Tuesday 19 March 2019

Perempuan pendorong kursi roda ibunya di Madinah


Jika ada kerinduan di hati ini akan mamak, maka isi bagian dari buku "Sang pendamping haji" yang aku tulis, inilah salah satu kisah yang aku suka.
Aku beruntung menjadi salah satu dari sekian anak yang bisa mendampingi orang tuanya untuk beribadah dan sekalian menapak jalan untuk mengukir kenangan bersama di sanubari ini, terlebih lagi di kota ini, Madinah Al Munawarah, kota pilihan Allah agar Rasulullah berhijrah di sini.


Mamak tampak tenang duduk di kursi  roda saat saya membawanya turun dari hotel. Sebelumnya beliau sedikit gusar untuk melakukan perjalanan ini karena mengingat baru pertama kali saya memegang kendali dari sebuah kursi roda.
“Memangnya Ida bisa?” tanya Mamak sambil menunggu kepastian dari saya.
Dengan berbagai alasan yang mampu masuk dalam alam pikirannya, akhirnya Mamak menyetujui keputusan saya untuk tetap mendorong Mamak, lebih tepatnya mungkin mencoba, karena kursi roda ini memang merupakan hal yang baru bagi saya.
Di depan  hotel telah dipenuhi oleh jemaah yang sebagian besar saya kenal. Perjalanan pun dimulai manakala para jemaah menerima komando dari ketua kloter untuk melangkah. Kembali langkah-langkah kecil saya menapak di jalan Madinah, jalan yang sama seperti kemarin ketika saya menuntun Mamak untuk berjalan, hari ini, Mamak tampak lebih nyaman untuk dapat menikmati sinar pagi yang merangkak naik di ufuk sana.
Roda-roda kursi yang Mamak tumpangi berputar mengikuti jalanan kota Madinah yang jauh dari kata tidak baik. Badan-badan jalan yang menghubungkan satu sisi dengan sisi lainnya mampu membuat nyaman kursi roda untuk terus melaju. Langkah-langkah kecil jemaah lain beriringan dengan langkah saya menuntun Mamak yang kini berada di depan.
“Mana mereka yang lain, Ida?” tanya Mamak mulai khawatir. Penglihatan Mamak yang bermasalah menjadikan beliau tidak sepenuhnya dapat mengetahui bagaimana kondisi yang sesungguhnya.
Sambil mengatur napas dalam balutan masker, saya lalu menjawab bahwa mereka masih ada di sekitar Mamak dan saya, ada yang di depan, samping dan juga belakang.
Perjalanan ini terasa menyenangkan bagi saya; menikmati udara hangat pagi yang mengusik kulit wajah dan tangan saya, mengikuti putaran roda yang berjalan mulus di jalan sambil membawa Mamak menuju masjid Nabawi, tempat yang kemarin tertunda untuk saya melangkah dan menyelami keindahannya lebih dalam.
Sebagai seorang yang amatir, tertinggalnya saya dari jemaah lain mungkin dapat langsung dibaca oleh seorang panitia dari Muassasah. Dalam perjalanan menuju pintu gerbang masjid yang menurun, setelah menyakinkan saya bahwa beliau memang ahli dengan kendaraan kursi roda ini, maka selanjutnya Mamak melaju bersama beliau di depan saya dan bersama kembali saat berada di bawah salah satu payung masjid.


Melalui penjelasan dari panitia, saya mengetahui bahwa ada waktu-waktu di mana makam Rasulullah atau Raudhah dibuka untuk jemaah wanita, harus melalui pintu yang mana, begitu juga dengan pekuburan Baqe, semuanya mempunyai jadwal tersendiri yang berbeda antara laki-laki dan perempuan.
Langkah kaki jemaah laki-laki dan perempuan kini terpisah sudah. Saya mengikuti rombongan jemaah wanita yang berjalan semakin lama semakin cepat di depan  sana, entahlah, apakah kerinduan mereka untuk segera bertemu dengan kekasih Allah di taman Raudhah menjadikan mereka laksana berlari, atau perasaan khawatir seperti yang saya rasakan akan tertinggal dari rombongan lain dan tidak tahu lagi arah mana yang harus di tempuh nantinya. Saya terus membawa lari kursi roda di tangan saya dan ternyata saya tidak sendiri. Seorang ibu yang mendorong mamaknya yang telah berusia sangat lanjut juga mengikuti saya menapaki jejak-jejak jemaah lain yang mulai kehilangan bayangannya.
“Dek, tunggu saya!” kata ibu tersebut dengan napas terengah-engah.
Saya memandangi punggung-punggung jemaah lain yang telah lenyap di balik gerbang besar di depan sana dan kemudian memilih untuk berhenti.
“Syukurlah!” Masih dengan napas yang tidak teratur beliau kembali berkata dengan terbata, “Tadi, Mamak saya didorong oleh anak saya yang laki-laki, tapi karena sekarang harus terpisah, maka saya yang dorong Mamak.  
“Kita sama-sama ya, Dek!” balas beliau lagi yang membuat saya sedikit bengong dan terdiam.
Dalam situasi yang seperti ini, saya bersyukur ditemani oleh ibu tersebut beserta orang tuanya, dan berharap bahwa sang ibu mengetahui jalan pergi yang akan kami kunjungi dan jalan pulang nanti, siapa tahu beliau sudah pernah melaksanakan ibadah umrah atau haji sebelumnya. Akan tetapi, keinginan saya yang harus andil dalam sesuatu hal yang memudahkan apa pun yang menjadi pekerjaan saya, membuat saya kembali menghafal dan mengenal ciri dan tanda-tanda yang mudah saya kenali selama perjalanan kami berempat. Selain mempercepat sampai pada tujuannya juga sebagai usaha untuk menjaga agar tidak tersesat nantinya. Perjalanan di dalam rombongan tadi kini berubah menjadi perjalanan kami berempat.


Rasa syukur kembali dipanjatkan Mamak secara terbuka. Dinginnya suasana ruangan kamar hotel membuat wajah cemasnya berubah nyaman seketika.

***  
Agenda selama berada di Madinah adalah memperbanyak ibadah salat di masjid Nabawi dan mengiringinya dengan ibadah-ibadah yang lain secara mandiri maupun kelompok. Letak hotel yang tidak jauh dari masjid, menjadikan para jemaah dapat melakukan perjalanan pulang pergi saat selesai salat berjemaah. Walaupun demikian, ada juga yang lebih memilih menetap di masjid untuk menunggu waktu-waktu salat selanjutnya, misalnya pergi saat akan dilaksanakan salat Asar, setelah itu menunggu salat Magrib juga Isya kemudian kembali ke hotel untuk makan malam dan beristirahat.
Kamar-kamar hotel seketika sunyi apabila telah masuk waktu salat. Riuh rendah cerita yang terdengar dari kamar-kamar di sebelah kamar saya yang masuk dari celah pintu yang sengaja dibuka saat makan siang bersama tadi perlahan senyap. Para jemaah melaksanakan salat Duhur di masjid sekarang. Pikiran saya menggeliat ke sana kemari saat terbaring di ranjang sambil menatap Mamak dan Nek Samidah dalam gerakan salat masing-masing.
Setelah pulang dari ziarah beberapa jam yang lalu Mamak menolak untuk pergi ke masjid karena lelah, Ah, mungkin salat Asar nanti Mamak sudah kembali sehat, pikir saya dalam hati. Setelah Mamak selesai dari salatnya saya segera mengutarakan niat untuk membawanya melaksanakan salat Asar, Magrib dan Isya nanti.
“Ya, kita di halamannya aja! Nanti Mamak masuk dalam barisan saf salat lalu Ida di luarnya.”
“Memangnya orang lain ada yang salat di halaman? Nanti jauh kali Mamak dengan Ida bagaimana?”
“Kita pilih di sudut aja, jadi nggak mengganggu orang lain, lagipula biar Mamak bisa dekat dari Ida, mau ya, Mak!” saya membujuk Mamak yang masih sedikit merasakan beban.
“Itulah ya, kalau aku karena tidak ada yang dorong saja. Padahal kalau dekat sedikit lagi masjid itu dari sini, aku mau pergi setiap waktu salat. Tapi, kaki aku ini sudah tidak bisa di bawa jalan jauh lagi sekarang,” kata Nek Samidah pelan sambil menepuk kedua kakinya.
“Nah, Mak! Nek Samidah aja mau juga pergi kalau ada yang dorong, Mamak sekarang udah ada kursi roda untuk Ida dorong, jadi tunggu apa lagi?”
Mamak tersenyum kecut mendengar perkataan saya. Walaupun Mamak tidak berkata apa-apa lagi, tapi hal tersebut saya tanggapi sebagai tanda penerimaan atas ajakan saya.
Siang menjelang sore ini, kembali saya melajukan kursi roda mengantarkan Mamak untuk menunaikan tiga waktu salat di masjid Nabawi. Bersatu dalam langkah-langkah tegap para jemaah yang mulai keluar dari seluruh pintu-pintu hotel menuju satu tujuan membubungkan tinggi semangat saya berjalan di bawah terik matahari. Menyusuri lorong-lorong hotel kemudian berbelok mengambil jalan pintas di dalam pasar tradisional dan masuk melalui pintu delapan mempermudah langkah saya untuk sedikit menghindari dahsyatnya panas mentari.


Handuk putih yang saya basahkan dan dililitkan pada leher Mamak dalam hitungan menit kering seketika. Berulang kali air yang dibasuhkan ke wajahnya kembali menguap oleh panas. Sambil bercerita hal-hal kecil, Mamak hanya tersenyum saat saya tanyakan keadaan beliau yang merasakan suhu panas kota Madinah. Air zamzam yang tersedia tidak jauh dari tempat saya dan Mamak, menjadi pilihan untuk menjadi penghilang dahaga saat menanti masuknya waktu-waktu salat yang ditunggu.
“Ibu, Ibu! full, full! Penuh Ibu! Full, full!”
 Teriakan wanita berjubah hitam di depan sambil terus menyilangkan kedua tangannya di udara menarik perhatian saya. Pengucapan dengan intonasi yang berbeda dari yang saya ketahui membuat saya terus memperhatikan beliau. Ternyata mereka lebih dari satu orang. Kehadiran mereka di setiap pintu masuk ke dalam masjid, terlihat seperti petugas yang memeriksa isi dari tas yang disandang oleh jemaah apabila hendak melangkah masuk. Di sisi lain, beberapa orang sigap menarik garis pembatas untuk menciptakan bagian-bagian saf salat yang harus ditempati jemaah yang tidak tertampung lagi di dalam. Saat ini, Mamak sudah berada dalam garis pembatas yang telah diciptakan salah satu petugas berjubah hitam juga. Tak lama azan Asar berkumandang. Saya kembali tertegun menyaksikan parade salat yang diikuti oleh beribu orang dengan wajah, kulit, bahasa dan pakaian yang berbeda-beda akan tetapi mereka semua menyembah Allah yang tunggal, Allah yang Esa dengan penyembahan yang sama.

***
Pagi ini seluruh jemaah akan melakukan perjalanan ziarah kembali dengan tujuan Jabal Uhud, masjid Quba, masjid Qiblatain dan tempat berlangsungnya perang Khandaq.
Seperti pagi kemarin, Mamak terlihat segar dan telah bersiap-siap untuk duduk di kursi roda dan berjalan bersama-sama dengan seluruh teman sekamar menuju lift yang membawa kami ke lantai dasar.
Perjalanan kali ini menggunakan kendaraan seperti yang dikatakan oleh panitia semalam melalui pesan berantai dan brosur yang ditempelkan di samping dinding pintu lift setiap lantai.
Beberapa bus sudah terparkir di halaman samping hotel dengan identitas BTJ 01 dan nomor rombongan. Saya dan yang lain masih terpaku untuk mengambil keputusan akan naik pada rombongan berapa mengingat untuk pertama kalinya dulu saya dan Mamak dimasukkan ke dalam rombongan empat, kemudian bertukar lagi menjadi nomor tujuh dan kini karena status jemaah susulan yang terjepit di antara dua kabupaten kota, baik regu keberapa atau dalam rombongan yang mana masih belum jelas bagi saya. Rupanya hal ini juga dialami Bu Tuti dan Kak Aminah. Raihan dan suaminya masih terlihat berdiri di trotoar sambil terus mengamati situasi yang akan terjadi.
Entahlah, selalu saja berkumpul dengan rombongan dari Kota Langsa sebagai jemaah dengan asal daerah yang sama menjadi pilihan bagi saya juga Bu Tuti dan Kak Aminah untuk mengambil keputusan dan naik pada kendaraan yang telah ditempati oleh beberapa jemaah. Akan tetapi, saat seperti inilah perbedaan yang sangat kentara saya rasakan. Manakala jemaah yang telah duduk di dalam kendaran tadi mengeluarkan kata-kata tegas bahwa kendaraan ini untuk rombongan sekian saja dan bertahan dengan perkataan tersebut. Mendengar penjelasan tersebut, segera saya kembali membawa turun Mamak yang telah duduk di salah satu bangku bus dan mengeluarkan kembali kursi roda dari bawah bus. Akan tetapi Bu Tuti dan Kak Aminah memilih bertahan di dalam bus dengan pemahaman seperti hal yang telah dikemukakan oleh panitia, bahwa ada kendaraan yang mampu menampung regu semua rombongan dan ada yang tidak.
Pilihan untuk menunggu kepastian tetap saya ambil, meskipun Mamak terlihat kurang setuju karena terpisah dari teman yang lainnya. Beberapa waktu kemudian keadaan baru terlihat lebih jelas pada saat suami Raihan mencari informasi tentang regu sebenarnya. Hal ini menjadikan saya segera bersyukur dengan keputusan turun dari bus yang tadi saya tumpangi, karena di dalam bus yang baru ini, walau hakikatnya saya berbaur dengan jemaah dari Aceh Besar tetapi kenyataannya saya dikumpulkan kembali dengan Kak Ana dalam satu rombongan dan juga seorang pimpinan dayah di salah satu tempat di tanah air.

***
   Bus yang saya tumpangi membelah jalan raya yang padat dengan kendaraan lainnya. Menanjak serta menurun dan terus melaju di jalur kanan dalam menerobos beberapa terowongan megah yang menghiasi perjalanan membuat saya terus bersyukur dapat merasakan nikmatnya perjalanan ini. Suara pimpinan dayah yang selanjutnya saya kenal dengan panggilan Abu Madinah terus mengiringi sebagai pemandu perjalanan di samping supir. Layaknya seseorang yang pulang kampung dan menceritakan setiap detil perjalanan yang kami lalui, Abu Madinah terlihat senang untuk menyingkap sejarah tempat-tempat di kanan-kiri perjalanan dan membagikannya kepada kami.
“Bapak-Ibu, sekarang kita telah sampai di Masjid Quba, masjid yang pertama-tama didirikan oleh Nabi Muhammad saw. Rasulullah saw. sangat mementingkan mendatangi masjid ini dan menjelaskan dalam sabdanya, bahwa barangsiapa yang datang ke masjid Quba dan salat di dalamnya, maka ia mendapatkan pahala seperti pahala umrah. Dengan demikian Bapak-Ibu, kita telah mendatangi masjid ini, maka kita akan berhenti, turun dan salat. Setelah itu langsung kembali ke bus untuk melanjutkan perjalanan. Ingat Bapak-Ibu, jangan salah naik kendaraan, karena bisa jadi nanti Bapak-Ibu akan dibawa ketempat lain, misalnya bergabung dengan jemaah Afganistan, India, atau Afrika,jelas Abu Madinah yang menguraikan tawa dan senyum pada wajah jemaah di dalam bus. Akan tetapi, saya menanggapinya sebagai sesuatu yang wajib tidak dilanggar. Mengingat bentuk bus yang sudah terparkir di lapangan ini hampir serupa antara satu dengan lainnya, jika tidak teliti untuk melihat kode yang telah diberi pada kaca depan bus, bisa saja nanti ada jemaah yang akan naik bus jemaah Afrika yang saat ini diparkir sejajar dengan bus yang saya tumpangi.


Berbeda jauh dari jalan yang membentang dari sepanjang hotel dan menghubungkannya dengan masjid Nabawi, usaha ekstra harus saya keluarkan untuk menggerakkan roda-roda dalam perjalanan menuju masjid Quba. Area parkir dengan bebatuan yang tersebar secara umum pada sebuah lapangan merupakan lintasan yang harus saya tempuh.
Meskipun demikian, telah tibanya masa suci membuat saya bersyukur dapat menyungkur sujud di samping Mamak yang juga khusuk dalam salatnya di atas kursi roda. Setelah menghabiskan doa dalam permintaan yang panjang, saya mendekap kaki Mamak dan meminta, “Mak, ampuni salah Ida ya! Juga doa untuk Ida!” pinta saya bahagia.
“Apa yang Mamak mau doa untuk Ida?” desah suara Mamak terdengar bergetar dalam isak tangisnya yang tertahan.
Hati saya membuncah mendengar pilihan yang diberikan Mamak akan hal apa yang mau bagi saya untuk beliau doakan. Berbagai pilihan melintas dan mendesak agar hal tersebutlah yang akan saya pilih. Tetapi, doa agar diberikan kebaikan menurut ilmu Allah menjadi pilihan saya dan mengucapkannya kepada Mamak. Rasa suka cita memenuhi diri ini. Sungguh ya Allah, nikmat-Mu yang manakah yang mampu aku dustakan? Bisik saya dalam hati.


***


Laju bus kembali mengukir jejak pada jalan-jalan di kota Madinah. Tujuan selanjutnya adalah Jabal Uhud atau Bukit Uhud. Kembali dengan penuh rasa gembira, Abu Madinah menjelaskan kisah Bukit Uhud dan mampu membuat saya menikmati kisah tersebut dan melihat sendiri tempat terjadinya perang Uhud ribuan tahun silam pada tahun ke-3 H.
   “Di sebelah kanan kita itulah bukit terbesar di Madinah yang dinamakan Jabal Uhud. Nah, di lembah ini pernah terjadi perang dahsyat antara kaum muslimin sebanyak 700 orang melawan kaum musyrikin Mekah sebanyak 3000 orang. Dalam pertempuran itu, kaum muslimin sempat mendapat kemenangan yang gemilang, sehingga kaum musyrikin lari pontang-panting dan meninggalkan perbekalan mereka. Melihat hal tersebut, pasukan pemanah kaum muslimin yang berada pada pos di atas gunung tergoda dan turun meninggalkan pos untuk mengambil harta rampasan perang, padahal Nabi Muhammad sudah mengingatkan agar pasukan pemanah tidak meninggalkan posnya apa pun yang terjadi. Kejadian ini dimanfaatkan oleh kaum musyrikin untuk mengubah strategi dan membalik keadaan. Karena kelalaian pasukan pemanah ini, kaum muslimin terpaksa kalah dan banyak di antara sahabat Nabi menjadi syuhada.
Paman Nabi Muhammad, Hamzah bin Abdul Muthalib juga gugur dalam pertempuran itu, sedangkan Nabi sendiri mendapat luka-luka dan beberapa buah giginya ikut tanggal. Jadi Bapak-Ibu, sekarang kita turun dan memberikan salam serta mengirimkan doa kepada para suhada yang gugur dan mereka telah dimakamkan di tempat mereka roboh atas perintah Rasulullah Saw.”
Saya mengikuti Abu Madinah mengambil kursi roda pada bagian bawah bus yang tersedia. Udara pada waktu Duha ini mulai menyengat dan menyisakan sesak apabila tidak menggunakan masker. Mamak terlihat menarik dengan rapat masker dan memeganginya. Sesaat kemudian rombongan jemaah berjalan beriring dengan Abu Madinah yang juga menggunakan kursi roda dan di tuntun seorang jemaah laki-laki.
“Aduh, pelan-pelan, Ida!” pinta Mamak berkali-kali manakala roda yang melaju di atas bebatuan terganjal dan membuat kursi roda sedikit terjungkit.

Saya hanya tersenyum lucu dan mencoba melajukan kursi roda kembali. Dari balik kacamata hitam, mata saya berkeliling memandang cadasnya bebatuan yang menghiasi permukaan Bukit Uhud dan lembah-lembah yang membentang di sisi-sisinya. Inilah bukit yang ditawarkan Allah kepada Rasulullah untuk diubah menjadi emas dan beliau menolaknya, bisik hati saya.
Langkah kecil kaki-kaki para jemaah tiba-tiba berhenti di depan sebuah tempat yang telah terlindungi oleh pagar.


“Di sinilah kita berhenti,” jelas Abu Madinah, “di depan  sana 70 orang syuhada dalam perang Uhud dimakamkan,” tambahnya kemudian dan bersiap mengangkat kedua tangan seraya melantunkan salam dan doa dengan suara yang dapat saya dengar dan jemaah lainnya untuk mengaminkan.
Belum selesai Abu Madinah membacakan doa, seorang penjaga makam mengangkat kedua tangan dan mengIsyaratkan agar doa segera dihentikan. Sejurus kemudian terjadi debat dalam dialog bahasa Arab oleh Abu Madinah dan penjaga makam yang membuat kepala penjaga makam berulang kali digeleng-gelengkan.

“Kenapa, Abu?” tanya seorang jemaah laki-laki setelah melihat dialog tersebut berakhir.
“Kita tidak boleh lagi berdoa beliau bilang, cukup memberikan salam kepada semua ahli kubur yang ada di pemakaman ini dan tidak menyebutkan satu per satu seperti yang saya lakukan tadi,” jelas Abu sambil tersenyum, “ayo, kita kembali melanjutkan perjalanan lagi.”

Kursi roda Abu berdampingan dengan kursi roda Mamak. Melihat Abu mulai bergerak, saya segera mengikuti dalam jarak yang tidak terlalu jauh. Sekilas saya memandangi penjaga makam dari celah rombongan, terlintas berbagai pemikiran yang membuat buntu pada ujungnya. Ya Allah, tiada pengetahuan atas diri ini terhadap semua pertanyaan di hati saya, lirih hati saya bergema, dengan perasaan tiada terbeban saya berlalu dan segera berpaling.

***
Klakson bus sesekali meraung dalam lintasan jalan yang mulai padat. Luasnya area parkir tampak kecil dengan bus-bus yang sudah tersusun memenuhi halaman. Tujuan kali ini adalah masjid Qiblatain yang mula-mula dikenal dengan masjid Bani Salamah karena dibangun di atas tanah bekas rumah Bani Salamah.


“Bapak-Ibu yang dirahmati Allah, kita turun dan salat di masjid ini kemudian langsung kembali ke bus untuk melanjutkan perjalanan. Akan tetapi, karena kondisi, saya tidak ikut turun dengan Bapak-Ibu, saya menunggu di dalam bus saja,” kata Abu Madinah menjelaskan.
“Da, Mamak nggak usah turun juga, ya!” kata Mamak kemudian.
Saya memperhatikan raut wajah Mamak yang telah menyisakan keletihan dari perjalanan sebelumnya. “Ya udah, Mamak di dalam bus aja sama Abu ya! Ida nggak lama, salat lalu kembali terus,” jelas saya dan dibalas anggukan tanda setuju.
Sambil bergegas menyusul rombongan yang mulai hilang di balik badan bus yang terparkir, saya mengeluarkan handphone dan mengabadikan gambar muka bus agar mudah untuk saya kenali nanti. Setelah berlari-lari kecil, akhirnya rombongan jemaah wanita dapat saya kejar dan segera bersiap untuk kembali berwudu.

   Masjid ini tidak begitu besar, jalur masuk yang melewati tangga dan banyaknya jemaah dalam barisan antrean, menjadikan perjalanan ini sedikit sesak dengan manusia. Walaupun demikian, dapat mendirikan salat di masjid ini mengingatkan saya kembali akan sejarah perubahan kiblat yang sebelumnya menghadap ke arah Baitul Maqdis di Yerussalem, Palestina, kemudian beralih ke Masjidil Haram akibat dari turunnya wahyu surat Al-Baqarah ayat 144 yang memerintahkan Rasulullah Saw dan umatnya menjadikan Masjidil Haram sebagai kiblat.
Sungguh terasa singkat waktu yang tersedia untuk menguraikan pinta kali ini. Kembali terlintas bagaimana nikmatnya hanyut dalam untaian doa-doa apabila sedang berada di dalam masjid di tanah air. Perasaan khawatir akan ditinggal oleh rombongan tidak pernah terlintas disebabkan seluk beluk jalan sudah saya pahami. Tetapi kali ini, saya harus bergegas mengejar jemaah lain yang mulai meninggalkan tempat mereka bersimpuh dan kembali ke bus semula. Sambil menatapi dinding-dinding masjid dan jalan-jalan yang saya lalui, tertanam keinginan di hati ini bahwa suatu saat nanti saya akan kembali dalam keadaan yang lebih santai untuk bisa menikmati setiap detik waktu yang berjalan tanpa ada rasa khawatir sedikit pun akan segala hal.
Bus mulai melaju dan meninggalkan masjid Qiblatain untuk selanjutnya menempuh perjalanan.
“Alhamdulillah Mamak nggak turun tadi,” jelas saya kepada Mamak dan membuat wajahnya berpaling.
“Memangnya kenapa, Ida?” tanyanya penasaran.
“Karena ambil wudunya harus turun ke ruang bawah tanah, Mak, lalu naik lagi ke atas dengan tangga yang lumayan tinggi, jalannya pun harus antre,” jelas saya sambil berusaha mengatur duduk agar terasa lebih nyaman. Mamak hanya terdiam dan larut dalam pikirannya kembali. 

***
  
Abu Madinah masih bersemangat menjadi pemandu dalam perjalanan ini. Di sela-sela deru mesin bus, klakson, dan riuh rendah suara penumpang bus beliau terus memandu sampai bus berhenti di persimpangan lampu merah. Bersyukur saya dan Mamak berada tidak jauh dari tempat beliau duduk, sehingga saya dapat mendengar suara beliau dengan jelas.


“Bapak-Ibu, di depan sana adalah masjid Khamsah dan daerah ini dikenal dengan nama Khandaq. Khandaq dari segi bahasa berarti parit. Melalui saran dari sahabat Nabi, Salman Al Farisi, agar Rasulullah saw membuat benteng pertahanan berupa parit yang diusulkan guna menanggulangi penyerangan kafir Quraisy bersama sekutu-sekutunya di tempat ini. Oleh karena itu, tempat ini lebih dikenal dengan Khandaq,” jelas Abu sekilas. “Tapi Bapak-Ibu, kita tidak berhenti dan turun karena tempat terakhir yang akan kita kunjungi adalah kebun kurma dan seterusnya kita kembali ke penginapan guna mempersiapkan diri untuk menunaikan salat di Masjid Nabawi.”
Bus kembali melaju di bundaran masjid dan meninggalkan wilayah Khandaq untuk seterusnya masuk terowongan dan keluar menyusuri jalan lintas yang tiada sepi dari kendaraan. Pinggiran kota Madinah terlihat gersang dengan batuan sepanjang perjalanan. Walaupun beberapa batang tumbuhan menghiasi di beberapa tempat, namun dalam pandangan masih jauh dari tempat yang menjanjikan kesejukan. Meskipun demikian, di tempat ini tumbuh subur ribuan pohon kurma sebagai rezeki yang melimpah dari Allah kepada penduduknya dan yang datang mengunjungi tempat ini.
Setelah melewati sebuah tempat yang menurut penjelasan Abu adalah tempat yang dijadikan pondasi untuk membangun sebuah masjid dari tipu daya kaum kafir yang telah rata dengan tanah, bus melaju pelan dan mulai memasuki perkebunan kurma. Sebuah pemandangan yang menarik bagi saya dapat menikmati banyaknya pohon kurma yang tersusun rapi dengan buah yang terjuntai di sisi-sisinya, mengingatkan saya akan perkebunan sawit di tanah air yang hampir serupa dengan ini.
“Ya, sekarang kita turun, di dalam sana, Bapak-Ibu bisa berbelanja sebagai oleh-oleh bagi yang ingin berbelanja,” kata Abu menutup penjelasan sambil meletakkan mikrofon.
“Mak, sudah sampai di kebun kurma, Mak, Mamak mau turun?” tanya saya.
“Ngh... memangnya yang lain turun?” jawab Mamak.
Setelah melihat seisi bus, masih ada beberapa jemaah yang masih tetap di dalam dan larut dalam kesibukannya masing-masing, kembali saya menjawab, “Ada yang turun, ada juga yang enggak turun, Mak!”
“Mamak di sini aja ya, Da!” pintanya.
“Tapi Ida turun sebentar ya, Mak!” pinta saya sambil bersiap untuk menyusul rombongan.
Layaknya pasar, kebun kurma ini juga memiliki tempat untuk dapat dilakukannya transaksi jual beli. Berbagai jenis kurma tersedia untuk dijual.

“Rasa… satu, rasa... halal!” tanya seorang jemaah kepada sang penjaga dengan Isyarat memakan kurma.

“Halal… halal!” jawabnya sambil melambaikan tangan menandakan boleh atau silakan untuk dicicipi.
Saya tersenyum melihat hal tersebut yang mulai akrab di mata ini,  sambil terus menyusuri meja-meja yang menyajikan makanan kurma dan berbagai macam jenis cokelat. Ya, cokelat adalah makanan mendunia, dan di tanah Madinah ini keasliannya pasti terjaga dari campuran yang tidak halal. Kembali saya menikmati jenis-jenis cokelat yang diberikan oleh penjaga untuk dicicipi.
Beberapa jemaah terlihat telah menenteng bungkusan dan kembali. Setelah memilih bahan yang akan saya beli, perlahan langkah saya ayunkan menuju bus untuk bersiap kembali ke hotel.
***
Kerinduan untuk menyungkurkan diri ini di masjid Nabawi akhirnya terobati. Dalam ilmu Allah, rupanya saya harus mendirikan salat pertama di masjid Quba terlebih dahulu daripada di masjid Nabawi, walau hakikatnya sudah bermalam beberapa hari di Madinah.
Kembali para jemaah larut dalam agenda masing-masing setelah melakukan perjalanan ziarah kemarin, menunaikan salat berjemaah di masjid Nabawi dan sebagian lagi berkeliling menikmati perjalanan dan berbelanja di sela-sela waktu yang tersedia.
Setelah bersiap diri lebih awal dari waktu salat yang ditentukan, saya beserta teman-teman sekamar mulai menapaki jalan kota Madinah. Mamak memilih untuk tetap di hotel bersama Nek Samidah, karena setelah perjalanan ziarah kemarin, kesehatannya mulai menurun. Demi mempersiapkan kesehatan pada musim haji nanti, Mamak merelakan saya pergi bersama Bu Tuti dan mamaknya serta Kak Aminah dan mamaknya.
Waktu salat masih belum masuk, akan tetapi di depan pintu gerbang tempat masuknya para jemaah perempuan telah berdiri petugas dan melarang jemaah yang hendak menerobos. Melihat hal tersebut Bu Tuti dan Kak Aminah mengambil keputusan untuk mengambil tempat di luar bersama jemaah yang lain.
“Padahal di dalam lebih dingin ya, Kak,” jelas kak Aminah sambil menggelar sajadah.
“Iya! Hari ini kita telat sedikit, jadi di dalam pasti udah penuh. Tapi, di sini juga dingin tampaknya,” jawab Bu Tuti sambil memperhatikan kipas angin yang berputar dan menghembuskan air ke segala penjuru, “Mungkin kloter gelombang satu lainnya dari Indonesia udah pada tiba, belum lagi yang dari negara lain, makanya di dalam cepat penuh,” jelasnya kemudian.
Berduyun-duyun para jemaah memasuki pekarangan masjid yang kini berubah menjadi barisan-barisan saf salat dengan garis pembatas sebagai penanda barisan. Terlintas saf-saf pada masjid di tanah air, pemandangan seperti ini hanya terlihat pada tiga waktu yang biasa; pertama di hari Jumat, kedua saat salat Idulfitri, dan ketiga salat Iduladha, sedangkan salat lima waktu lainnya lebih banyak saf yang tidak terisi. Melihat kenyataan demikian kembali hati ini bertakbir membesarkan Allah dan berlindung dari hal-hal yang saya tidak mengetahui akan hakikat yang terkandung di dalamnya.

***
  
Air mata ini telah menganak sungai di pipi. Berdiri menunaikan salat dan termasuk dalam orang-orang yang ruku dan sujud di masjid Nabawi mengguncang segala rasa di hati untuk bersyukur kepada Allah. Entahlah! Apakah perasaan ini dialami oleh semua orang yang mendapat kesempatan untuk berdiri dan salat di sini, atau perasaan saya saja yang terlalu lemah dalam menghadapi keadaan ini.
   Alunan suara imam masjid yang membacakan ayat-ayat Alquran dengan lembut dan bersahaja menambah ketundukan saya untuk terus meresapi segala gerakan dalam salat yang menurut para ahli peneliti lebih indah dan mengandung banyak manfaat dibandingkan gerakan umum lainnya.
Memang benar seperti yang disampaikan oleh pemateri pada manasik haji dan umrah di tanah air tentang ketiadaan lafaz ‘bismillah’ di awal bacaan salat, “Akan tetapi hal tersebut jangan diambil menjadi pembatas untuk menyembah Allah. Mungkin faktor dalam memegang mazhab dan mengamalkannya menjadi terdapat perbedaan pada beberapa hal, dan hal tersebut tidak harus kita pikirkan untuk diperdebatkan,jelas mereka.
Suara kedua sebagai penjelas dari imam menggema lebih panjang dalam mengucapkan salam terakhir gerakan salat. Saya mengikuti untuk melaksanakan salam.
Beberapa jemaah dari barisan-barisan saf di depan  terlihat bangkit dari duduknya dan bergegas pergi. Beberapa waktu kemudian seruan salat kembali bergema yang seterusnya saya ketahui sebagai salat jenazah diikuti sebagian jemaah yang bangkit untuk menunaikan salat.
Bu Tuti dan kak Aminah telah bersiap-siap untuk bergerak. “Cepat Ida, kita cari tempat di dalam,” kata Bu Tuti.
Sambil bergegas saya melipat sajadah dan mengikuti jalan mereka yang mulai melawan arus dari jemaah lain yang telah memenuhi lorong-lorong jalan. Berjalan setapak dalam antrean manusia yang panjang dan seakan tiada putusnya membawa langkah kaki saya memasuki pintu masjid juga. Udara dingin langsung menyapa kulit wajah saya, dan seketika terlihatlah jutaan jemaah masih memenuhi seluruh tempat di dalam masjid.
Pemandangan dan keadaan seperti inilah yang saya alami selama berada di Madinah, suatu keadaan yang akan meninggalkan kerinduan tersendiri untuk selalu mengecapnya di hati.

***  
Langkah kaki-kaki kami bergerak cepat, memasuki pintu masjid dan berbaur dalam barisan jemaah perempuan yang telah mengekor laksana ular besar dan panjang.
“Sini, Da!” sapa Bu Tuti sambil terus melangkahkan kakinya. Kak Aminah yang berada di sebelahnya terus mengikuti dan terlihat tertawa senang.
Kali ini mimpi saya adalah berkunjung ke Raudhah. Selepas menunaikan salat Duha di hotel, kami bertiga mulai melangkahkan kaki menuju masjid Nabawi kembali.
Saya mencoba untuk terus berdekatan dengan mereka dan berusaha agar tidak kehilangan pandangan. Ratusan jemaah perempuan sudah mengantre pada sebuah tempat di depan beberapa tiang masjid yang dijaga oleh petugas.
“Ibu... Ibu! Duduk!” katanya memerintah para jemaah yang hendak beranjak bangkit dari duduknya dan masuk menyerbu ke tempat yang sudah terlihat sesak dengan manusia.
Waktu ziarah yang diberikan untuk mengunjungi Raudhah sudah terjadwal dan terpisah antara jemaah perempuan dan laki-laki. Mungkin karena hal tersebut, para jemaah seakan takut kehabisan waktu dalam antrean yang panjang sehingga tidak dapat mengunjungi Raudhah, oleh karena itu bergegas untuk terus maju dan bisa masuk tepat waktu merupakan mimpi semua jemaah.
Melangkahkan kaki di tempat ini memerlukan kesabaran yang tinggi. Menjaga agar dengan kehadiran kita tidak menjadi sebab tersakitinya jemaah lain, menjadikan saya mengatur keseimbangan diri untuk terus tegak berdiri di antara jemaah lain yang terpisah dua anak jari dari kiri, kanan, depan, dan belakang saya. Kerinduan yang membuncah juga dialami jemaah lain, banyak dari mereka yang tidak dapat menahan air mata yang terus mengalir bahkan sampai ada di luar batas kendali, sehingga laksana meratapi sesuatu. Petugas perempuan berjubah hitam dengan sigap melarang perbuatan jemaah yang terkesan meraung-raung tersebut untuk diamankan.
Kalau sudah sampai di Raudhah, jangan lupa untuk mengambil jalur dan merapat terus ke arah sebelah kiri, itu adalah tempat teraman untuk kita berdiri lama guna memberikan salam dan berdoa pesan sms yang diingatkan Ummi melalui suami saya yang menanyakan kabar pada beberapa hari yang lalu terngiang di hati. Mungkin inilah saatnya untuk mempraktikkan, bisik saya sendiri.
Sambil terus bergerak maju akibat dorongan keadaan saya bergerak merapat sedikit-sedikit ke arah kiri sampai akhirnya dapat menyentuh pembatas yang berada di depan tiga buah pintu tertutup. Petugas yang menjaga di situ terlihat sangat awas saat saya merogoh tas apit dan mengeluarkan buku catatan manasik haji dan umrah yang selalu menemani selama ini.
Genangan air mata saya tidak terbendung lagi, ya Allah, nikmat-Mu yang manakah yang mampu aku dustakan, gema di hati saya bertalu-talu sambil memutar balik jalan kehidupan dan bersyukur bahwa dengan seizin Allah juga kaki ini dapat terpaku lama di depan makam Rasulullah dan kedua sahabat tercinta. Di sini, saya rasakan laksana sebuah tempat yang menjanjikan kenyamanan dan ketenteraman untuk mencurahkan segala rindu. Dinginnya perasaan yang meliputi kepala sampai ruang di palung hati, seolah timbul akibat uap dari kasih sayang Rasulullah kepada umatnya di tempat ini dan telah menaungi diri saya.
Raudhah, oh, Raudah! Dirimu adalah salah satu dari taman surga yang dikabarkan. Di sinilah salah satu tempat yang makbul untuk berdoa kata Rasulullah, tempatmu tepat berada di antara rumah Rasulullah dengan mimbar di masjid Nabawi ini, semoga saja kaki ini telah benar berpijak, lirih saya dalam hati sambil menumpahkan segala kerinduan dalam doa yang panjang.


Share:

Total Pageviews

Popular Posts

Powered by Blogger.

Apakah blog ini bermanfaat?

Translate

Copyright © Ummi Waffa Dan Tulisan | Powered by Blogger

Design by ThemePacific | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com