Tuesday 21 May 2019

Tulisan ini untukmu, anak laki-lakiku!

Aku sangat tau akan apa yang sudah kuperbuat. Aku sangat yakin, bahkan dengan sok tau itulah, ternyata aku salah. Sebuah, dua baris, tiga keadaan bahkan ratusan kesempatan diberikan untuk menepis rasa sok tau itu.

Ilmu di atas ilmu, cahaya di atas cahaya. Anakku, seorang guru ngajiku, Abu paloh gadeng, atau Abu Mustafa puteh, beberapa kali mengupas makna alquran surat An nur, dalam tiga pengajian, di tiga tempat berbeda.

Ilmu Allah adalah cahaya di atas cahaya, yang terlalu menerangi dunia ini, hingga hatimu yang paling dalam sekalipun.

Juga tentang kegelapan di bawah lapisan kegelapan yang bila engkau ulurkan tanganmu pada kegelapan itu ia tidak akan tampak.

Kecerahan cahaya, kegelapan di atas kegelapan, sesungguhnya bermakna iman kata beliau.

Kau hidup dengan iman yang baik di hatimu, maka indahnya cahaya yang berpendar dari dirimu akan tampak pada tingkah laku, ketaatan yang hadir melalui refleksi seluruh anggota tubuhmu yang lahir maupun tersembunyi.

Kau hidup dengan iman yang buruk, maka tak perlu kau gembar gemborkan pada orang lain atau sekedar menutupinya dengan segala kebaikan, sejatinya keburukan itu akan keluar jua. Merambat, meranggas pada seluruh aspek tingkah lakumu, menghujam cerdas dengan lilitan tak bisa terpotong.

Aku juga terlalu dangkal dalam berilmu, karena itu, dalam air yang tampak batuan dan pasir di dasarnya, disitulah aku mengayuhkan perahu diri. Jikapun perahuku terpaksa menuju air yang tak mampu lagi menampilkan dasarnya, maka di saat itulah aku segera mengembalikan diri menjadi tiada.

Suatu saat kau pernah menuai protes selepas maghrib kala usiamu lebih tujuh tahun sedikit. Sambil menjalankan mobil mini di tangan kananmu, bibir mungilmu bersuara, "Ummi ini asyik baca alquran aja, bukan temanin kita main!" protesmu sambil menatap tak suka.

Aku menghentikan bacaanku. Menatapmu tenang, sambil berfikir akan kalimat apa yang harus ku sangkal guna memenuhi ketidaksukaan dirimu. Akhirnya, sesuatu yang sangat ku yakini puluhan tahun lalu, sebelum Allah menampakkan keadaan yang terbaik bagi diri ini atas pencarian jati diri, sebelum Allah memberikan semuanya secara kun fayakun, jauh sebelum mimpi-mimpi yang bermakna layaknya mimpi yang di tamsilkan ayah nabi Yusuf, sebuah rahasia besar dan sangat besar untuk diriku, jauh sebelum keinginanku yang berada dalam majelis Rasulullah walau di sudut terjauh sekalipun, dimana tak seorang pun yang mengenal diri ini, maka demi memenuhi labirin otakmu sebagai sebuah pengharapan agar kau ingat, akupun menjawab pertanyaan darimu, "Iyalah! Alquran ini Ummi baca biar nanti di alam kubur, Ummi ada kawan," jawabku sambil terus memperhatikan wajahmu yang belum berubah.
"Waffa ingat pas nenek meninggal dan dikuburkan, Ummi ga ikut masuk ke kuburan kawanin nenek, pas Michik meninggal juga sama, Abi ga masuk temanin Michik. Nanti, pas Ummi meninggal emang Waffa mau masuk ke kuburan kawanin Ummi? " tanyaku yang mengubah guratan wajahmu kini.
Tanpa menunggumu menjawab akupun berkata, "pasti ga mau kan? Tapi alquran ini mau, ia akan menjadi teman Ummi di sana nanti," pungkasku.

Share:

0 komentar:

Post a Comment

Total Pageviews

Popular Posts

Powered by Blogger.

Apakah blog ini bermanfaat?

Translate

Copyright © Ummi Waffa Dan Tulisan | Powered by Blogger

Design by ThemePacific | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com