Friday 10 May 2019

Tulisan ini untukmu, anakku!

Hari ini Ramadhan kelima di 1440 H,  Mei 2019.

Ini adalah Ramadhan pertamamu di kelas SD tingkat pertamamu. Sehabis jumat tadi, dengan riang engkau turun dari sepeda motor Abi, membuka pintu, memberi salam, dan berjingkrak ringan melewati diriku yang berdiri tegak dalam shalat, menuju kamar untuk mengambil sebuah android yang telah dihibahkan Abi untukmu.

Tak lama dirimu keluar dari kamar dan mendapatiku menyiapkan diri untuk memeluk alquran lusuhku, sebuah kitab suci agama kita, islam, agama yang mengajarkan kebaikan oleh seorang nabi yang terakhir.

Dirimu mulai membuka layarnya. Tiga macam game terinstal di sana, sebuah ular berwarna, pelari sepeda, dan penyemprot dengan cat pilox yang di kejar petugas. Ya, itu belum cukup untukmu, aku tau, bermacam game seru yang lain menampilkan perkelahian dan kekerasan secara tidak langsung selalu engkau minta, tapi aku terlalu bersih untuk menyapu layar androidmu dengan penataan kalimat dan kata-kata yang memang kuniatkan akan tertanam di benakmu dengan baik, setidaknya itulah usaha kami, Abi dan Ummimu, karena kami di titipkan dirimu oleh Allah sebagai pengajar terhadap anaknya agar bisa menyambung hidupmu seterusnya tanpa kami disisimu lagi suatu saat nanti.

Ya, game yang baru berusia semuda puasa ini, sebagai bonus atas usahamu yang telah menyentuh ayat di bawah An Naba, sebuah surat lagi untuk penyempurna juz 30 yang engkau hapal selama kelas satu SD ini di tambah empat hari full puasa kemarin.

Maha suci Allah!

Sesaat kemudian, ajakan Abi untuk ikut bersamanya ke tempat ia bekerja engkau turuti, layar anroid kembali engkau matikan dan bergegas mengikuti punggung Abimu sambil menyelempangkan tas kecil di bahumu yang berisikan android tadi. Lihatlah dirimu, punggungmu kini sudah hampir menyamai Abimu, kendatipun engkau masih tujuh tahun, bisikku nanar.
Mataku menelisik setiap inchi tubuh kekarmu seraya menancapkan doa di hati,  " ya Allah, jadikanlah anakku dan keturunanku merupakan hambaMu yang baik, yang menyejukkan pandangan, dan jadikanlah mereka termasuk ke dalam golongan orang yang terpetunjuk dan mempunyai kedudukan yang tinggi di sisiMu, " sebagaimana doa yang di ajarkan nabi Ibrahim.

Cukupkah itu saja anakku? Tidak, saat Nabi Ibrahim mendapatkan kabar akan kelahiran Nabi Ishak dan Ismail, beliau juga mengajarkan, "Rabbana, karuniakan kami dengan hamba yang shalih."
Ditambah lagi dengan, "Rabbi, berikanlah kami keturunan yang thaibah, yang baik."

Anakku, sebuah kecupan di tanganku oleh bibirmu, dan ciuman lembut atas dua pipimu yang bidang dan berisi adalah syaratku untuk melepaskan dirimu mengikuti Abi siang itu. Aku tau Allah akan menjagamu dalam doaku yang berulang, dan jejeran gigi putih Abimu yang menunggu dirimu di depan pintu, cukup mewakilkan bahwa betapa dia sangat mencintaimu.

Aku melipat sajadah, menggenggam alquran dan bangkit menyimpannya. Pekerjaanku menata menu hidangan untuk menunggu menu berbuka kita nanti sudah harus dimulai.

Sejenak aku mengambil android milikku dan melihat apakah ada pesan yang penting di sana, dan ternyata, alhamdulillah, pesan itu penting sekali, yaitu sebuah kabar dari editor penulis buku antologi pertama bersama penulis lain telah bisa kupeluk beberapa saat lagi, sungguh, itu adalah kabar penting.

Kembali aku mencari kabar yang lain sebagai pemenuhan hasrat agar tidak ketinggalan zaman di era ini, itu perlu, bahkan sangat penting, kenapa? karena aku memiliki dirimu, anakku. Engkau adalah asset terbesar yang akan hidup di zaman ini bahkan zaman sepeninggalku kelak, semoga usiamu berkah.

Tahukah dirimu anakku, ternyata kabar lain lagi juga tak kalah penting. Aku membaca, sekitar 539 orang sudah meninggal dunia tak kurang dari waktu sebulan. Tahukah engkau nak, kematian mereka memiliki pola yang sama, cuma pusing, mual, muntah-muntah dan esoknya meninggal. Satu hal lagi anakku, mereka sama-sama sebagai anggota untuk pekerjaan pemilu 19 April yang lalu. Dan mirisnya banyak para ahli dan petinggi di negara kita tutup mata atau mungkin ketutup hatinya.

Anakku, usia enam bulan engkau juga muntah-muntah, dan penyakitmu terdeteksi bahwa demam berdarah menyerangmu. Besok nak, jika usiamu ada, ajarkanlah mereka untuk menghargai jiwa manusia untuk mencari penyebab kematian tak biasa itu. Lain halnya di satu daerah, sapi mati 300 ekor, lalu bersuka cita memikirkan penyebabnya, ini manusia yang terenggut nyawa kenapa hati itu tak bergetar?

Anakku, aku sering menanyakan kepadamu hal yang engkau anggap sepele. Iya, terkadang dalam diam engkau rela tak berkata, rahasia katamu. "Apa yang engkau baca dalam hatimu wahai anakku? " tanyaku selalu yang kadang menimbulkan protes lucu darimu bahkan keras.
Tapi tak surut juga bibir ini menanyakan itu-itu saja, "kalo Ummi baca doa Nabi Yunus ketika di dalam perut ikan paus nak, " gurauku selalu. Ah, hati itu nak, adalah kunci yang paling lembut, lentur dan tak terjangkau jemari kita, adonlah dia dengan mengingat Allah, niscaya dia akan semakin kokoh, berbeda dengan adonan tepung, semakin kau adon, walau semakin kalis, tapi dia tak kokoh.

Anakku, di zaman ini hati kita di ajarkan seperti burung pipit yang menyembunyikan air di paruhnya untuk memadamkan kebakaran yang terjadi di dalam hutan. Sedikit, tapi bermakna. 🙂

Share:

0 komentar:

Post a Comment

Total Pageviews

Popular Posts

Powered by Blogger.

Apakah blog ini bermanfaat?

Translate

Copyright © Ummi Waffa Dan Tulisan | Powered by Blogger

Design by ThemePacific | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com