Jika ada kerinduan di hati ini akan mamak, maka isi bagian dari buku "Sang pendamping haji" yang aku tulis, inilah salah satu kisah yang aku suka.
Aku beruntung menjadi salah satu dari sekian anak yang bisa mendampingi orang tuanya untuk beribadah dan sekalian menapak jalan untuk mengukir kenangan bersama di sanubari ini, terlebih lagi di kota ini, Madinah Al Munawarah, kota pilihan Allah agar Rasulullah berhijrah di sini.
Mamak
tampak tenang duduk di kursi roda saat
saya membawanya turun dari hotel. Sebelumnya beliau sedikit gusar untuk
melakukan perjalanan ini karena mengingat baru pertama kali saya memegang
kendali dari sebuah kursi roda.
“Memangnya Ida bisa?” tanya Mamak
sambil menunggu kepastian dari saya.
Dengan berbagai alasan yang mampu
masuk dalam alam pikirannya, akhirnya Mamak menyetujui keputusan saya untuk
tetap mendorong Mamak, lebih tepatnya mungkin mencoba, karena kursi roda ini
memang merupakan hal yang baru bagi saya.
Di depan hotel telah dipenuhi oleh jemaah yang sebagian
besar saya kenal. Perjalanan pun dimulai manakala para jemaah menerima komando
dari ketua kloter untuk melangkah. Kembali langkah-langkah kecil saya menapak
di jalan Madinah, jalan yang sama seperti kemarin ketika saya menuntun Mamak untuk berjalan,
hari ini, Mamak tampak lebih nyaman untuk dapat menikmati sinar pagi yang
merangkak naik di ufuk sana.
Roda-roda kursi yang Mamak tumpangi
berputar mengikuti jalanan kota Madinah yang jauh dari kata tidak baik.
Badan-badan jalan yang menghubungkan satu sisi dengan sisi lainnya mampu
membuat nyaman kursi roda untuk terus melaju. Langkah-langkah kecil jemaah lain
beriringan dengan langkah saya menuntun Mamak yang kini berada di depan.
“Mana mereka yang lain, Ida?” tanya Mamak mulai khawatir.
Penglihatan Mamak yang bermasalah menjadikan beliau tidak sepenuhnya dapat
mengetahui bagaimana kondisi yang sesungguhnya.
Sambil mengatur napas dalam balutan
masker,
saya lalu menjawab bahwa mereka masih ada di sekitar Mamak dan saya, ada yang di
depan, samping dan juga belakang.
Perjalanan ini terasa menyenangkan
bagi saya;
menikmati udara hangat pagi yang mengusik kulit wajah dan tangan saya,
mengikuti putaran roda yang berjalan mulus di jalan sambil membawa Mamak menuju
masjid Nabawi, tempat yang kemarin tertunda untuk saya melangkah dan menyelami
keindahannya lebih dalam.
Sebagai seorang yang amatir,
tertinggalnya saya dari jemaah lain mungkin dapat langsung dibaca oleh seorang
panitia dari Muassasah. Dalam perjalanan menuju pintu gerbang masjid yang
menurun, setelah menyakinkan saya bahwa beliau memang ahli dengan kendaraan
kursi roda ini, maka selanjutnya Mamak melaju bersama beliau di depan saya dan
bersama kembali saat berada di bawah salah satu payung masjid.
Melalui penjelasan dari panitia,
saya mengetahui bahwa ada waktu-waktu di mana makam Rasulullah atau Raudhah dibuka untuk jemaah wanita, harus melalui
pintu yang mana, begitu juga dengan pekuburan Baqe, semuanya mempunyai jadwal
tersendiri yang berbeda antara laki-laki dan perempuan.
Langkah kaki jemaah laki-laki dan
perempuan kini terpisah sudah. Saya mengikuti rombongan jemaah wanita yang
berjalan semakin lama semakin cepat di depan sana, entahlah, apakah kerinduan mereka untuk
segera bertemu dengan kekasih Allah di taman Raudhah menjadikan mereka laksana berlari, atau perasaan khawatir
seperti yang saya rasakan akan tertinggal dari rombongan lain dan tidak tahu lagi arah mana yang harus di
tempuh nantinya. Saya terus membawa lari kursi roda di tangan saya dan ternyata saya tidak
sendiri. Seorang ibu
yang mendorong mamaknya
yang telah berusia sangat lanjut juga mengikuti saya menapaki jejak-jejak jemaah
lain yang mulai kehilangan bayangannya.
“Dek, tunggu saya!” kata ibu tersebut dengan napas terengah-engah.
Saya memandangi punggung-punggung jemaah
lain yang telah lenyap di balik
gerbang besar di depan sana dan kemudian memilih untuk berhenti.
“Syukurlah!” Masih dengan napas yang tidak teratur
beliau kembali berkata dengan terbata,
“Tadi, Mamak saya didorong oleh anak saya
yang laki-laki, tapi karena sekarang harus terpisah, maka saya yang dorong Mamak.”
“Kita sama-sama ya, Dek!” balas beliau lagi yang
membuat saya sedikit bengong dan terdiam.
Dalam situasi yang seperti ini, saya
bersyukur ditemani oleh ibu
tersebut beserta orang tuanya, dan berharap bahwa sang ibu mengetahui jalan pergi yang akan
kami kunjungi dan jalan pulang nanti, siapa tahu beliau sudah pernah melaksanakan
ibadah umrah atau haji sebelumnya. Akan tetapi, keinginan saya yang harus andil
dalam sesuatu hal yang memudahkan apa pun yang menjadi pekerjaan saya, membuat
saya kembali menghafal dan mengenal ciri dan tanda-tanda yang mudah saya kenali
selama perjalanan kami berempat. Selain
mempercepat sampai pada tujuannya juga sebagai usaha untuk menjaga agar tidak
tersesat nantinya. Perjalanan di dalam rombongan tadi kini berubah menjadi
perjalanan kami berempat.
Rasa syukur kembali dipanjatkan Mamak
secara terbuka. Dinginnya suasana ruangan kamar hotel membuat wajah cemasnya
berubah nyaman seketika.
***
Agenda selama berada di Madinah
adalah memperbanyak ibadah salat di masjid Nabawi dan mengiringinya dengan
ibadah-ibadah yang lain secara mandiri maupun kelompok. Letak hotel yang tidak
jauh dari masjid, menjadikan para jemaah dapat melakukan perjalanan pulang
pergi saat selesai salat berjemaah. Walaupun demikian, ada juga yang lebih
memilih menetap di masjid untuk menunggu waktu-waktu salat selanjutnya,
misalnya pergi saat akan dilaksanakan salat Asar, setelah itu menunggu salat Magrib
juga Isya kemudian kembali ke hotel untuk makan malam dan beristirahat.
Kamar-kamar hotel seketika sunyi
apabila telah masuk waktu salat. Riuh rendah cerita yang terdengar dari
kamar-kamar di sebelah kamar saya yang masuk dari celah pintu yang sengaja dibuka saat makan siang bersama tadi
perlahan senyap. Para jemaah melaksanakan salat Duhur di masjid sekarang.
Pikiran saya menggeliat ke sana kemari saat terbaring di ranjang sambil menatap
Mamak dan Nek Samidah dalam gerakan salat masing-masing.
Setelah pulang dari ziarah beberapa
jam yang lalu Mamak menolak untuk pergi ke masjid karena lelah, Ah, mungkin salat
Asar nanti Mamak sudah kembali sehat, pikir saya dalam hati. Setelah Mamak selesai dari salatnya
saya segera mengutarakan niat untuk membawanya melaksanakan salat Asar, Magrib
dan Isya nanti.
“Ya, kita di halamannya aja! Nanti Mamak
masuk dalam barisan saf salat lalu Ida di luarnya.”
“Memangnya orang lain ada yang salat
di halaman? Nanti jauh kali Mamak dengan Ida bagaimana?”
“Kita pilih di sudut aja, jadi nggak
mengganggu orang lain, lagipula biar Mamak bisa dekat dari Ida, mau ya, Mak!” saya membujuk Mamak yang masih
sedikit merasakan beban.
“Itulah ya, kalau aku karena tidak ada yang dorong
saja. Padahal kalau dekat sedikit lagi masjid itu dari sini, aku mau pergi setiap waktu salat.
Tapi, kaki aku
ini sudah tidak bisa di bawa jalan jauh lagi sekarang,” kata Nek Samidah pelan
sambil menepuk kedua kakinya.
“Nah, Mak! Nek Samidah aja mau juga pergi
kalau ada yang dorong, Mamak sekarang udah ada kursi roda untuk Ida dorong,
jadi tunggu apa lagi?”
Mamak tersenyum kecut mendengar
perkataan saya. Walaupun Mamak tidak berkata apa-apa lagi, tapi hal tersebut
saya tanggapi sebagai tanda penerimaan atas ajakan saya.
Siang menjelang sore ini, kembali
saya melajukan kursi roda mengantarkan Mamak untuk menunaikan tiga waktu salat
di masjid Nabawi. Bersatu dalam langkah-langkah tegap para jemaah yang mulai
keluar dari seluruh pintu-pintu hotel menuju satu tujuan membubungkan tinggi
semangat saya berjalan di bawah terik matahari. Menyusuri lorong-lorong hotel
kemudian berbelok mengambil jalan pintas di dalam pasar tradisional dan masuk
melalui pintu delapan mempermudah langkah saya untuk sedikit menghindari
dahsyatnya panas mentari.
Handuk putih yang saya basahkan dan
dililitkan pada leher Mamak dalam hitungan menit kering seketika. Berulang kali
air yang dibasuhkan ke wajahnya kembali menguap oleh panas. Sambil bercerita
hal-hal kecil, Mamak hanya tersenyum saat saya tanyakan keadaan beliau yang
merasakan suhu panas kota Madinah. Air zamzam yang tersedia tidak jauh dari
tempat saya dan Mamak, menjadi pilihan untuk menjadi penghilang dahaga saat
menanti masuknya waktu-waktu salat yang ditunggu.
“Ibu,
Ibu! full, full! Penuh Ibu! Full, full!”
Teriakan wanita berjubah hitam di depan sambil
terus menyilangkan kedua tangannya di udara menarik perhatian saya. Pengucapan
dengan intonasi yang berbeda dari yang saya ketahui membuat saya terus
memperhatikan beliau. Ternyata mereka lebih dari satu orang. Kehadiran mereka
di setiap pintu masuk ke
dalam masjid, terlihat seperti petugas yang memeriksa isi dari tas yang
disandang oleh jemaah apabila hendak melangkah masuk. Di sisi lain, beberapa
orang sigap menarik garis pembatas untuk menciptakan bagian-bagian saf salat
yang harus ditempati jemaah yang tidak tertampung lagi di dalam. Saat ini, Mamak
sudah berada dalam garis pembatas yang telah diciptakan salah satu petugas
berjubah hitam juga. Tak lama azan Asar berkumandang. Saya kembali tertegun
menyaksikan parade salat yang diikuti oleh beribu orang dengan wajah, kulit,
bahasa dan pakaian yang berbeda-beda akan tetapi mereka semua menyembah Allah
yang tunggal, Allah yang Esa dengan penyembahan yang sama.
***
Pagi ini seluruh jemaah akan melakukan
perjalanan ziarah kembali dengan tujuan Jabal Uhud, masjid Quba, masjid
Qiblatain dan tempat berlangsungnya perang Khandaq.
Seperti pagi kemarin, Mamak terlihat
segar dan telah bersiap-siap untuk duduk di kursi roda dan berjalan
bersama-sama dengan seluruh teman sekamar menuju lift yang membawa kami ke
lantai dasar.
Perjalanan kali ini menggunakan
kendaraan seperti yang dikatakan oleh panitia semalam melalui pesan berantai
dan brosur yang ditempelkan di samping dinding pintu lift setiap lantai.
Beberapa bus sudah terparkir di halaman samping hotel dengan
identitas BTJ 01 dan nomor rombongan. Saya dan yang lain masih terpaku untuk
mengambil keputusan akan naik pada rombongan berapa mengingat untuk pertama
kalinya dulu saya dan Mamak dimasukkan ke dalam rombongan empat, kemudian bertukar
lagi menjadi nomor tujuh dan kini karena status jemaah susulan yang terjepit di
antara dua kabupaten kota, baik regu keberapa atau dalam rombongan yang mana
masih belum jelas bagi saya. Rupanya hal ini juga dialami Bu Tuti dan Kak
Aminah. Raihan dan suaminya masih terlihat berdiri di trotoar sambil terus
mengamati situasi yang akan terjadi.
Entahlah, selalu saja berkumpul
dengan rombongan dari Kota
Langsa sebagai jemaah dengan asal daerah yang sama menjadi pilihan bagi saya
juga Bu Tuti dan Kak Aminah untuk mengambil keputusan dan naik pada kendaraan
yang telah ditempati oleh beberapa jemaah. Akan tetapi, saat seperti inilah perbedaan yang
sangat kentara saya rasakan. Manakala jemaah yang telah duduk di dalam kendaran
tadi mengeluarkan kata-kata tegas bahwa kendaraan ini untuk rombongan sekian
saja dan bertahan dengan perkataan tersebut. Mendengar penjelasan tersebut,
segera saya kembali membawa turun Mamak yang telah duduk di salah satu bangku
bus dan mengeluarkan kembali kursi roda dari bawah bus. Akan tetapi Bu Tuti dan
Kak Aminah memilih bertahan di dalam bus dengan pemahaman seperti hal yang
telah dikemukakan oleh panitia, bahwa ada kendaraan yang mampu menampung regu
semua rombongan dan ada yang tidak.
Pilihan untuk menunggu kepastian
tetap saya ambil, meskipun Mamak terlihat kurang setuju karena terpisah dari
teman yang lainnya. Beberapa waktu kemudian keadaan baru terlihat lebih jelas
pada saat suami Raihan mencari informasi tentang regu sebenarnya. Hal ini
menjadikan saya segera bersyukur dengan keputusan turun dari bus yang tadi saya
tumpangi, karena di dalam bus yang baru ini, walau hakikatnya saya berbaur
dengan jemaah dari Aceh Besar tetapi kenyataannya saya dikumpulkan kembali
dengan Kak Ana dalam satu rombongan dan juga seorang pimpinan dayah di salah satu tempat di tanah air.
***
Bus
yang saya tumpangi membelah jalan raya yang padat dengan kendaraan lainnya.
Menanjak serta menurun dan terus melaju di jalur kanan dalam menerobos beberapa
terowongan megah yang menghiasi perjalanan membuat saya terus bersyukur dapat
merasakan nikmatnya perjalanan ini. Suara pimpinan dayah yang selanjutnya saya kenal
dengan panggilan Abu Madinah terus mengiringi sebagai pemandu perjalanan di
samping supir. Layaknya seseorang yang pulang kampung dan menceritakan setiap
detil perjalanan yang kami lalui, Abu Madinah terlihat senang untuk menyingkap
sejarah tempat-tempat di kanan-kiri perjalanan dan membagikannya kepada kami.
“Bapak-Ibu, sekarang kita telah
sampai di Masjid Quba, masjid yang pertama-tama didirikan oleh Nabi Muhammad saw. Rasulullah saw. sangat mementingkan mendatangi masjid
ini dan menjelaskan dalam sabdanya, bahwa barangsiapa yang datang ke masjid
Quba dan salat di dalamnya, maka ia mendapatkan pahala seperti pahala umrah.
Dengan demikian Bapak-Ibu, kita telah mendatangi masjid ini, maka kita akan
berhenti, turun dan salat. Setelah itu langsung kembali ke bus untuk
melanjutkan perjalanan. Ingat Bapak-Ibu, jangan salah naik kendaraan, karena
bisa jadi nanti Bapak-Ibu akan dibawa ketempat lain, misalnya bergabung dengan jemaah
Afganistan, India,
atau Afrika,”
jelas Abu Madinah
yang menguraikan tawa dan senyum pada wajah jemaah di dalam bus. Akan tetapi, saya menanggapinya sebagai sesuatu
yang wajib tidak dilanggar. Mengingat bentuk bus yang sudah terparkir di
lapangan ini hampir serupa antara satu dengan lainnya, jika tidak teliti untuk
melihat kode yang telah diberi pada kaca depan bus, bisa saja nanti ada jemaah
yang akan naik bus jemaah Afrika yang saat ini diparkir sejajar dengan bus yang
saya tumpangi.
Berbeda jauh dari jalan yang
membentang dari sepanjang hotel dan menghubungkannya dengan masjid Nabawi,
usaha ekstra harus saya keluarkan untuk menggerakkan roda-roda dalam perjalanan
menuju masjid Quba. Area parkir dengan bebatuan yang tersebar secara umum pada
sebuah lapangan merupakan lintasan yang harus saya tempuh.
Meskipun demikian, telah tibanya
masa suci membuat saya bersyukur dapat menyungkur sujud di samping Mamak yang
juga khusuk dalam salatnya di atas
kursi roda. Setelah menghabiskan doa dalam permintaan yang panjang, saya
mendekap kaki Mamak dan meminta, “Mak, ampuni salah Ida ya! Juga doa untuk
Ida!” pinta saya bahagia.
“Apa yang Mamak mau doa untuk Ida?”
desah suara Mamak terdengar bergetar dalam isak tangisnya yang tertahan.
Hati saya membuncah mendengar
pilihan yang diberikan Mamak akan hal apa yang mau bagi saya untuk beliau
doakan. Berbagai pilihan melintas dan mendesak agar hal tersebutlah yang akan
saya pilih. Tetapi, doa agar diberikan kebaikan menurut ilmu Allah menjadi
pilihan saya dan mengucapkannya kepada Mamak. Rasa suka cita memenuhi diri ini.
Sungguh ya Allah, nikmat-Mu
yang manakah yang mampu aku dustakan? Bisik saya dalam hati.
***
Laju bus kembali mengukir jejak pada
jalan-jalan di kota Madinah. Tujuan selanjutnya adalah Jabal Uhud atau Bukit
Uhud. Kembali dengan penuh rasa gembira, Abu Madinah menjelaskan kisah Bukit Uhud dan mampu
membuat saya menikmati kisah tersebut dan melihat sendiri tempat terjadinya
perang Uhud ribuan tahun silam pada tahun ke-3 H.
“Di sebelah kanan kita itulah bukit terbesar di Madinah yang
dinamakan Jabal Uhud. Nah, di lembah ini pernah terjadi perang dahsyat antara
kaum muslimin sebanyak 700 orang melawan kaum musyrikin Mekah sebanyak 3000
orang. Dalam pertempuran itu, kaum muslimin sempat mendapat kemenangan yang
gemilang, sehingga kaum musyrikin lari pontang-panting dan meninggalkan
perbekalan mereka. Melihat hal tersebut, pasukan pemanah kaum muslimin yang
berada pada pos di atas gunung tergoda dan turun meninggalkan pos untuk
mengambil harta rampasan perang, padahal Nabi Muhammad sudah mengingatkan agar
pasukan pemanah tidak meninggalkan posnya apa pun yang terjadi. Kejadian ini dimanfaatkan oleh kaum
musyrikin untuk mengubah
strategi dan membalik keadaan. Karena kelalaian pasukan pemanah ini, kaum
muslimin terpaksa kalah dan banyak di antara sahabat Nabi menjadi syuhada.
Paman Nabi Muhammad, Hamzah bin
Abdul Muthalib juga gugur dalam pertempuran itu, sedangkan Nabi sendiri
mendapat luka-luka dan beberapa buah giginya ikut tanggal. Jadi Bapak-Ibu,
sekarang kita turun dan memberikan salam serta mengirimkan doa kepada para
suhada yang gugur dan mereka telah dimakamkan di tempat mereka roboh atas
perintah Rasulullah Saw.”
Saya mengikuti Abu Madinah mengambil
kursi roda pada bagian bawah bus yang tersedia. Udara pada waktu Duha ini mulai
menyengat dan menyisakan sesak apabila tidak menggunakan masker. Mamak terlihat
menarik dengan rapat masker dan memeganginya. Sesaat kemudian rombongan jemaah
berjalan beriring dengan Abu Madinah yang juga menggunakan kursi roda dan di
tuntun seorang jemaah laki-laki.
“Aduh, pelan-pelan, Ida!” pinta Mamak berkali-kali
manakala roda yang melaju di atas bebatuan terganjal dan membuat kursi roda
sedikit terjungkit.
Saya hanya tersenyum lucu dan
mencoba melajukan kursi roda kembali. Dari balik kacamata hitam, mata saya
berkeliling memandang cadasnya bebatuan yang menghiasi permukaan Bukit Uhud dan
lembah-lembah yang membentang di sisi-sisinya. Inilah bukit yang ditawarkan Allah kepada
Rasulullah untuk diubah menjadi emas dan beliau menolaknya, bisik hati saya.
Langkah kecil kaki-kaki para jemaah
tiba-tiba berhenti di depan sebuah tempat yang telah terlindungi oleh pagar.
“Di sinilah kita berhenti,” jelas
Abu Madinah, “di
depan sana 70 orang syuhada dalam perang
Uhud dimakamkan,” tambahnya kemudian dan bersiap mengangkat kedua tangan seraya
melantunkan salam dan doa dengan suara yang dapat saya dengar dan jemaah
lainnya untuk mengaminkan.
Belum selesai Abu Madinah membacakan
doa, seorang penjaga makam mengangkat kedua tangan dan mengIsyaratkan agar doa
segera dihentikan. Sejurus kemudian terjadi debat dalam dialog bahasa Arab oleh
Abu Madinah dan penjaga makam yang membuat kepala penjaga makam berulang kali
digeleng-gelengkan.
“Kenapa, Abu?” tanya seorang jemaah
laki-laki setelah melihat dialog tersebut berakhir.
“Kita tidak boleh lagi berdoa beliau
bilang, cukup memberikan salam kepada semua ahli kubur yang ada di pemakaman
ini dan tidak menyebutkan satu per satu
seperti yang saya lakukan tadi,”
jelas Abu sambil tersenyum, “ayo,
kita kembali melanjutkan perjalanan lagi.”
Kursi roda Abu
berdampingan dengan kursi roda Mamak. Melihat Abu mulai bergerak, saya segera
mengikuti dalam jarak yang tidak terlalu jauh. Sekilas saya memandangi penjaga
makam dari celah rombongan, terlintas berbagai pemikiran yang membuat buntu
pada ujungnya. Ya Allah, tiada
pengetahuan atas diri ini terhadap semua pertanyaan di hati saya, lirih hati saya
bergema, dengan perasaan tiada terbeban saya berlalu dan segera berpaling.
***
Klakson
bus sesekali meraung dalam lintasan jalan yang mulai padat. Luasnya area parkir
tampak kecil dengan bus-bus yang sudah tersusun memenuhi halaman. Tujuan kali
ini adalah masjid Qiblatain yang mula-mula dikenal dengan masjid Bani Salamah
karena dibangun di atas tanah bekas rumah Bani Salamah.
“Bapak-Ibu yang dirahmati Allah,
kita turun dan salat di masjid ini kemudian langsung kembali ke bus untuk
melanjutkan perjalanan. Akan tetapi, karena kondisi, saya tidak ikut turun
dengan Bapak-Ibu, saya menunggu di dalam bus saja,” kata Abu Madinah
menjelaskan.
“Da, Mamak nggak usah turun juga, ya!” kata Mamak kemudian.
Saya memperhatikan raut wajah Mamak
yang telah menyisakan keletihan dari perjalanan sebelumnya. “Ya udah, Mamak di
dalam bus aja sama Abu ya! Ida nggak lama, salat lalu kembali terus,” jelas
saya dan dibalas anggukan tanda setuju.
Sambil bergegas menyusul rombongan
yang mulai hilang di balik badan bus yang terparkir, saya mengeluarkan handphone dan mengabadikan gambar muka
bus agar mudah untuk saya kenali nanti. Setelah berlari-lari kecil, akhirnya
rombongan jemaah wanita dapat saya kejar dan segera bersiap untuk kembali berwudu.
Masjid
ini tidak begitu besar, jalur masuk yang melewati tangga dan banyaknya jemaah
dalam barisan antrean, menjadikan perjalanan ini sedikit sesak dengan manusia.
Walaupun demikian, dapat mendirikan salat di masjid ini mengingatkan saya
kembali akan sejarah perubahan kiblat yang sebelumnya menghadap ke arah Baitul
Maqdis di Yerussalem, Palestina, kemudian beralih ke Masjidil Haram akibat dari
turunnya wahyu surat Al-Baqarah ayat 144 yang memerintahkan Rasulullah Saw dan
umatnya menjadikan Masjidil Haram sebagai kiblat.
Sungguh terasa singkat waktu yang
tersedia untuk menguraikan pinta kali ini. Kembali terlintas bagaimana
nikmatnya hanyut dalam untaian doa-doa apabila sedang berada di dalam masjid di
tanah air. Perasaan khawatir akan ditinggal oleh rombongan tidak pernah
terlintas disebabkan seluk beluk jalan sudah saya pahami. Tetapi kali ini, saya
harus bergegas mengejar jemaah lain yang mulai meninggalkan tempat mereka
bersimpuh dan kembali ke bus semula. Sambil menatapi dinding-dinding masjid dan
jalan-jalan yang saya lalui, tertanam keinginan di hati ini bahwa suatu saat
nanti saya akan kembali dalam keadaan yang lebih santai untuk bisa menikmati
setiap detik waktu yang berjalan tanpa ada rasa khawatir sedikit pun akan
segala hal.
Bus mulai melaju dan meninggalkan masjid
Qiblatain untuk selanjutnya menempuh perjalanan.
“Alhamdulillah Mamak nggak turun
tadi,” jelas saya kepada Mamak dan membuat wajahnya berpaling.
“Memangnya kenapa, Ida?” tanyanya penasaran.
“Karena ambil wudunya harus turun ke
ruang bawah tanah,
Mak, lalu naik lagi
ke atas dengan tangga
yang lumayan tinggi, jalannya pun harus antre,” jelas saya sambil berusaha
mengatur duduk agar terasa lebih nyaman. Mamak hanya terdiam dan larut dalam
pikirannya kembali.
***
Abu Madinah masih bersemangat
menjadi pemandu dalam perjalanan ini. Di sela-sela deru mesin bus, klakson, dan
riuh rendah suara penumpang bus beliau terus memandu sampai bus berhenti di
persimpangan lampu merah. Bersyukur saya dan Mamak berada tidak jauh dari
tempat beliau duduk, sehingga saya dapat mendengar suara beliau dengan jelas.
“Bapak-Ibu, di depan sana adalah masjid
Khamsah dan daerah ini dikenal dengan nama Khandaq. Khandaq dari segi bahasa
berarti parit. Melalui saran dari sahabat Nabi, Salman Al Farisi, agar
Rasulullah saw
membuat benteng pertahanan berupa parit yang diusulkan guna menanggulangi
penyerangan kafir Quraisy bersama sekutu-sekutunya di tempat ini. Oleh karena
itu, tempat ini lebih dikenal dengan Khandaq,” jelas Abu sekilas. “Tapi Bapak-Ibu, kita tidak berhenti dan turun karena
tempat terakhir yang akan kita kunjungi adalah kebun kurma dan seterusnya kita
kembali ke penginapan guna mempersiapkan diri untuk menunaikan salat di Masjid
Nabawi.”
Bus kembali melaju di bundaran masjid
dan meninggalkan wilayah
Khandaq untuk seterusnya masuk terowongan dan keluar menyusuri jalan lintas
yang tiada sepi dari kendaraan. Pinggiran kota Madinah terlihat gersang dengan
batuan sepanjang perjalanan. Walaupun beberapa batang tumbuhan menghiasi di
beberapa tempat, namun dalam pandangan masih jauh dari tempat yang menjanjikan
kesejukan. Meskipun demikian, di tempat ini tumbuh subur ribuan pohon kurma
sebagai rezeki yang melimpah dari Allah kepada penduduknya dan yang datang
mengunjungi tempat ini.
Setelah melewati sebuah tempat yang
menurut penjelasan Abu adalah tempat yang dijadikan pondasi untuk membangun
sebuah masjid dari tipu daya kaum kafir yang telah rata dengan tanah, bus
melaju pelan dan mulai memasuki perkebunan kurma. Sebuah pemandangan yang
menarik bagi saya dapat menikmati banyaknya pohon kurma yang tersusun rapi
dengan buah yang terjuntai di sisi-sisinya,
mengingatkan saya akan perkebunan sawit di tanah air yang hampir serupa dengan
ini.
“Ya, sekarang kita turun, di dalam
sana, Bapak-Ibu bisa berbelanja sebagai oleh-oleh bagi yang ingin berbelanja,”
kata Abu menutup penjelasan sambil meletakkan mikrofon.
“Mak, sudah sampai di kebun kurma, Mak, Mamak mau turun?” tanya saya.
“Ngh... memangnya yang lain turun?” jawab Mamak.
Setelah melihat seisi bus, masih ada
beberapa jemaah yang masih tetap di dalam dan larut dalam kesibukannya
masing-masing, kembali saya menjawab, “Ada yang turun, ada juga yang enggak
turun, Mak!”
“Mamak di sini aja ya, Da!” pintanya.
“Tapi Ida turun sebentar ya, Mak!” pinta saya sambil bersiap untuk
menyusul rombongan.
Layaknya pasar, kebun kurma ini juga
memiliki tempat untuk dapat dilakukannya transaksi jual beli. Berbagai jenis
kurma tersedia untuk dijual.
“Rasa… satu, rasa... halal!” tanya seorang jemaah kepada sang penjaga
dengan Isyarat memakan kurma.
“Halal… halal!” jawabnya sambil
melambaikan tangan menandakan boleh atau silakan untuk dicicipi.
Saya tersenyum melihat hal tersebut
yang mulai akrab di mata ini, sambil
terus menyusuri meja-meja yang menyajikan makanan kurma dan berbagai macam
jenis cokelat. Ya, cokelat adalah makanan mendunia, dan di tanah Madinah ini
keasliannya pasti terjaga dari campuran yang tidak halal. Kembali saya
menikmati jenis-jenis cokelat yang diberikan oleh penjaga untuk dicicipi.
Beberapa jemaah
terlihat telah menenteng bungkusan dan kembali. Setelah memilih bahan yang akan
saya beli, perlahan langkah saya ayunkan menuju bus untuk bersiap kembali ke
hotel.
***
Kerinduan
untuk menyungkurkan diri ini di masjid Nabawi akhirnya terobati. Dalam ilmu
Allah, rupanya saya harus mendirikan salat pertama di masjid Quba terlebih
dahulu daripada di masjid Nabawi, walau hakikatnya sudah bermalam beberapa hari
di Madinah.
Kembali para jemaah larut dalam
agenda masing-masing setelah melakukan perjalanan ziarah kemarin, menunaikan salat
berjemaah di masjid Nabawi dan sebagian lagi berkeliling menikmati perjalanan
dan berbelanja di sela-sela waktu yang tersedia.
Setelah bersiap diri lebih awal dari
waktu salat yang ditentukan, saya beserta teman-teman sekamar mulai menapaki
jalan kota Madinah. Mamak memilih untuk tetap di hotel bersama Nek Samidah, karena setelah perjalanan
ziarah kemarin, kesehatannya mulai menurun. Demi mempersiapkan kesehatan pada
musim haji nanti, Mamak merelakan saya pergi bersama Bu Tuti dan mamaknya serta Kak Aminah dan mamaknya.
Waktu salat masih belum masuk, akan
tetapi di depan pintu gerbang tempat masuknya para jemaah perempuan telah
berdiri petugas dan melarang jemaah yang hendak menerobos. Melihat hal tersebut
Bu Tuti dan Kak Aminah mengambil keputusan untuk mengambil tempat di luar bersama jemaah yang lain.
“Padahal di dalam lebih dingin ya, Kak,” jelas kak Aminah sambil menggelar
sajadah.
“Iya! Hari ini kita telat sedikit,
jadi di dalam pasti udah penuh. Tapi, di sini juga dingin tampaknya,” jawab Bu Tuti sambil
memperhatikan kipas angin yang berputar dan menghembuskan air ke segala
penjuru, “Mungkin kloter gelombang satu lainnya dari Indonesia udah pada tiba,
belum lagi yang dari negara lain, makanya di dalam cepat penuh,” jelasnya
kemudian.
Berduyun-duyun para jemaah memasuki
pekarangan masjid yang kini berubah menjadi barisan-barisan saf salat dengan
garis pembatas sebagai penanda barisan. Terlintas saf-saf pada masjid di tanah air, pemandangan seperti ini
hanya terlihat pada tiga waktu yang biasa; pertama di hari Jumat, kedua saat salat
Idulfitri, dan ketiga salat Iduladha, sedangkan salat lima waktu
lainnya lebih banyak saf yang tidak terisi. Melihat kenyataan demikian kembali
hati ini bertakbir membesarkan Allah dan berlindung dari hal-hal yang saya
tidak mengetahui akan hakikat yang terkandung di dalamnya.
***
Air mata ini telah menganak sungai
di pipi. Berdiri menunaikan salat dan termasuk dalam orang-orang yang ruku dan
sujud di masjid Nabawi mengguncang segala rasa di hati untuk bersyukur kepada
Allah. Entahlah! Apakah perasaan ini dialami oleh semua orang yang mendapat
kesempatan untuk berdiri dan salat di sini, atau perasaan saya saja yang
terlalu lemah dalam menghadapi keadaan ini.
Alunan
suara imam masjid yang membacakan ayat-ayat Alquran dengan lembut dan bersahaja
menambah ketundukan saya untuk terus meresapi segala gerakan dalam salat yang
menurut para ahli peneliti lebih indah dan mengandung banyak manfaat
dibandingkan gerakan umum lainnya.
Memang benar seperti yang
disampaikan oleh pemateri pada manasik haji dan umrah di tanah air tentang
ketiadaan lafaz ‘bismillah’ di awal bacaan
salat, “Akan
tetapi hal tersebut jangan diambil menjadi pembatas untuk menyembah Allah. Mungkin faktor dalam memegang mazhab
dan mengamalkannya menjadi terdapat perbedaan pada beberapa hal, dan hal
tersebut tidak harus kita pikirkan untuk diperdebatkan,” jelas mereka.
Suara kedua sebagai penjelas dari
imam menggema lebih panjang dalam mengucapkan salam terakhir gerakan salat.
Saya mengikuti untuk melaksanakan salam.
Beberapa jemaah dari barisan-barisan
saf di depan terlihat bangkit dari
duduknya dan bergegas pergi. Beberapa waktu kemudian seruan salat kembali
bergema yang seterusnya saya ketahui sebagai salat jenazah diikuti sebagian jemaah
yang bangkit untuk menunaikan salat.
Bu Tuti dan kak Aminah telah
bersiap-siap untuk bergerak. “Cepat Ida, kita cari tempat di dalam,” kata Bu
Tuti.
Sambil bergegas saya melipat sajadah
dan mengikuti jalan mereka yang mulai melawan arus dari jemaah lain yang telah
memenuhi lorong-lorong jalan. Berjalan setapak dalam antrean manusia yang
panjang dan seakan tiada putusnya membawa langkah kaki saya memasuki pintu masjid
juga. Udara dingin langsung menyapa kulit wajah saya, dan seketika terlihatlah
jutaan jemaah masih memenuhi seluruh tempat di dalam masjid.
Pemandangan dan keadaan seperti
inilah yang saya alami selama berada di Madinah, suatu keadaan yang akan
meninggalkan kerinduan tersendiri untuk selalu mengecapnya di hati.
***
Langkah kaki-kaki kami bergerak
cepat, memasuki pintu masjid dan berbaur dalam barisan jemaah perempuan yang
telah mengekor laksana ular besar dan panjang.
“Sini, Da!” sapa Bu Tuti sambil terus
melangkahkan kakinya. Kak Aminah yang berada di sebelahnya terus mengikuti dan
terlihat tertawa senang.
Kali ini mimpi saya adalah
berkunjung ke Raudhah. Selepas menunaikan salat Duha di hotel, kami bertiga
mulai melangkahkan kaki menuju masjid Nabawi kembali.
Saya mencoba untuk terus berdekatan
dengan mereka dan berusaha agar tidak kehilangan pandangan. Ratusan jemaah
perempuan sudah mengantre pada sebuah tempat di depan beberapa tiang masjid
yang dijaga oleh petugas.
“Ibu... Ibu! Duduk!” katanya memerintah para jemaah
yang hendak beranjak bangkit dari duduknya dan masuk menyerbu ke tempat yang
sudah terlihat sesak dengan manusia.
Waktu ziarah yang diberikan untuk
mengunjungi Raudhah sudah terjadwal dan terpisah antara jemaah perempuan dan
laki-laki. Mungkin karena hal tersebut, para jemaah seakan takut kehabisan
waktu dalam antrean yang panjang sehingga tidak dapat mengunjungi Raudhah, oleh
karena itu bergegas untuk terus maju dan bisa masuk tepat waktu merupakan mimpi
semua jemaah.
Melangkahkan kaki di tempat ini
memerlukan kesabaran yang tinggi. Menjaga agar dengan kehadiran kita tidak
menjadi sebab tersakitinya jemaah lain, menjadikan saya mengatur keseimbangan
diri untuk terus tegak berdiri di antara jemaah lain yang terpisah dua anak
jari dari kiri, kanan, depan,
dan belakang saya. Kerinduan yang membuncah juga dialami jemaah lain, banyak
dari mereka yang tidak dapat menahan air mata yang terus mengalir bahkan sampai
ada di luar batas
kendali, sehingga laksana meratapi sesuatu. Petugas perempuan berjubah hitam
dengan sigap melarang perbuatan jemaah yang terkesan meraung-raung tersebut untuk
diamankan.
Kalau
sudah sampai di Raudhah, jangan lupa untuk mengambil jalur dan merapat terus ke
arah sebelah kiri, itu adalah tempat teraman untuk kita berdiri lama guna
memberikan salam dan berdoa
pesan sms yang diingatkan Ummi melalui suami saya yang menanyakan kabar pada
beberapa hari yang lalu terngiang di hati.
Mungkin inilah saatnya untuk mempraktikkan, bisik saya sendiri.
Sambil terus bergerak maju akibat
dorongan keadaan saya bergerak merapat sedikit-sedikit ke arah kiri sampai
akhirnya dapat menyentuh pembatas yang berada di depan tiga buah pintu
tertutup. Petugas yang menjaga di situ
terlihat sangat awas saat saya merogoh tas apit dan mengeluarkan buku catatan manasik haji dan umrah yang
selalu menemani selama ini.
Genangan air mata saya tidak
terbendung lagi, ya
Allah, nikmat-Mu
yang manakah yang mampu aku dustakan, gema di hati saya bertalu-talu sambil
memutar balik jalan kehidupan dan bersyukur bahwa dengan seizin Allah juga kaki
ini dapat terpaku lama di depan makam Rasulullah dan kedua sahabat tercinta. Di
sini, saya rasakan laksana sebuah tempat yang menjanjikan kenyamanan dan ketenteraman untuk mencurahkan segala
rindu. Dinginnya perasaan yang meliputi kepala sampai ruang di palung hati,
seolah timbul akibat uap dari kasih sayang Rasulullah kepada umatnya di tempat
ini dan telah menaungi diri saya.
Raudhah, oh, Raudah! Dirimu
adalah salah satu dari taman surga yang dikabarkan. Di sinilah salah satu
tempat yang makbul untuk berdoa kata Rasulullah, tempatmu tepat berada di
antara rumah Rasulullah dengan mimbar di masjid Nabawi ini, semoga saja kaki
ini telah benar berpijak, lirih saya dalam hati sambil menumpahkan segala
kerinduan dalam doa yang panjang.