Para jemaah
telah memulai ibadah Arba’in yaitu salat
sebanyak empat puluh waktu berjemaah di masjid Nabawi, tetapi sesuai kondisi,
saya tidak akan mendapatkan kesempatan tersebut secara penuh. Ada perasaan
sedikit sedih dalam hal tersebut, tetapi saya mencoba berlapang dada dan
berkata pada diri sendiri, Mudah-mudahan Allah memberikan yang terbaik,
walaupun demikian dengan izin Allah saya nanti juga akan mendapatkan kesempatan
untuk bisa melaksanakan salat berjemaah apabila telah sampai masa suci.
Pintu kamar dibuka, Bu Tuti dan Mamaknya masuk sambil
mengucapkan salam. Sebuah kantongan plastik menghiasi genggamannya dan tak lama
beliau mengeluarkan isinya sambil berkata, “Makan, yuk!”
“Di mana belinya, Kak?” jawab saya sambil mendekat.
Sebuah tempat berwarna putih berisi nasi soto dan dua buah nasi lengkap dengan
lauk pauk sekadarnya menjadi perhatian saya.
“Di bawah, banyak orang yang beli,
rata-rata para jemaah mengantre untuk membeli, kalau mau Ida ambil aja satu,”
katanya ramah sambil menawarkan kepada saya.
“Nggak usah aja, Kak, Ida turun sendiri aja!” jawab
saya sambil menanyakan Mamak apa yang harus saya belikan untuk beliau. Setelah
bersiap, saya berjalan menyusuri lorong hotel dan mencapai pintu lift.
Beberapa jemaah laki-laki dan
perempuan yang berusia jauh di atas saya terlihat memenuhi lorong-lorong hotel.
Sebagian mereka ada yang terduduk di lantai yang dihiasi oleh ambal tebal di
depan kamarnya karena tidak dapat masuk
dan menunggu kepulangan teman sekamar yang belum pulang dari masjid, ada yang
berdiri sambil bercerita antara satu dengan lainnya dan ada yang menunggu terbukanya pintu lift seperti saya.
Perlahan lift berhenti dan membuka pintu. Seketika orang yang berada
di dalamnya
menyeruak di antara orang yang berdiri dan berjalan keluar di lantai lima yang saya tempati.
“Eh, mau ke mana, Ida?” tanya Kak Ana—kerabat suami saya yang telah saya
sapa saat berada di asrama haji di tanah air.
“Cari nasi, Kak!” jawab saya.
“Ya, ya!” katanya melangkah pergi
sesaat sambil menyentuh bahu saya.
Saya hanya tersenyum dan merasakan
kebahagiaan saat mengetahui di lantai
yang dihuni oleh sebagian besar jemaah dari Aceh Besar, setidaknya ada keluarga
yang mampu meniupkan suasana dingin di hati. Sebuah pintu lift dengan tujuan
lantai bawah segera terbuka dan saya menghilang bersama ditutupnya pintu
tersebut.
***
Matahari belum terbangun dari
tidurnya. Akan tetapi,
cahayanya yang telah berkirim salam dengan langit menjadikan terciptanya
lorong-lorong terang di belakang
bangunan-bangunan yang menjulang tinggi. Pintu kaca segera membuka manakala hanya dua langkah terpaut
dari saya. Udara panas seketika memenuhi seluruh rongga pernapasan dan membuat
saya refleks untuk menarik masker dan berusaha bernapas normal. Inilah kota
Madinah, walaupun dikatakan pihak kesehatan dari tanah air bahwa jemaah yang
akan berhaji pada musim ini akan merasakan suasana sangat panas lagi yang
mencapai lima puluhan derajat celcius pada puncak haji nanti, merasakan panas
yang sangat berbeda dari keadaan di tanah air saja sudah menjadikan
kerongkongan saya seakan tercekat apabila terlalu lama berbicara tanpa
pelindung. Kembali saya bertasbih dan memohon dimudahkan Allah untuk apa pun
yang akan saya jalani.
Jemaah lain riuh rendah menanyakan
harga kepada penjual yang berdiri di sudut-sudut tiang yang sedikit gelap.
“Berapa harga nasinya, Kak?” tanya saya kepada seorang jemaah
asal Kota Langsa yang
saya kenal saat sedang menyantap sebungkus nasi bersama suaminya sambil duduk
di sisi depan hotel.
“Kalau seperti ini hanya tiga Riyal,
tapi ada juga nasi soto dengan harga lima Riyal,” jawabnya sambil tersenyum.
Mata saya kembali menatap jemaah
yang membuat lingkaran pada diri sang penjual. Setelah melihat sana sini pada
beberapa tempat yang bertumpuk akhirnya saya memilih satu tempat dan berdiri di
sana guna mendengarkan pembicaraan mereka. Mengingat
keadaan saya yang tidak paham akan bahasa Arab, saya hanya mematung
mendengarkan. Tetapi,
perasaan senang segera menghampiri, ternyata sang penjual berbicara dalam
bahasa Indonesia dan menawarkan dagangannya dengan lembut sambil menyebutkan
harga-harga yang harus dibayar jika membelinya. Setidaknya berkurang sudah
kekhawatiran saya untuk mendapatkan kemudahan di saat mencari makanan pagi hari yang harus kami penuhi
sendiri disebabkan tidak tersedianya jatah makan yang diberikan oleh negara saat kami berada di Madinah
dan beberapa hari lagi saat di Mekah.
***
“Masjidnya jauh, Kak?” tanya saya kepada Bu Tuti dan
mulai terbiasa memanggilnya dengan sebutan Kakak.
“Enggak berapa jauhlah, setidaknya
dari sini kita berjalan lurus melewati dua gang dari bangunan seperti hotel
ini, terus kita ketemu pasar seperti pasar tradisional di tanah air, dari situ
aja udah tampak gerbang nomor tujuh dari Masjid Nabawi,” jelas Bu Tuti yang
mampu membangkitkan rasa penasaran saya.
Terlintas perkataan Ummi mengenai
nomor-nomor gerbang ini. “Kalau kita sampai pada lokasi masjid
Nabawi maupun Masjidil Haram, yang perlu kita ingat adalah nomornya, jadi kita
masuk lewat pintu itu maka kita keluar juga harus dengan nomor yang sama,” pesan beliau saat mengenang
perjalanannya ke tanah
suci ini.
Saya melihat Mamak yang masih duduk
bersandar. Hanya Raihan yang tidak berada di dalam kamar setelah sesaat tadi
pulang dan keluar lagi bersama suaminya.
“Mamak sanggup jalan? Kita ikut aja
nanti saat Kak Tuti dan Kak Aminah pergi untuk melaksanakan salat Duhur,” kata
saya antusias yang dibalas dengan respon Kak Aminah.
“Iya, Mak! Jalan-jalan, biar tahu masjidnya,” katanya sambil
tertawa.
“Aku boleh ikut juga ya!” Nek
Samidah juga kelihatan bersemangat untuk pergi.
“Boleh aja lho, kita jalan sama-sama, kok!” jawab Bu Tuti sambil
berseloroh.
“Siap-siap terus, Mak!” kata saya kepada Mamak sambil
melihatnya masih memikirkan sesuatu.
“Hmmm, siap-siap apanya! Cuma mukena aja
dibawa,
kan?” balasnya sambil menoleh.
Akhirnya, setelah bersiap, saya dan Mamak,
Bu Tuti dan Mamaknya, Kak Aminah dan mamaknya serta Nek Samidah melangkahkan kaki menuju masjid
dari sebuah kota suci Madinah Almunawarah.
Langkah-langkah kaki yang tadinya
berderap sama mulai terlihat perbedaan manakala hotel tempat kami menginap
menghilang tertutupi oleh gedung dengan tinggi yang sama. Perlahan jarak terus
membentang di antara kami bertujuh. Berulang kali sapaan dan tanya dilontarkan
kepada saya oleh Bu Tuti dan Kak Aminah yang mendapati saya harus berhenti
berkali-kali dari berjalan oleh permintaan Mamak. Saya tetap menjawab tidak
apa-apa dan memberikan mereka pilihan untuk terus berjalan di depan. Semakin
lama semakin jauh langkah kaki memisahkan saya dan Mamak yang tertinggal di
belakang, hanya punggung Nek Samidah yang masih terlihat walaupun kondisi
beliau hampir sama seperti Mamak yang terus berhenti setelah beberapa langkah
berjalan akan tetapi beliau lebih terlihat lebih sehat daripada Mamak, sedangkan Bu
Tuti dan kak Aminah beserta orang tua mereka sudah hilang dari pandangan.
“Aduh, masih jauh, Ida? Berhenti dulu!” tanya Mamak
sambil menekankan intonasi pada nama saya.
Saya meringis, tidak tahu harus
mengambil langkah apa. Apakah kembali saja ke hotel atau tetap berjalan
walaupun dalam kenyataannya keenam teman saya berjalan tadi telah lenyap sama
sekali dari pandangan. Walau terpaksa, bibir saya menjawab pertanyaan dari Mamak
yang menggambarkan keletihan luar biasa dengan perjalanan ini. “Ida nggak tahu, Mak, tapi di depan udah tampak gerbang nomor tujuh, pasti masjidnya
udah dekat,” jawab saya.
Dalam hati saya berkata sendiri,
mungkin bagi saya jarak yang terbentang di depan mata tergolong dekat, tapi
bagi Mamak?
Mungkin akan bermakna sebaliknya. Mamak tetap mengikuti langkah saya yang
berjalan sambil menuntunnya hingga memasuki gerbang yang saya maksud.
Payung-payung megah dan lebar yang
selama ini hanya saya saksikan di layar kaca maupun berbagai foto kini hadir di
depan mata dengan indahnya. Gema tasbih
berulang kali saya lafazkan dan saya mencoba berbagi kegembiraan dengan Mamak
akan hal ini. Melihat wajah Mamak penuh bermandikan keringat, saya menyimpan
kembali kata-kata yang hendak saya lontarkan.
“Mamak capek, Da, masih jauh lagi?” tanya Mamak sambil menghentikan
langkahnya.
“Udah sampai kita, Mak! Tapi, Ida nggak tampak Bu Tuti dan Kak
Aminahnya,” jawab saya sambil mengedarkan pandangan ke pemandangan yang baru
pertama ini masuk ke dalam mata saya. Orang-orang yang berbeda wajah antara
satu dengan lainnya, gaun hitam yang menjuntai, wajah para jemaah India,
Afrika, Pakistan, Afganistan, Cina, membuat saya terpaku. Suasana halaman masjid
terasa begitu luas dan seketika saya kehilangan arah untuk menentukan mana
timur, barat, utara maupun selatan. Sambil menuntun Mamak untuk duduk di salah satu dinding payung saya terus
memikirkan arah mana yang harus saya ambil untuk bergerak selanjutnya, tapi
pertanyaan kembali mengusik saya, akankah
mereka semua dapat saya temukan di antara ratusan orang yang sedang berlalu
lalang dalam arah yang berbeda-beda? Sedangkan sekarang ini wajah jemaah Indonesia
saja, bayangannya tidak saya dapatkan!
Keputusan untuk kembali ke hotel
harus saya ambil dan menuntun Mamak berjalan pulang menyusuri jalan yang saya
harus kenali sebagai rute perjalanan saat pergi tadi terasa lebih lama.
Perjalanan ini sangat memberi pelajaran bagi saya. Ya, Mamak terlalu letih
apabila harus berjalan, tidak ada cara lain selain mencari kursi roda sebagai alat bantu saya untuk menuntun
langkah Mamak.
***
Saya kembali
turun ke lobi hotel guna mencari informasi tempat yang menyediakan kursi roda.
Keterbatasan bahasa membuat saya hanya mampu berkomunikasi sebatas jemaah dari
tanah air dan mereka juga sama seperti saya, tidak mengetahui tempat yang saya
maksud. Sambil memperhatikan para jemaah Indonesia yang baru tiba dari bandara
dari kursi lobi, riuh rendah suara dan kesibukan mereka membuat saya bangkit
dan kembali ke kamar.
Waktu berjalan dengan keadaan yang
saling berseberangan, di satu
sisi di luar sana, sengatan matahari membakar apa saja yang disentuhnya,
sementara di dalam lorong-lorong hotel ini, rasa nyaman kembali saya rasakan.
“Dari mana, Ida?” tanya Kak Ana. Gelas bening
di tangan kanannya
masih kosong. Mungkin beliau hendak mengambil air panas yang disediakan pihak
hotel di setiap lorong-lorong ini,
bisik hati saya.
“Dari bawah, Kak, lagi cari informasi tempat
yang menjual kursi roda.”
“Untuk siapa kursi roda?”
“Tapi untuk Mamak, Kak! Tapi pagi Ida bawa Mamak
jalan, rencana Ida mau ke masjid Nabawi, tapi Mamak nggak sanggup, Kak.”
“Kenapa nggak bawa dari tanah air
aja kemarin?”
“Ida dengar saran dari orang lain
untuk apa dibawa, karena di sini ada katanya!”
“Iya, tapi kalau tidak tahu tempat jualnya, repot juga kan?”
kata Kak Ana sambil menepuk bahu saya, “Udah dulu ya, Ida, ini mau buat minuman hangat,”
kata beliau sambil tersenyum dan berlalu.
Sambil melangkah menuju pintu kamar,
terlintas apa-apa yang merupakan saran dari beberapa orang yang saya temui di
bawah tadi, juga Kak Ana baru saja berlalu. Ah, semua buntu, rasanya minuman
hangat dari beberapa sachet kopi
berkrim yang disediakan untuk seluruh jemaah selama di Madinah siang tadi
menjadi pilihan saya guna menghilangkan rasa penat yang hadir.
***
Rasanya terlalu lama saya menunggu
pulangnya teman-teman sekamar dari melaksanakan salat Isya yang mereka
kerjakan. Mamak terlihat masih berbincang-bincang dengan Nek Samidah tentang
apa saja yang mereka anggap menarik pembicaraan. Tidak lama berselang, pintu
kamar dibuka
dan Bu Tuti masuk beserta mamaknya.
“Nggak pulang sama Kak Aminah, Kak?”
tanya saya setelah Bu Tuti meletakkan tas bawaan di sisi tempat tidurnya.
“Kami terpisah, entah ke mana pun
dia, nggak tampak lagi.
Huh, orangnya lebih banyak dari kemarin, untung Mamak, Kak Tuti pegang
kuat-kuat, kalau nggak mungkin terpisah juga. Udah pada berdatangan
kloter-kloter dari daerah dan negara lain, Da!” jelas Bu Tuti.
Tak lama pintu terbuka dan Kak
Aminah masuk dengan wajah gusar disertai mamaknya di belakang.
“Ha, ini dia! Ke mana tadi dicariin
di belakang kok
tiba-tiba hilang?”
kata Bu Tuti.
“Saya tampak Kakak tadi, cuma karena
beberapa orang udah lewat di depan saya,
saya tidak bisa ikuti Kakak lagi, jadi sewaktu saya cari-cari lagi udah nggak tampak,
lalu saya tarik tangan Mamak terus, takut terpisah lagi, dan saya duduk terus
di tempat yang kosong. Ini pun saya cari Bapak dulu, kata kawannya yang pergi
dengan beliau, Bapak juga nggak jumpa dan belum pulang sampai sekarang.”
Saya terdiam mencoba memahami
kejadian yang baru terjadi. Di antara begitu banyak orang yang mempunyai tujuan
sama yaitu melaksanakan salat di masjid Nabawi, membuat semuanya berkumpul pada
satu tempat dan satu titik. Ini belum seberapa dikarenakan masih banyak kloter
pertama yang belum sampai di Madinah selama beberapa hari kedepan. Lalu,
bagaimana jadinya nanti di musim haji, di mana seluruh jemaah dari kloter
gelombang pertama maupun gelombang kedua telah berkumpul semua? Saya mematung
sambil terus menikmati nasi jatah malam yang telah disediakan.
“Berarti sama seperti aku yang kemarin juga tersesat waktu
pulang. Aku nggak tampak lagi pun kalian, mana hotel ini aku nggak ingat lagi jalannya, untung
ada jumpa orang yang tahu
saat aku bilang hotel jemaah
Indonesia, maka itu dibawanyalah aku
ke sini!” Seketika
Nek Samidah berbicara yang membuat orang seisi kamar bersahutan dalam
kata-kata. Saya kembali hanyut dalam keadaan yang saya tidak tahu bagaimana harus menjalaninya.
***
“Ida, ada yang mau jumpa, nih.” Suara Kak Ana menyapa setelah salam
di muka pintu kamar.
Apa yang menjadi kebahagiaan bagi
setiap orang adalah mendapatkan apa yang menjadi keinginannya secara tak
terduga dan dengan cara yang mudah, demikianlah yang saya pikirkan. Kehadiran
Kak Ana dengan seorang kerabat yang kata beliau merupakan kerabat dekat di
tanah air dari silsilah suami saya membawa kebahagiaan juga rasa syukur yang
tiada tara.
“Cecek
dapat kabar bahwa istri Zakir berangkat dalam kloter ini, jadi saat di bawah
tadi berjumpa dengan Dokter
Diah, Cecek bilang sama beliau bahwa
Ida itu keponakan saya juga kalau dilihat dari suaminya, terus Dokter Diah bilang, ‘Iya, dan mamaknya Ida itu pasien saya udah puluhan
tahun.’”
Entahlah, perasaan senang yang
bagaimana lagi yang dapat saya ukirkan tentang apa yang ada di hati saya saat
ini, menemani Kak Ana dan beliau yang menerangkan silsilah keluarga mampu
membuat saya kembali berada di lingkungan
keluarga seperti saat saya berada di tanah air. Seiring berjalannya waktu,
sekarang beliau telah memiliki sebuah travel yang mengantarkan para jemaah
untuk melaksanakan umrah berserta haji dari tanah air.
“Cecek
dengar Ida butuh korsi roda untuk Mamak, iya?” tanyanya seketika.
“Iya, tapi nggak tahu di mana belinya,” jawab saya
sambil melirik Kak Ana.
Pertemuan itu sangat singkat. Bahkan
terlalu singkat untuk dapat dijadikan momen berkumpulnya kembali keluarga lama
di negara orang. Akan
tetapi, kehadiran beliau sebagai paman dari suami saya kembali membuat perasaan
syukur saya membuncah dada, sebuah kursi roda yang masih berbalut kertas dan
bermerk diserahkan sambil tertawa. Terlebih lagi saat saya menanyakan harga
yang hanya dibalas dengan perkataan, “Udah, pakai aja, semoga bermanfaat,”
sambil meninggalkan saya yang terdiam di depan pintu lift.
Saya kembali memanggil-manggil Allah
dalam hati, Ya Allah, manakah nikmat-Mu yang sanggup aku dustakan?
Kalaupun ini merupakan sebuah rencana yang tidak disengaja, maka sungguh
kejadiannya sangat sempurna. Jika ini merupakan hadiah bagi Mamak, sungguh
kegembiraan itu ada pada diri saya yang memandang indahnya hadiah ini dan
betapa sempurnanya ketidaksengajaan perjumpaan ini.
Sambil menunggu pintu lift membuka, mata saya tertuju pada lembaran
kertas yang tertempel pada dinding luar lift. Berisikan sebuah ajakan untuk
melakukan ziarah ke masjid Nabawi, dan pekuburan Baqi. Oh mungkin ini kabar yang dibawa Bu
Tuti tentang agenda ziarah bersama muassasah Madinah esok hari, kata saya pada diri sendiri.
Bersambung ya...