salam agungkan akhlakmu
Harap syafaat di hari penantian
Syukur bertabur larut dalam umatmu
Golongan manusia tak lekang dari lisanmu
Bahkan saat perpisahan bertamu
Umatku…. umatku….. umatku…. bisik lirikmu
Kesabaranmu sekokoh palung karang
Tak menuai memar luka walau musrik Mekkah mencerca hina
Kebeningan jurang hatimu tiada bercela
Manakala kemenangan akan tanah haram tiada berjarak
Hanya rasa aman yang kau tebar bagi para musuh agama ini
Duhai nabi yang ummi
Kilau akhlakmu bersinar terang jauh sebelum jasad sucimu hadir
Duhai ayah sang Zahra
Lisan indahmu terjaga rupa dari makna ganda
Duhai yang berselimut
Ikrar al amin kau sandang jauh sebelum kau ditentang
Duhai kekasih sang khalik
Sungguh tak pantas bulir mata ini memandang wajah indahmu
Hanya kasih syafaatmu
Penawar malu  bahwa aku umatmu
Langsa, Rabiul Akhir 1437 H, 2016
Share:

Saat Masa Bergulir (P6)


Senyumnya membuncah riangmu
Tangisnya menyanyat di kalbu
Tidurnya teduhkan indra nan lara
Sejuk jernih tiada tara
Tapak mungilnya meretas tanya
Bila masa saatnya tiba?
Kaki itu menyusuri bulatnya dunia
Detik berpaling menjemput tahun
Paras balita nan lucu menuai uzurmu
Dangkalnya ilmu serta makna akan dirinya
Menempatkan sang sutra musuhmu yang nyata
Bilakah saat masa itu
Keluhan hidupmu menghancurkan akar sejati
Hingga makna kebenaran pun kau tak tahu lagi
Andai kau sejenak berhenti
Mungkin cinta jernih yang terbalas
Tak kenal henti
Langsa, 1 Februari 2016, 21.41
Share:

Foto Waktu (P5)


Kau berjalan tak menoleh belakang
Sombong dan angkuh lencana yang kau sandang
Walau tanpa suara lantang
Kau mampu membuat mereka terlentang
Hadirmu tak siapa tahu
Terkadang luput dari rasa ingin tahu
Menuai sesal mendalam di kalbu
Sadar bahwa kau jauh telah berlalu
Jejakmu tak kau tinggalkan
Seakan kau berpesan
Bahwa kau tak perlu dikenang
1 Februari 2016
Share:

Hidupmu di Ujung Dentingan Waktu (P4)




Sesungguhnya waktu itu berjalan tak kenal mundur.
Ingin rehat sejenak tapi itu juga bukan solusi agar semua impian mampu terwujud. Dalam pelaksanaannya, malah waktu yang singkat mampu menghasilkan beberapa hal besar.
Ah… perempuan.
Bila kodratmu sebagai seorang yang bersuami, kau harus meluangkan waktu dari dirimu untuk melayani suami secara ikhlas agar keridhaan Allah dan suami atas dirimu dapat menjadi jembatan dirimu menempuh surga dunia dan akhirat.
Duhai perempuan…
Bila kodratmu sebagai gadis lajang yang tiada kunjung datang pendamping hidup, tugasmu adalah tawakkal dan menjaga kesucianmu hingga kelak kau akan dihadiahkan seorang bidadari surga sebagai suamimu yang abadi.
Wahai perempuan…
Jika kodratmu dijadikan sebagai seorang istri dan kau diserahkan tanggung jawab untuk merawat seorang atau beberapa anak manusia dari benih suamimu, maka segenap tenaga dan perasaan harus kau gadaikan demi kebahagiaan dirimu, anakmu,dan suamimu. Malah, bila keluarga suamimu merupakan keluarga besar, kau harus menyiapkan diri beserta tenaga ekstra untuk menyejajarkan diri dengan mereka.
Lirik olehmu didapur, kau harus menyiapkan hidangan tiga waktu untukmu, anak dan suamimu.
Lalu, jangan berhenti dulu bila
piring dan lainnya belum dalam keadaan bersih.
Tanganmu pun belum bisa berhenti apabila melihat meja tempatmu bekerja tadi belum bersih, yah… kompornya sekalian.
Duh… pijakan dikakimu menjadi kotor dan berserakan beberapa kotoran, maka, jangan malu duhai perempuan untuk mengambil sapu dan mulailah membersihkan dengan memerlukan waktu beberapa menit. Ingat! Dalam menit-menit itu kau bukan dikatakan duduk.
Saat kau berada di ruangan kamar, kau lihat pakaian yang bertumpuk pada gantungan disana? Cepat ambil olehmu dan bersihkanlah.
Mending bila ketersediaan air dirumahmu nyaman, dan mesin cuci ada, kau tinggal menekan tombol, selesai deh urusan.
Jika tidak, usahamu harus maksimal juga.
Duhai perempuan,
Jika kau juga seorang pekerja, maka kau harus buru-buru menyiapkan semua urusan rumahmu, bersama suamimu, dan anakmu, baru setelahnya kau bisa pergi apabila suami memberi izin untukmu.
Oh… perempuan.
Kau selalu mengejar waktu.
Atau kau takut ditinggalkan waktu?
Atau? Apa?
Waktu yang menyuruhmu tidak boleh berhenti?
15 Februari 2016
Share:

Sunday 23 October 2016

Rona Pio di Malam Pengantin




"Hei Pio, di malam buta begini warnamu mengapa merona seperti itu? Kau lagi jatuh cinta ya?"

Pio tersenyum merekah, rona jingganya semakin berpendar. "Aku sangat bahagia Dungi, kau tahu, cintaku berbalas indah malam ini, tak pernah kurasakan nikmat layaknya kali ini, oh...aku bersyukur karenanya." Pio masih tersenyum, akan tetapi isaknya berlomba kini dalam rangkaian gemuruh lain.

Dungi merubah posisi stabilnya. Sambil terus merasakan irama kehidupan, hatinya penuh usik akan keadaan sobat karibnya yang selama ini dia tahu selalu dirundung kelabu. Pasalnya tak banyak kata-kata indah selalu di ucapkannya, yang ada hanyalah diam.

"Tumben kau sesenang ini, apa penawar yang diberikan kepadamu, sehingga racun kebungkaman itu cair sobat?"

"Ah... Dungi, kau tau, sungguh hampir seabad lamanya aku dan kamu berjejak di sini, di tubuh insan yang tak pernah meninggalkan kita. Kau tau juga Dungi, bahwa aku selalu dihujani oleh rasa yang jauh sekali dari penghambaan diri kepada Allah, yang selalu kudapati adalah hujan dari rasa kecewa terhadap manusia, kecewa terhadap dunia, kecewa akan hati yang gundah, dan perasaan lainnya yang aku tau tak ada sesal disana.
.
'Tapi kau tau Dungi, malam ini adalah malam pengantinku, kali ini tubuhku di mandikan oleh air hujan dari sungai yang sudah kembali pada tuhannya." Celoteh Pio, jingganya nampak merona indah.

Dungi mencoba memahami sebab keindahan yang mampu dirasakan sobat dekatnya ini, tapi dia belum mampu.

"Dungi, tahukah kau apa yang membuatnya begitu rindu akan tuhannya malam ini?"

"Bagaimana aku tau Pio, aku tak pernah beranjak dari sini." Dungi melirik tempatnya sendiri.

"Hei, kau tak mendengar pesan yang di bawa oleh darah, konon berasal dari hati beberapa waktu lalu?"

"Tidak, aku sedang tidak konsentrasi mungkin, memang apa isi pesan itu?"

"Aku tidak tau detil cerita yang menyebabkan hati juga gembira, tapi intinya dia katakan 'ada kata-kata penyesalan yang mampu menggetarkan dunia kita, yaitu kata-katanya tentang taubatnya kepada Allah akan apa yang telah di lakukan seumur hidupnya ini, juga dia menyebutkan bahwa dia telah memaafkan dosa atau kesalahan orang lain terhadapnya saat ini dan dosa dia terhadap orang lain yang belum sempat dia minta maaf maka dia memohon agar Allah mengampuni dosanya itu. Oh... indahnya Dungi, andai aku mendengarnya langsung, kupastikan aku tak akan tahan oleh getaran yang ditimbulkan itu, syukurlah hanya hati yang mendengarnya, sehingga gema-gemanya saja yang di hantarkan keseluruh jagat tubuhnya."

"Ah Pio, aku masih belum paham sampai saat ini, rasa itu sungguh sangat jauh dari hayalku, mana mungkin....."

Woo.... tubuh yang berdiri tadi beranjak duduk dan,meninggalkan cermin di kamar itu, dengan segenap kekuatan di tekurkan kepalanya dan tak lama jasad itupun tergeletak menyamping di sisi dipan mewah ini.

Dungi mencoba melanjutkan kata-katanya yang terhenti, akan tetapi ada bahagia yang dititipkan oleh hujan airmata,  sehingga kata itu tenggelam.

"Dungi, lanjutkanlah, aku mendengarmu." Pinta Pio.

"Pio, perasaan apa ini? Mengapa hujan yang dititipkan oleh mata memiliki makna yang menggetarkan aku. Oh indahnya, jadi, apakah ini Pio yang sedari tadi kau rasakan, sungguh nikmat rasa ini, laksana penghambaan diri yang tulus, dan kau tau Pio, perasaan ini hanya dongengan belaka dahulu karena kita dengar hanya dari insan yang bertaubat saja, tetapi saat ini kita berada di tempat yang sama dari hamba ini, sungguh ini bukan suatu kebetulan saja."

Pio tak mampu berucap lagi, dalam sanubarinya, mendapatkan rasa nikmat dari hujan airmata yang mengingat kepada Tuhannya atau apapun yang membuat mata mengalirkannya pada tubuhnya adalah keberkahan tersendiri. 
 Angannya melayang menjemput doa, semoga hujan yang akan terus menggenangi halaman tubuhnya adalah air yang menitipkan pesan taubat kepada Tuhannya. ####

Share:

Friday 21 October 2016

Bait-bait Umrah (P2)


Butiran air menyucikan jasad busukmu
Indah lisanmu tak kuasa berucap sempurna
Sepenggal cinta di hati merah
Merekah niat harap batin yang suci

Jas dan gaun kau tanggalkan
Semerbak harum tercium di badan
Saat sujud kedua telah sempurna
Batas kepatuhan diri bahwa kau telah meninggalkan dunia

Aku penuhi panggilanMu ya Allah
Gema cinta yang terhenti di Masjidil Haram
Mata yang fana nanar menatap Ka’bah
Rumah Allah akan cinta Ibrahim dan Ismail

Langkah kaki mengitari Ka’bah
Tunduk ke Allah dan Rasulullah
Berakhir manakala shalat tawaf didirikan
Dengan Ka’bah dan makam Ibrahim sebagai kiblat

Bukit safa kini menjadi tujuan
Berjalan cepat dilembah yang menurun menuju marwah
Wahai Ibunya Ismail
Peluh kasihmu berbuah syiar agama nabi yang Ummi

Mahkota ubun-ubun kau gugurkan
Harap ridha dan ampunan dosa
Ziarah yang telah sempurna
Hanya tertib menjadi penutupnya

Langsa, Minggu, 31 Januari 2016
Share:

Untaian Haji (P3)


Pakaian ihram pada delapan zulhijjah
Berhias ditubuh yang suci dan wangi
Niat tulus kau ikrarkan sempurna
Penghalang diri terhadap pantangan berdenda

Aku penuhi panggilan Mu ya Allah
Untuk mengenali diri sebagai hamba di Arafah
Padang yang menjadi puncak haji sabda Rasulullah
Tempat termakbulnya doa kebaikan apabila di pinta

Langkah patuh mabit di Mudzalifah
Sejenak singgah membekali kantong dengan kerikil
Jika tiba waktunya
Sauh terangkat menuju Mina

Rajmallisyayatin waridhallirrahman
Jumrahmu terlontar gagah
Ula, wustha dan Aqabah
Takbir bergema melayang di lautan kurban

Berbaur dalam pusaran manusia
Thawaf ifadhah sempurna terlaksana
Rukun sai yang berlanjut tahallul
Tertib penutup meniti doa atas diri
Akan haji yang diridhai

Minggu, 07 Februari 2016
Share:

Ka'bah (P1)


Rupamu tak berukir layaknya bangunan megah
Tapi kau karya abadi seorang arsitek kondang tak tertandingi
Empat sisimu lambang kesederhanaan
Ajarkan keikhlasan berbunga ketulusan hati


Kau lihat mereka itu
Para penghuni rumah baitullah
Mengharap kasih sayang Allah dalam tawafnya
Mereka bergerak dinamis Tak lepas dari Allah
Tak pernah tau bahwa energi mereka terpancar ke seluruh jagad raya


Lihat merpati disana
Mungkin mereka masih keturunan keluarga para merpati yang dicincang oleh nabi Ibrahim
Nabi yang halim yang bertambah keimanannya saat melihat hasil cincangannya hidup kembali datang dari arah bukit-bukit  menghampiri beliau
Burung itu tak pernah mampu melintasi atas ka’bah
Karena disitulah sebuah babul ‘ardhi
Satu pintu dengan pusat medan magnet bumi terbesar


Wahai tempatnya hijr Ismail
Rumahmu tempat terkabulnya pinta
Dan hiasanmu sebuah batu yang pernah disentuh oleh hidung Nabi yang Ummi
Hajar Aswad batu dengan derajat tinggi


Langsa, 14 Februari 2016
Share:

Wednesday 19 October 2016

Mengimbangi Fitnah ala Cimi


Kilau mentari menjanjikan kesegaran udara di pagi yang biru.
Malu dan riang dedaunan menyambut tamunya kala itu.

"Bersihkanlah sebagian sayapmu cimi, biar kesegaran yang kau dapatkan."
Seakan tak mendengar dayu suara Rungbu, Cimi menyibukkan diri untuk terus terbang dari satu dahan ke dahan lainnya.

"Cimi, aku sedang bicara padamu! Berhentilah melakukan hal itu terus menerus." Rasa jenuh mulai merajai pelataran sukma Rungbu yang dari tadi sudah beberapa kali mengingatkan sang adik.
Seketika Cimi menghentikan kepakannya. Sebuah dahan yang berdaun pucuk menjadi pilihannya menjejakkan kaki mungilnya. Wajahnya menunjukkan aura tak sedap yang langsung mendapat pelukan sang kakak.

"Ada apa denganmu? Kau lihat, pagi ini begitu indah di rumah kita. Cahaya matahari yang sempurna, dan cepatlah, bila tidak bergegas kau akan ditinggal Ibu untuk piknik sesaat lagi."
"Kau tahu kak! Seharusnya aku bisa merasakan apa yang engkau rasakan saat ini, tapi perasaanku terusik oleh ulah suara itu! Suara-suara di pagi hari yang penuh dengan prasangka dan hasutan terhadap orang lain yang kebenarannya masih diragukan." Cimi mencibir, menampakkan paruh panjangnya yang coba di diselingi dengan siulan kecil nan indah.

"Oh...tentang mereka yang menyibukkan diri dengan gosip itu? Ah... biarlah, mereka kan jauh disana di dalam kotak berwarna, dan biarkan itu menjadi urusan dua orang didepannya, tidakkah kau lihat, mereka tidak merasa terganggu sebagaimana saat ini kau rasakan, mari adikku, kita masih ada rencana yang harus di laksanakan hari ini."

Rungbu mencoba mengepakkan sayapnya, tetapi wajah memelas sang adik menghentikan gerak itu.
"Kak, aku tau bahwa mereka sama saja kedudukannya, baik yang dilihat, maupun orang yang melihat hal bohong tersebut, tapi tidakkah engkau ingat akan pesan ibu tentang  Abu Darda, seorang sahabat dari rahmatan lil'alamin, yang..."

"Iya, iya, kakak masih ingat, kata ibu beliaulah yang menyeru manusia untuk memiliki dunia tanpa terikat kepadanya, ya kan? Orang itu maksudmu?" Rungbu mengepakkan sayap indahnya yang di balas kepakan sang adik dengan gemas.

"Aduh, bukan kak, bukan perkataannya yang itu, tapi perkataannya disaat menghadapi orang yang berbuat dosa, semua orang mengumpatnya, akan tetapi Abu Darda melarang mereka dan berkata: 'Andai kalian menemukan orang ini terperosok di dalam lubang, tidakkah kalian akan mengeluarkannya dari lubang itu?' Lalu mereka menjawab: 'ya.' Kemudian Abu Darda berkata lagi: 'Kalau begitu, janganlah kalian mengumpatnya! Pujilah Allah yang telah menyelamatkan kalian." Cimi kembali bercicit ria.
"Tahukah kamu kakakku sayang, aku sekarang sedang memuji Allah, harapku semoga kebaikan yang dilimpahkan kepada mereka." Cimi tersenyum.

"Duh...terpujinya adikku. Kakak pikir kamu membenci mereka, dari tadi sikapmu membuatku tak nyaman begitu." Rungbu berkicau memperdengarkan suara termerdunya.

"Mengapa aku harus membenci mereka, aku hanya benci kepada perbuatannya saja, tapi jika mereka meninggalkan amal itu, maka mereka adalah saudaraku sebagai mahluk Allah."

Rungbu menatap sinar yang mulai meninggi. Embun terlihat hendak pergi dari peraduannya. Paruhnya di kepakkan beberapa kali. "Cepatlah Cimi, mungkin ibu sudah mengkhawatirkan kita."

Cimi mengikuti arah terbang kakak tercintanya. Setidaknya manakala pagi hari mulai terkotori oleh fitnah dan prasangka buruk para manusia, dirinya, seekor burung, dapat mengimbangi gerak dosa-dosa itu dengan dzikrullah sebanyak yang Cimi mampu.###
Share:

Tuesday 18 October 2016

Cara Bersyukur Sederhana

Hari-hari selalu kita lalui dengan cerita yang tidak sama dengan hari kemarin.

Ada saja keadaan dimana hati memerlukan kesejukan seluas antartika dalam dekapan ingat akan nikmat yang lain.

Secuil hari pasti akan pernah dialami seperti apa yang tersirat di diriku saat ini.

Saat itu adalah....

Maghrib tiba, azan berkumandang dan seperti biasa, abunya waffa bersiap untuk pergi. Seperti biasa pula, waffa bergegas mengekor dengan peci hitam di ubun-ubunnya.

Selesai maghrib nanti, ada takziah selang tiga rumah. Dan karena faktor kurang sehat, maka dari pagi tadi abunya waffa mengambil posisi istirahat, yah… hari ini santai, hari minggu.

Pintu yang tadinya terkunci sudah menganga. Sambil terus membawa pengepel lantai menari bersamaku,dengan santai aku tanyakan mana waffanya!

Respon bingungpun hadir, “ha.. waffa, tinggal di mesjid!” Jawabnya bingung.

Aku melongo diam, pel segera berhenti bekerja dan gagangnya diam seketika.
Hatiku bergerak dinamis dengan kecepatan konstan, hanya doa kesabaran dan perlindungan dari kaum yang zalim terlafazkan tiada jeda.

Tak lama pintu terbuka lagi, waffa berjalan cepat kearahku sambil bersedih.” Ummi, tadi waffa ditinggal di mesjid, waffa sendiri, lalu waffa nangis.” Lapornya sesudah mendarat dalam dekapan pelukku.

“Makanya waffa besok lihat kereta Abu ya, jadi masih bisa lihat sekitar nya dan tau, apa abu masih di situ atau udah pergi.” Kataku dengan lidah yang sebenarnya hampir terbujur lesu.

Hatiku terus kubawa berlari, mengejar tingginya asma ilahi, berusaha untuk terus mengimbanginya dalam aliran darah nadi.

Karena, hanya keseimbangan gerak yang menjaga tidak tergulingnya hati itu.
Alhamdulillah, doaku didengar Allah.
Share:

Sunday 16 October 2016

Sebongkah Rezeki Domi Namel

Domi mencoba keluar dari jalur yang seharusnya dilalui saat ini. Insting binatangnya bekerja dan saraf penciumannya menemukan sesuatu yang menggiurkan sedang menanti di atas sana.

Ujung matanya mencoba menerobos dan melebeli angka berapa yang cocok pada kaki meja yang menghadang di depan. Tapi, ah... apa pentingnya angka itu untuk Domi, toh tidak ada yang harus dilaporkan kepada siapapun untuk angka itu.

Kakinya berjalan cepat mencoba membentuk arus lurus, tapi tidak bisa, sebagai seekor semut, inilah jalur yang bisa kami tempuh, cepat, berhenti sebentar, mengendus-endus, berbelok dan seperti itulah seterusnya, bisiknya lirih.

Hatinya berbunga, aroma segar yang dirasakannya semakin nyata didepan hidungnya.
Akhirnya, dengan nafas terengah dan tetap teratur, kaki lincahnya membawa segenap anggota tubuh mungil itu ke puncak yang menurutnya sangat tinggi.

Domi mencoba menoleh kebawah, sekedar ingin menikmati pemandangan luar biasa dari sudut matanya yang kecil.

"Hai!" Namel mencoba menampakkan cengiran terbagusnya kepada Domi.
Domi tersenyum senang, dalam hatinya dia memberi acungan jempol kepada sahabatnya yang satu ini. Pasalnya, hidung Namel masih berfungsi seperti hidungnya akan makanan segar.

Domi celingukan kekiri dan kebelakang Namel, hal yang di tanggapi oleh Namel dengan berkata, "Ayolah... hanya aku disini, mari kita berangkat terus, bila kau mencari semut lain selain aku, usahamu akan sia-sia."

"Ya, baiklah seharusnya aku sudah tahu itu, pesan akan lautan manisan itu lebih menarik bagi para semut yang lain dibandingkan kesegaran yang sedang aku dan kamu rasakan sekarang, benarkan!" 

"Jadi, dimana buruan kita?" Namel melirik Domi jenaka.
Namel sangat mengerti akan kelebihan sobatnya satu ini. Dalam diri Domi tersimpan naluri pemburu yang hebat dan itu sudah ditunjukkan dalam beberapa kesempatan saat Namel mengikuti jejaknya.

Antena Domi tetap bergerak-gerak mencoba menerima sinyal dari sensor yang terus dihidupkannya.
"Kau lihat disana Namel? bongkahan kristal itulah yang mengganggu penciumanku sehingga aku memutuskan untuk mengubah arah kaki ini."
"Apa kubilang tadi, kau selalu tepat dalam masalah buruan makanan ini, benar kan kawan!" Namel terrsenyum puas.

Domi mempercepat langkah kakinya, tapi walaupun Domi mencoba menciptakan jalur lurus, tetap saja kebengkokan yang terus tercipta.

Domi menyunggingkan senyum saat melihat Namel berputar-putar kegirangan di antara bongkahan kristal gula. Dalam pandangan Domi, bongkahan rezeki itu lebih mirip dengan lautan yang bisa merenggut nyawa mereka kapan saja.

"Cepatlah Namel, ambil gula itu seperlunya dan kita harus segera pergi dari sini."

Domi mempercepat langkah kakinya, di mulutnya telah dipenuhi dengan kristal gula terbaik yang menjadi pilihannya. Namel menoleh, "ayolah.... kita masih bisa tinggal beberapa waktu lagi." Bujuk Namel, seolah dia tidak perduli akan ditinggalkan oleh Domi yang menunggu kehadirannya di sisi meja saat itu juga.

"Sekarang atau kau akan mati Namel?" Teriak Domi.
"Apa, mati, siapa yang akan membunuhku." Namel melongok ke kiri, kanan dan belakang sambil berputar. 
Domi berhenti dan dengan kakinya menunjuk arah yang mampu memutar kembali tubuh Namel. "Itu!" Katanya.
"Manusia itu? Kau bercanda Domi, lihat wajahnya, sungguh indah di pandang mata, tidak mungkin manusia seperti itu tega membunuh diriku yang mungil ini. Benarkan sobat?" Namel menampakkan wajah culunnya pada Domi mengharap jawaban yang akan di katakannya sesuai dengan apa yang kini berseliweran di otak mungilnya.

Domi sangat paham akan temannya yang satu ini. Tapi Domi adalah seekor semut dengan prinsip yang kuat, dia tidak akan membiarkan pemahaman salah tetap memenuhi benak temannya satu ini tentang manusia yang dalam pandangannya sangat tidak mungkin terselip sifat jahat.

Domi menarik nafas pelan. "Kau ingat ini hari apa Namel?"
"Iya, jumat." Namel nyengir. "Tapi apa hubungannya dengan pembunuhan terhadap diriku oleh manusia itu?"

"Sobat terbaikku, jika manusia ini memang baik seperti sangkaanmu, maka seharusnya dia tidak berada disini saat ini. Kau tidak dengar tadi, pada waktu kita mendaki kaki meja ini, telingaku sudah menangkap suara khutbah dari khatib di mesjid sebelah. Nah, sekarang posisi manusia yang satu ini dimana?" Domi tersenyum menang karena telah merubah aura wajah Namel yang sedang mengangkat kedua alis matanya.

Tanpa menunggu mulut sahabatnya mengeluarkan sepotong kata Domi segera melanjutkan. "Kau tau Namel, dihari jumat ini, adalah hari pilihan Allah bagi umat Muhammad untuk melaksanakan shalat jumat, hmm, hari istimewa yang bertabur berkah dan pengurangan rakaat shalat bagi para rijalun untuk shalat dzuhur, yang tadinya  empat rakaat menjadi dua rakaat."

"Mungkin manusia di depan kita ini bukan umat Muhammad Dom!" Namel menyela.

"O... syukurlah, dan kuharap sangkaanmu tepat, karena jika tidak, maka kita dalam masalah besar."
"Maksudmu?"
Domi membalikkan badannya,"Karena jika benar manusia ini umat Muhammad, tapi tidak melaksanakan shalat terlebih lagi shalat jumat karena dia seorang rijalun atau laki-laki, maka sesungguhnya dia telah di laknat oleh Allah, malaikat dan seluruh mahluk hidup seluruh alam, termasuk aku sekarang sedang mendapat perintah Allah untuk melaknatnya," Sejurus kemudian kembali berjalan cepat.

Domi buru-buru memungut beberapa butir kristal dan bergerak mengikuti jejak Domi.
"Jadi, tempat ini juga bahaya untuk kita ya!"
"Ha..Ha..ternyata otakmu jalan juga teman, tempat yang dekat dengan manusia terlaknat oleh Allah seperti itu yang ada hanya keburukan saja, maka kita harus segera menjauhinya, kau lihat mayang-mayang kepala para syaitan yang telah ditancapkan di setiap pori-pori tubuhnya? Itulah yang menjadikan dia susah menjalankan perintah Allah."
Domi mempercepat langkah kakinya yang tak pernah bisa lurus. Dalam benaknya menyayangkan manusia yang terlihat indah itu, seandainya manusia itu mengetahui bahwa shalat jumat yang sekarang sedang di laksanakan oleh jenisnya di mesjid sebelah tempat dia berada merupakan sebongkah rezeki yang dihidangkan khusus untuknya, bukan untuk Domi sang semut dari golongan binatang, maka akan dipastikan manusia ini akan melangkah cepat seperti diriku saat ini. 

"Gimana Namel, apakah lidahmu dapat merasakan sejuknya kristal itu?"
Namel tak sanggup menjawab, mulutnya telah penuh dengan cairan gula yang meleleh di ujung-ujung bibirnya. Kepalanya menggangguk setuju. #####

Share:

Total Pageviews

Popular Posts

Powered by Blogger.

Apakah blog ini bermanfaat?

Translate

Copyright © Ummi Waffa Dan Tulisan | Powered by Blogger

Design by ThemePacific | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com