Saturday 16 February 2019

Nasi soto di Madinah dan kisah sebuah kursi roda





Para jemaah telah memulai ibadah Arba’in yaitu salat sebanyak empat puluh waktu berjemaah di masjid Nabawi, tetapi sesuai kondisi, saya tidak akan mendapatkan kesempatan tersebut secara penuh. Ada perasaan sedikit sedih dalam hal tersebut, tetapi saya mencoba berlapang dada dan berkata pada diri sendiri, Mudah-mudahan Allah memberikan yang terbaik, walaupun demikian dengan izin Allah saya nanti juga akan mendapatkan kesempatan untuk bisa melaksanakan salat berjemaah apabila telah sampai masa suci.

Pintu kamar dibuka, Bu Tuti dan Mamaknya masuk sambil mengucapkan salam. Sebuah kantongan plastik menghiasi genggamannya dan tak lama beliau mengeluarkan isinya sambil berkata, “Makan, yuk!”
“Di mana belinya, Kak?” jawab saya sambil mendekat. Sebuah tempat berwarna putih berisi nasi soto dan dua buah nasi lengkap dengan lauk pauk sekadarnya menjadi perhatian saya.
“Di bawah, banyak orang yang beli, rata-rata para jemaah mengantre untuk membeli, kalau mau Ida ambil aja satu,” katanya ramah sambil menawarkan kepada saya.
“Nggak usah aja, Kak, Ida turun sendiri aja!” jawab saya sambil menanyakan Mamak apa yang harus saya belikan untuk beliau. Setelah bersiap, saya berjalan menyusuri lorong hotel dan mencapai pintu lift.
Beberapa jemaah laki-laki dan perempuan yang berusia jauh di atas saya terlihat memenuhi lorong-lorong hotel. Sebagian mereka ada yang terduduk di lantai yang dihiasi oleh ambal tebal di depan  kamarnya karena tidak dapat masuk dan menunggu kepulangan teman sekamar yang belum pulang dari masjid, ada yang berdiri sambil bercerita antara satu dengan lainnya dan ada yang menunggu terbukanya pintu lift seperti saya.
Perlahan lift berhenti dan membuka pintu. Seketika orang yang berada di dalamnya menyeruak di antara orang yang berdiri dan berjalan keluar di lantai lima yang saya tempati.
“Eh, mau ke mana, Ida?” tanya Kak Anakerabat suami saya yang telah saya sapa saat berada di asrama haji di tanah air.
“Cari nasi, Kak!” jawab saya.
“Ya, ya!” katanya melangkah pergi sesaat sambil menyentuh bahu saya.
Saya hanya tersenyum dan merasakan kebahagiaan saat mengetahui di lantai yang dihuni oleh sebagian besar jemaah dari Aceh Besar, setidaknya ada keluarga yang mampu meniupkan suasana dingin di hati. Sebuah pintu lift dengan tujuan lantai bawah segera terbuka dan saya menghilang bersama ditutupnya pintu tersebut.

***

Matahari belum terbangun dari tidurnya. Akan tetapi, cahayanya yang telah berkirim salam dengan langit menjadikan terciptanya lorong-lorong terang di belakang bangunan-bangunan yang menjulang tinggi. Pintu kaca segera membuka manakala hanya dua langkah terpaut dari saya. Udara panas seketika memenuhi seluruh rongga pernapasan dan membuat saya refleks untuk menarik masker dan berusaha bernapas normal. Inilah kota Madinah, walaupun dikatakan pihak kesehatan dari tanah air bahwa jemaah yang akan berhaji pada musim ini akan merasakan suasana sangat panas lagi yang mencapai lima puluhan derajat celcius pada puncak haji nanti, merasakan panas yang sangat berbeda dari keadaan di tanah air saja sudah menjadikan kerongkongan saya seakan tercekat apabila terlalu lama berbicara tanpa pelindung. Kembali saya bertasbih dan memohon dimudahkan Allah untuk apa pun yang akan saya jalani.
Jemaah lain riuh rendah menanyakan harga kepada penjual yang berdiri di sudut-sudut tiang yang sedikit gelap.
“Berapa harga nasinya, Kak?” tanya saya kepada seorang jemaah asal Kota Langsa yang saya kenal saat sedang menyantap sebungkus nasi bersama suaminya sambil duduk di sisi depan hotel.
“Kalau seperti ini hanya tiga Riyal, tapi ada juga nasi soto dengan harga lima Riyal,” jawabnya sambil tersenyum.
Mata saya kembali menatap jemaah yang membuat lingkaran pada diri sang penjual. Setelah melihat sana sini pada beberapa tempat yang bertumpuk akhirnya saya memilih satu tempat dan berdiri di sana guna mendengarkan pembicaraan mereka.  Mengingat keadaan saya yang tidak paham akan bahasa Arab, saya hanya mematung mendengarkan. Tetapi, perasaan senang segera menghampiri, ternyata sang penjual berbicara dalam bahasa Indonesia dan menawarkan dagangannya dengan lembut sambil menyebutkan harga-harga yang harus dibayar jika membelinya. Setidaknya berkurang sudah kekhawatiran saya untuk mendapatkan kemudahan di saat mencari makanan pagi hari yang harus kami penuhi sendiri disebabkan tidak tersedianya jatah makan yang diberikan oleh negara saat kami berada di Madinah dan beberapa hari lagi saat di Mekah.

***

“Masjidnya jauh, Kak?” tanya saya kepada Bu Tuti dan mulai terbiasa memanggilnya dengan sebutan Kakak.
“Enggak berapa jauhlah, setidaknya dari sini kita berjalan lurus melewati dua gang dari bangunan seperti hotel ini, terus kita ketemu pasar seperti pasar tradisional di tanah air, dari situ aja udah tampak gerbang nomor tujuh dari Masjid Nabawi,” jelas Bu Tuti yang mampu membangkitkan rasa penasaran saya.
Terlintas perkataan Ummi mengenai nomor-nomor gerbang ini.  Kalau kita sampai pada lokasi masjid Nabawi maupun Masjidil Haram, yang perlu kita ingat adalah nomornya, jadi kita masuk lewat pintu itu maka kita keluar juga harus dengan nomor yang sama, pesan beliau saat mengenang perjalanannya ke tanah suci ini.
Saya melihat Mamak yang masih duduk bersandar. Hanya Raihan yang tidak berada di dalam kamar setelah sesaat tadi pulang dan keluar lagi bersama suaminya.
“Mamak sanggup jalan? Kita ikut aja nanti saat Kak Tuti dan Kak Aminah pergi untuk melaksanakan salat Duhur,” kata saya antusias yang dibalas dengan respon Kak Aminah.
“Iya, Mak! Jalan-jalan, biar tahu masjidnya,” katanya sambil tertawa.
“Aku boleh ikut juga ya!” Nek Samidah juga kelihatan bersemangat untuk pergi.
“Boleh aja lho, kita jalan sama-sama, kok!” jawab Bu Tuti sambil berseloroh.
“Siap-siap terus, Mak!” kata saya kepada Mamak sambil melihatnya masih memikirkan sesuatu.
“Hmmm, siap-siap apanya! Cuma mukena aja dibawa, kan?” balasnya sambil menoleh.
Akhirnya, setelah bersiap, saya dan Mamak, Bu Tuti dan Mamaknya, Kak Aminah dan mamaknya serta Nek Samidah melangkahkan kaki menuju masjid dari sebuah kota suci Madinah Almunawarah.
Langkah-langkah kaki yang tadinya berderap sama mulai terlihat perbedaan manakala hotel tempat kami menginap menghilang tertutupi oleh gedung dengan tinggi yang sama. Perlahan jarak terus membentang di antara kami bertujuh. Berulang kali sapaan dan tanya dilontarkan kepada saya oleh Bu Tuti dan Kak Aminah yang mendapati saya harus berhenti berkali-kali dari berjalan oleh permintaan Mamak. Saya tetap menjawab tidak apa-apa dan memberikan mereka pilihan untuk terus berjalan di depan. Semakin lama semakin jauh langkah kaki memisahkan saya dan Mamak yang tertinggal di belakang, hanya punggung Nek Samidah yang masih terlihat walaupun kondisi beliau hampir sama seperti Mamak yang terus berhenti setelah beberapa langkah berjalan akan tetapi beliau lebih terlihat lebih sehat daripada Mamak, sedangkan Bu Tuti dan kak Aminah beserta orang tua mereka sudah hilang dari pandangan.
“Aduh, masih jauh, Ida? Berhenti dulu!” tanya Mamak sambil menekankan intonasi pada nama saya.
Saya meringis, tidak tahu harus mengambil langkah apa. Apakah kembali saja ke hotel atau tetap berjalan walaupun dalam kenyataannya keenam teman saya berjalan tadi telah lenyap sama sekali dari pandangan. Walau terpaksa, bibir saya menjawab pertanyaan dari Mamak yang menggambarkan keletihan luar biasa dengan perjalanan ini. “Ida nggak tahu, Mak, tapi di depan udah tampak gerbang nomor tujuh, pasti masjidnya udah dekat,” jawab saya.
Dalam hati saya berkata sendiri, mungkin bagi saya jarak yang terbentang di depan mata tergolong dekat, tapi bagi Mamak? Mungkin akan bermakna sebaliknya. Mamak tetap mengikuti langkah saya yang berjalan sambil menuntunnya hingga memasuki gerbang yang saya maksud.
Payung-payung megah dan lebar yang selama ini hanya saya saksikan di layar kaca maupun berbagai foto kini hadir di depan  mata dengan indahnya. Gema tasbih berulang kali saya lafazkan dan saya mencoba berbagi kegembiraan dengan Mamak akan hal ini. Melihat wajah Mamak penuh bermandikan keringat, saya menyimpan kembali kata-kata yang hendak saya lontarkan.
“Mamak capek, Da, masih jauh lagi?” tanya Mamak sambil menghentikan langkahnya.
“Udah sampai kita, Mak! Tapi, Ida nggak tampak Bu Tuti dan Kak Aminahnya,” jawab saya sambil mengedarkan pandangan ke pemandangan yang baru pertama ini masuk ke dalam mata saya. Orang-orang yang berbeda wajah antara satu dengan lainnya, gaun hitam yang menjuntai, wajah para jemaah India, Afrika, Pakistan, Afganistan, Cina, membuat saya terpaku. Suasana halaman masjid terasa begitu luas dan seketika saya kehilangan arah untuk menentukan mana timur, barat, utara maupun selatan. Sambil menuntun Mamak untuk duduk di  salah satu dinding payung saya terus memikirkan arah mana yang harus saya ambil untuk bergerak selanjutnya, tapi pertanyaan kembali mengusik saya, akankah mereka semua dapat saya temukan di antara ratusan orang yang sedang berlalu lalang dalam arah yang berbeda-beda? Sedangkan sekarang ini wajah jemaah Indonesia saja, bayangannya tidak saya dapatkan!
Keputusan untuk kembali ke hotel harus saya ambil dan menuntun Mamak berjalan pulang menyusuri jalan yang saya harus kenali sebagai rute perjalanan saat pergi tadi terasa lebih lama. Perjalanan ini sangat memberi pelajaran bagi saya. Ya, Mamak terlalu letih apabila harus berjalan, tidak ada cara lain selain mencari kursi roda sebagai alat bantu saya untuk menuntun langkah Mamak.

***

Saya kembali turun ke lobi hotel guna mencari informasi tempat yang menyediakan kursi roda. Keterbatasan bahasa membuat saya hanya mampu berkomunikasi sebatas jemaah dari tanah air dan mereka juga sama seperti saya, tidak mengetahui tempat yang saya maksud. Sambil memperhatikan para jemaah Indonesia yang baru tiba dari bandara dari kursi lobi, riuh rendah suara dan kesibukan mereka membuat saya bangkit dan kembali ke kamar.
Waktu berjalan dengan keadaan yang saling berseberangan, di satu sisi di luar sana, sengatan matahari membakar apa saja yang disentuhnya, sementara di dalam lorong-lorong hotel ini, rasa nyaman kembali saya rasakan.
“Dari mana, Ida?” tanya Kak Ana. Gelas bening di tangan kanannya masih kosong. Mungkin beliau hendak mengambil air panas yang disediakan pihak hotel di setiap lorong-lorong ini, bisik hati saya.
“Dari bawah, Kak, lagi cari informasi tempat yang menjual kursi roda.
“Untuk siapa kursi roda?”
“Tapi untuk Mamak, Kak! Tapi pagi Ida bawa Mamak jalan, rencana Ida mau ke masjid Nabawi, tapi Mamak nggak sanggup, Kak.
“Kenapa nggak bawa dari tanah air aja kemarin?”
“Ida dengar saran dari orang lain untuk apa dibawa, karena di sini ada katanya!”
“Iya, tapi kalau tidak tahu tempat jualnya, repot juga kan?” kata Kak Ana sambil menepuk bahu saya, “Udah dulu ya, Ida, ini mau buat minuman hangat,” kata beliau sambil tersenyum dan berlalu.
Sambil melangkah menuju pintu kamar, terlintas apa-apa yang merupakan saran dari beberapa orang yang saya temui di bawah tadi, juga Kak Ana baru saja berlalu. Ah, semua buntu, rasanya minuman hangat dari beberapa sachet kopi berkrim yang disediakan untuk seluruh jemaah selama di Madinah siang tadi menjadi pilihan saya guna menghilangkan rasa penat yang hadir.

***

Rasanya terlalu lama saya menunggu pulangnya teman-teman sekamar dari melaksanakan salat Isya yang mereka kerjakan. Mamak terlihat masih berbincang-bincang dengan Nek Samidah tentang apa saja yang mereka anggap menarik pembicaraan. Tidak lama berselang, pintu kamar dibuka dan Bu Tuti masuk beserta mamaknya.
“Nggak pulang sama Kak Aminah, Kak?” tanya saya setelah Bu Tuti meletakkan tas bawaan di sisi tempat tidurnya.
“Kami terpisah, entah ke mana pun dia, nggak tampak lagi. Huh, orangnya lebih banyak dari kemarin, untung Mamak, Kak Tuti pegang kuat-kuat, kalau nggak mungkin terpisah juga. Udah pada berdatangan kloter-kloter dari daerah dan negara lain, Da!” jelas Bu Tuti.
Tak lama pintu terbuka dan Kak Aminah masuk dengan wajah gusar disertai mamaknya di belakang.
“Ha, ini dia! Ke mana tadi dicariin di belakang kok tiba-tiba hilang?” kata Bu Tuti.
“Saya tampak Kakak tadi, cuma karena beberapa orang udah lewat di depan  saya, saya tidak bisa ikuti Kakak lagi, jadi sewaktu saya cari-cari lagi udah nggak tampak, lalu saya tarik tangan Mamak terus, takut terpisah lagi, dan saya duduk terus di tempat yang kosong. Ini pun saya cari Bapak dulu, kata kawannya yang pergi dengan beliau, Bapak juga nggak jumpa dan belum pulang sampai sekarang.”
Saya terdiam mencoba memahami kejadian yang baru terjadi. Di antara begitu banyak orang yang mempunyai tujuan sama yaitu melaksanakan salat di masjid Nabawi, membuat semuanya berkumpul pada satu tempat dan satu titik. Ini belum seberapa dikarenakan masih banyak kloter pertama yang belum sampai di Madinah selama beberapa hari kedepan. Lalu, bagaimana jadinya nanti di musim haji, di mana seluruh jemaah dari kloter gelombang pertama maupun gelombang kedua telah berkumpul semua? Saya mematung sambil terus menikmati nasi jatah malam yang telah disediakan.
“Berarti sama seperti aku yang kemarin juga tersesat waktu pulang. Aku nggak tampak lagi pun kalian, mana hotel ini aku nggak ingat lagi jalannya, untung ada jumpa orang yang tahu saat aku bilang hotel jemaah Indonesia, maka itu dibawanyalah aku ke sini!” Seketika Nek Samidah berbicara yang membuat orang seisi kamar bersahutan dalam kata-kata. Saya kembali hanyut dalam keadaan yang saya tidak tahu bagaimana harus menjalaninya.

***

“Ida, ada yang mau jumpa, nih.Suara Kak Ana menyapa setelah salam di muka pintu kamar.
Apa yang menjadi kebahagiaan bagi setiap orang adalah mendapatkan apa yang menjadi keinginannya secara tak terduga dan dengan cara yang mudah, demikianlah yang saya pikirkan. Kehadiran Kak Ana dengan seorang kerabat yang kata beliau merupakan kerabat dekat di tanah air dari silsilah suami saya membawa kebahagiaan juga rasa syukur yang tiada tara.
Cecek dapat kabar bahwa istri Zakir berangkat dalam kloter ini, jadi saat di bawah tadi berjumpa dengan Dokter Diah, Cecek bilang sama beliau bahwa Ida itu keponakan saya juga kalau dilihat dari suaminya, terus Dokter Diah bilang, ‘Iya, dan mamaknya Ida itu pasien saya udah puluhan tahun.’”
Entahlah, perasaan senang yang bagaimana lagi yang dapat saya ukirkan tentang apa yang ada di hati saya saat ini, menemani Kak Ana dan beliau yang menerangkan silsilah keluarga mampu membuat saya kembali berada di lingkungan keluarga seperti saat saya berada di tanah air. Seiring berjalannya waktu, sekarang beliau telah memiliki sebuah travel yang mengantarkan para jemaah untuk melaksanakan umrah berserta haji dari tanah air.


Cecek dengar Ida butuh korsi roda untuk Mamak, iya?” tanyanya seketika.
“Iya, tapi nggak tahu di mana belinya,” jawab saya sambil melirik Kak Ana.
Pertemuan itu sangat singkat. Bahkan terlalu singkat untuk dapat dijadikan momen berkumpulnya kembali keluarga lama di negara orang. Akan tetapi, kehadiran beliau sebagai paman dari suami saya kembali membuat perasaan syukur saya membuncah dada, sebuah kursi roda yang masih berbalut kertas dan bermerk diserahkan sambil tertawa. Terlebih lagi saat saya menanyakan harga yang hanya dibalas dengan perkataan, “Udah, pakai aja, semoga bermanfaat,” sambil meninggalkan saya yang terdiam di depan pintu lift.

Saya kembali memanggil-manggil Allah dalam hati, Ya Allah, manakah nikmat-Mu yang sanggup aku dustakan? Kalaupun ini merupakan sebuah rencana yang tidak disengaja, maka sungguh kejadiannya sangat sempurna. Jika ini merupakan hadiah bagi Mamak, sungguh kegembiraan itu ada pada diri saya yang memandang indahnya hadiah ini dan betapa sempurnanya ketidaksengajaan perjumpaan ini.

Sambil menunggu pintu lift membuka, mata saya tertuju pada lembaran kertas yang tertempel pada dinding luar lift. Berisikan sebuah ajakan untuk melakukan ziarah ke masjid Nabawi, dan pekuburan Baqi. Oh mungkin ini kabar yang dibawa Bu Tuti tentang agenda ziarah bersama muassasah Madinah esok hari, kata saya pada diri sendiri.


Malam ini, saya gembira dan membagi kegembiraan itu bersama Mamak dan teman sekamar lainnya. Akan tetapi, keadaan pada diri kita tidak selalu sama halnya pada diri orang lain, Kak Aminah berjuang keras bersama Pak Is sebagai ketua regu dan beberapa orang dari panitia kloter untuk mencari bapaknya yang tersesat. Baru menjelang dini hari beliau ditemukan tertidur pada salah satu sudut di dalam masjid Nabawi.

Bersambung ya...
Share:

Inilah detik pertama menapak kaki di Madinah








Burung besi yang kami tumpangi membelah langit malam dan terbang bersandingkan awan dan bintang. Karena kelelahan yang luar biasa, saya mengambil kesempatan untuk mengembalikan kesegaran dengan memejamkan mata. Ingatan-ingatan kembali bermain dalam memori. Teringat akan besarnya nikmat yang Allah rasakan kepada saya saat ini, keluarga dan segalanya yang saya tinggalkan, serta Mamak di samping saya yang sekarang telah terlelap dalam tidurnya. Dalam hati saya mendesah, mengumpulkan segala kekhawatiran diri ‘akankah saya dapat membawa diri saya dan Mamak menjalani keadaan selama sebulan lebih di tempat yang saya baru akan menginjakkan kaki untuk pertama kalinya?’ mengingat hal-hal tersebut, butir air mata menetes pelan dari ujung mata yang terpejam dan saya biarkan terjun bebas tanpa berniat menyekanya. Biarlah percikan-percikan air itu menjadi jejak di langit malam, bahwa seorang anak keluarga Hasan pernah melewati angkasa ini bersama mamaknya dengan rasa keikhlasan yang paling mendalam.

***
  
Cakrawala malam yang pekat perlahan diterangi titik-titik terang yang berbaris menyambut siapa pun yang memandangnya. Seiring pesawat mendekati cahaya-cahaya yang semakin tampak pendarannya, tak lama kemudian pesawat berhenti dan tak bergerak lagi. Para jemaah kembali disibukkan dengan menurunkan barang bawaan dari bagasi masing-masing.
“Mak, yuk kita turun.”
Saya melihat Mamak mencoba bangkit dari kursi dengan susah payah. Perjalanan yang kurang lebih delapan jam telah melemaskan sebagian besar otot-ototnya untuk bergerak cepat. Perlahan Mamak menyusuri lorong-lorong pesawat dengan bersandar di kursi sebelah kiri dan kanannya.
Udara panas menyerbu masuk melalui pernapasan saat saya menggapai pintu pesawat. Beberapa jemaah telah berjalan melewati Mamak dan saya untuk ke sekian kalinya dan langsung turun serta menghilang di dalam kendaraan yang akan mengangkut kami menuju bagian pemeriksaan.
“Pelan-pelan, Bu! Sini saya bantu,” kata seorang pramugari sambil tersenyum ramah. Mamak kemudian menuruni anak tangga yang menurun dibantu pramugari tersebut dan disambut dengan beberapa petugas yang berdiri secara berselang di kaki tangga pesawat. Melihat keadaan itu, saya mempercepat langkah kaki dan berjalan melintasi mereka sambil menjinjing dua tas yang saya letakkan kembali tepat diujung tangga.
“Terima kasih ya, Pak!” jawab saya sambil meraih tangan Mamak dan menuntunnya mendekati tempat di mana dua tas jinjing kami berada. Beberapa jemaah terlihat dalam kelompok-kelompok kecil dengan kachu  yang berbeda dari warna kachu yang saya gunakan. Saya mencoba untuk tenang dan mengikuti para jemaah yang mulai memasuki pintu kendaraan yang terbuka dan berdiri di antara mereka.


Saya mengambil handphone pintar untuk melihat waktu yang menunjukkan pukul sebelas waktu Arab Saudi. Setelah menatap sekeliling yang dipenuhi para jemaah dengan wajah-wajah lelah dan tas di sana sini saya mengabadikan Mamak yang duduk di atas tas jinjing kami sambil memegangi salah satu tiang dalam sebuah foto.



Kendaraan yang kami tumpangi berjalan terseok di antara batu-batu kecil yang mengguncang semua isinya. Hanya sedikit tempat duduk yang tersedia, sehingga sebagian besar dari kami harus berdiri sampai pada tempat yang mengharuskan kami turun di depan sebuah ruangan kaca.


Saya melirik ke sana kemari guna mencari identitas yang menjelaskan bahwa benar inilah bandara Amir Mahmud Airport (AMA) seperti yang dikatakan oleh panitia manasik haji beberapa waktu yang lalu, akan tetapi hasilnya nihil. Sambil bergegas membuntuti terus para jemaah yang masuk melalui pintu kaca, pandangan kembali saya luruskan.

Terlihat kesibukan luar biasa di dalam ruangan ini. Bagaimana tidak, tiga ratus sembilan puluhan jemaah yang baru tiba dari kelompok terbang BTJ satu asal Aceh terlihat mengantre pada barisan-barisan dengan pintu yang dijaga oleh petugas dengan wajah Arab yang kental. Di ujung pemandangan yang lain mata saya baru menangkap bahwa bukan hanya rombongan kami yang baru tiba, akan tetapi jemaah dari Afrika, Afganistan, India telah memenuhi bagian lain dari pintu bandara ini. 
“Banjir! Banjir!” teriak seorang petugas berwajah Indonesia dari sebuah toilet ladies dan kembali melanjutkan kata-katanya dalam bahasa Arab yang tidak saya mengerti kepada seorang teman di sisinya sambil mengangkat kain dari roknya yang terjuntai ke lantai.
Saya melirik sumber suara sesaat. Air tampak menggenangi lantai tempat yang mungkin adalah sebuah toilet kering. Akan tetapi, ramainya lalu lalang orang yang masuk ke sana menjadikan hal tersebut tidak terkendali.
Kembali saya menatap jemaah dengan kachu yang bernada sama dengan warna yang saya dan Mamak gunakan. Entahlah, dalam hati saya terasa lebih tenang apabila saya berada di antara mereka, sehingga walaupun nanti ada saatnya saya membutuhkan pertolongan, setidaknya mereka sudah sedikit paham dengan keadaan saya sekarang.
Tas jinjing kembali saya satukan dan menuntun Mamak untuk pergi mendekati jemaah yang hampir berbilang sedikit ini. Mungkin sebagian besar sudah selesai dari pemeriksaan dan pergi menunggu entah di mana lagi, pikir saya.
“Masih jauh lagi, Da?” tanya Mamak yang mulai kelihatan letih karena harus berjalan dari tempat selesainya pemeriksaan tadi. Berulang kali beliau berhenti sambil memegangi pinggang dan menegakkan badannya sambil meringis.
Saya memandang jauh ke depan, mengikuti arah para jemaah yang terlihat berbaris dengan jarak yang tidak teratur. Mereka terus berjalan sambil menggerek tas jinjing dan terus berjalan. Sambil membenarkan posisi tas jinjing yang tertindih pada bagian atasnya saya kembali menggapai lengan Mamak, “Ida juga nggak tahu, Mak! Tapi, kita harus terus jalan, kalau tidak nanti kita ketinggalan sama rombongan,” jawab saya.

Mamak kembali tegar dan mengangkat kakinya perlahan untuk kemudian berjalan. Ternyata jalan yang harus kami lalui dari pemeriksaan cukup jauh. Untuk saya yang dalam kondisi sehat, hal ini tidak menjadi masalah, akan tetapi bagi Mamak ini merupakan jalan yang sudah sangat panjang dan beliau hampir-hampir tidak bisa untuk melanjutkan.

“Aduh, Da! Berhenti dulu, pinggang Mamak sakit!” keluhnya sambil mencoba bersandar pada dinding yang menemani kami sepanjang jalan tadi.
Mata saya melihat rombongan Kota Langsa telah memenuhi ujung ruangan ini dan berhenti di depan  sebuah pintu yang masih dalam keadaan tertutup. Segera saya memberikan tas jinjing sebagai alas untuk Mamak duduk. Melihat rombongan Kota Langsa yang tidak berapa jauh lagi dari tempat Mamak dan saya berada, perasaan saya sedikit tenang.
Jemaah lain melewati kami sambil menyapa dan segera berlalu saat mendapati jawaban tidak ada masalah dari saya. Akan tetapi, saya tidak melihat kehadiran anggota regu yang sebelumnya bersama-sama saat di asrama haji. Ah, mungkin mereka juga sedang disibukkan dengan urusannya masing-masing, saya membatin.

***
  
“Mak, cepat, Mak!” Dengan tergesa saya menggenggam tas jinjing dan membantu Mamak untuk bangkit. Rombongan Kota Langsa yang telah bergerak sesaat setelah pintu dibuka menjadikan saya bersiap untuk terus mengikuti langkah mereka yang cepat. Udara panas kembali menusuk hidung, walaupun saya telah menggunakan masker, akan tetapi rasa panas itu tetap terasa.
Banyak sekali kendaraan terparkir di halaman ini. ”Bapak-Ibu jemaah agar selalu diingat bahwa mobil-mobil yang akan menjadi angkutan kita selama di Mekah maupun Madinah nanti adalah kendaraan yang bertuliskan BTJ 01, Bukan yang lain.Pesan dari panitia kembali terngiang di kepala saya. Setelah terus mengikuti jemaah itu, akhirnya sampai juga di depan  kendaraan yang bertuliskan BTJ 01 Bus No:4. Saya melirik ke sana kemari untuk  mencari wajah yang saya kenal guna bertanya ‘saya naik bus nomor berapa?’  akan tetapi masing-masing jemaah dalam kesibukannya dan mereka juga terlihat bingung.
“Udah, Dek, naik bus ini aja!” kata seorang ibu yang mungkin membaca apa yang sedang saya pikirkan, “yang penting ini, kan, bus BTJ 01,” katanya lagi.
Sambil menimbang-nimbang melihat kondisi Mamak yang sudah sangat keletihan dan mengingat perkataan panitia tentang kondisi kendaraan yang ada akan berbeda untuk setiap keadaan, ada yang menyediakan sesuai jumlah kursi dalam satu rombongan, ada pula yang kursinya tidak mencukupi, sehingga sebagian rombongan harus naik pada kendaraan berikutnya, hal itu tidak menjadi masalah, asalkan BTJ 01 maka seluruh jemaah boleh naik. Tapi, alangkah baiknya apabila tetap bersama-sama dalam satu regu.

Saya membuang napas demi mengingati itu semua. Jangankan mencari anggota yang satu regu, tempat bertanya saja tidak ada. Mungkin inilah saatnya untuk menjadi jemaah calon haji yang mandiri seperti yang terus ditekankan oleh panitia manasik. Walaupun tersedianya ketua regu, ketua rombongan dan ketua kloter, akan tetapi mereka semua mempunyai tugas dan kesibukan masing-masing, kata saya pada diri sendiri. Setelah mendengar Mamak melontarkan pertanyaan apa lagi yang kita tunggu, saya pun bergegas naik dan duduk pada salah satu kursi kosong.
Perasaan lapar kembali datang, begitu juga sepertinya dengan Mamak. Bekal yang dibagikan oleh pihak pesawat tadi segera dibuka dan beliau menikmatinya dalam keadaan yang benar-benar terlihat santai.

Malam merangkak lambat. Setelah melihat kembali waktu pada layar handphone, saya tertidur pulas saat kendaraan belum menunjukkan tanda-tanda untuk bergerak sama sekali.

★★★

Pegunungan ini terlihat indah. Rumah-rumah penduduk menempati tempat-tempat pada bagian lembah yang sedikit landai. Pantai datar terhampar di bagian bawah kaki gunung dihubungkan dengan anak-anak tangga yang terbuat dari lereng Bukit itu sendiri sampai kedasarnya terlihat sangat indah. Beberapa pengunjung memanjakan tubuh mereka dengan berendam pada tempat-tempat yang tidak dalam. Saya tersenyum senang manakala menatap birunya lautan di cakrawala yang hampir menguning.

Dengan gembira langkah kaki ini saya bawa untuk menyusuri jalan setapak dilereng gunung dan berniat pulang. Deru ombak tak bersuara tiba-tiba pecah. Berulang kali percikannya sampai di lereng gunung dan membuat saya mempercepat langkah agar tidak basah. Akan tetapi, debur ombak semakin tinggi dan bergemuruh, seperti ombak yang datang pada barisan batu-batu karang. Saya kembali tertegun menatap laut biru masih dalam keadaan tenang di tengahnya, kaki saya terhenti dan membiarkan air laut berkirim salam pada pakaian yang saya gunakan.

Tangan saya menggapai lengan yang kini basah dan mengusapnya berkali-kali. Ternyata lengan saya sedang digerak-gerakkan oleh Mamak yang duduk di samping. Sambil merilekskan badan, saya segera mengawasi keadaan di dalam kendaraan yang disibukkan dengan para jemaah yang melangkah turun dengan tas jinjing mereka di tangan. Saya mengeluarkan handphone dan menekan tombolnya. Jam tiga waktu Arab Saudi, berarti dibutuhkan waktu selama empat jam dari pemeriksaan di bandara sampai hotel tempat tujuan kami. Kembali saya terngiang mimpi yang baru menyapa, ah, hanya sebuah mimpi! Tapi entahlah, semoga hanya kebaikan yang tersurat dari mimpi-mimpi di dalam tidur.

***
  

Suasana di dalam dan luar ruangan layaknya seperti pasar. Suara orang-orang berbicara dalam beberapa bahasa menemani timbunan koper-koper yang baru saja diturunkan dengan susah payah dari sebuah kendaraan pengangkut dan ditumpukkan di sana sini. Seorang panitia dengan jas rompi tak berlengan dilengkapi warna bendera Indonesia di dada kanannya membagi-bagikan kartu nama kepada jemaah yang baru turun dari kendaraan sambil tersenyum ramah.

“Untuk apa ini, Dek?” tanya saya ingin tahu kepada panitia yang wajahnya menegaskan bahwa statusnya mungkin sebagai mahasiswa. Siapa tahu hal ini merupakan salah satu kartu-kartu yang dipakai seperti layaknya lembaran DAPIH yang disobek di dalam pesawat dan tempat pemeriksaan tadi.
“Untuk identitas, Bu! Ini adalah Amjad Hotel,” katanya sambil menunjuk sebuah gambar denah lokasi di belakang kartu.
Saya mengangguk tanda mengerti. Berarti hanya sebuah kartu nama. Setelah tersenyum, kembali hal yang sama dilakukannya pada peserta lain di belakang saya.
Saya mencoba untuk melangkah pelan di antara jemaah yang sebagian telah mengambil posisi duduk di atas tas jinjing mereka dan berhenti saat tidak ada ruang lagi untuk saya menggerek tas bawaan saya dan Mamak.  
“Duduk di sini aja, Mak!” kata saya sambil menuntun Mamak duduk di atas tas jinjing kami.
Beberapa jemaah laki-laki dari Kota Langsa yang saya ketahui ditunjuk sebagai ketua regu dan rombongan terlihat sedang bernegosiasi dengan beberapa orang berwajah Arab yang mungkin sebagai pemilik hotel dengan bahasa berbeda antara satu dengan lainnya. Akan tetapi, kehadiran wajah baru Indonesia yang ditugaskan sebagai panitia penerimaan di Madinah menjadi penengah dalam pembicaraan tersebut, mungkin lebih tepatnya sebagai penerjemah.


Pak Is sebagai ketua regu saya dan Mamak dan beberapa orang lainnya, berkali-kali menghampiri kami dengan membawa selembar kertas dan berkata, “Sebentar, ya! Urusan kamar belum beres lagi ini.” Tampak beliau sedikit kebingungan sambil mengulang-ulang tentang masalah ‘regu yang keberapa dan bagaimana ini!’ 
Setelah menunggu lama, akhirnya kami dipersilakan untuk mengantre pada lift hotel. Butuh kesabaran yang tinggi agar bisa berada di dalam lift. Wajah-wajah lelah para orang tua, beragam sifat dari jemaah yang menghiasi diri masing-masing, ada yang mengalah dan ada yang tidak, banyaknya barang-barang yang menemani para jemaah, ketersediaan lift yang hanya berjumlah empat pintu untuk mengangkut orang sebanyak ini, menjadikan hal ini benar-benar sebagai ujian pengendalian diri.
Akhirnya sebuah kamar luas yang berisi delapan ranjang tidur menjadi tempat peristirahatan yang sesungguhnya.
“Hei! Alhamdulillah kita jumpa lagi ya,” sorak Bu Tuti senang dan saya menyambutnya dengan gembira.
“Iya, kalau jodoh nggak akan ke mana ya!” jawab Mamak sambil tersenyum juga.
“Cuma kita berempat aja nih, tapi ranjangnya ada delapan?” tanya Bu Tuti.
“Belum tahu juga Bu, tapi pasti nggak mungkin ya kita aja di sini, sebentar lagi pasti ada jemaah lain lagi.”
“Ida udah ambil koper ya?” tanya Bu Tuti sambil melihat dua koper besar telah memenuhi di sudut ruangan. “Saya mau cari tas koper juga dulu ya!” katanya setelah meletakkan tas jinjing, kemudian menghilang di balik pintu.
Seiring waktu berlalu, ranjang-ranjang tadi telah dipenuhi para teman yang akan selalu menemani dalam perjalanan ibadah haji ini. Bu Tuti dan orang tuanya, Ibu Aminah dan orang tuanya, Nenek Samidah yang berangkat tanpa pendamping dan Raihan, merupakan jemaah lebih muda di antara kami semua yang berangkat didampingi oleh suaminya.
Ruangan hotel berbintang yang disediakan membuat kami merasakan suasana nyaman beristirahat ditemani cerita-cerita yang menjadi bumbu pada perjalanan ini sampai alunan azan Subuh  dari Masjid Nabawi terdengar.
Saya hanya memperhatikan mereka bergegas untuk berangkat menuju panggilan.
“Setelah azan Subuh  kita masih memiliki waktu yang panjang kalau di Madinah. Cukup untuk kita berjalan kaki sebelum iqamah bergema,” jelas Raihan yang ternyata telah satu kali menunaikan ibadah haji beberapa tahun yang lalu. Memandang Raihan, mengingatkan saya kembali akan sosok yang pernah menjadi perhatian saya saat berada di anak tangga masjid sambil menutup lipatan laptop dan menunggu suami saya selesai melaksanakan salat Isya serta tarawihnya. Akan tetapi, ingatan itu segera saya hilangkan, mungkin perasaan saya saja, ucap saya sendiri.
Keadaan saya yang masih dalam keadaan haid menjadikan saya memilih untuk berada di dalam hotel ditemani Mamak dan Nek Samidah. Alhamdulillah ya Allah, kau berikan kesempatan diri ini untuk melangkahkan kaki dengan aman di negeri kekasih-Mu, Madinah Al Munawarah, saya berkata lirih dalam hati sambil memejamkan mata. 😍

Bersambung....





Share:

Total Pageviews

Popular Posts

Powered by Blogger.

Apakah blog ini bermanfaat?

Translate

Copyright © Ummi Waffa Dan Tulisan | Powered by Blogger

Design by ThemePacific | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com