Saturday 16 February 2019

Nasi soto di Madinah dan kisah sebuah kursi roda





Para jemaah telah memulai ibadah Arba’in yaitu salat sebanyak empat puluh waktu berjemaah di masjid Nabawi, tetapi sesuai kondisi, saya tidak akan mendapatkan kesempatan tersebut secara penuh. Ada perasaan sedikit sedih dalam hal tersebut, tetapi saya mencoba berlapang dada dan berkata pada diri sendiri, Mudah-mudahan Allah memberikan yang terbaik, walaupun demikian dengan izin Allah saya nanti juga akan mendapatkan kesempatan untuk bisa melaksanakan salat berjemaah apabila telah sampai masa suci.

Pintu kamar dibuka, Bu Tuti dan Mamaknya masuk sambil mengucapkan salam. Sebuah kantongan plastik menghiasi genggamannya dan tak lama beliau mengeluarkan isinya sambil berkata, “Makan, yuk!”
“Di mana belinya, Kak?” jawab saya sambil mendekat. Sebuah tempat berwarna putih berisi nasi soto dan dua buah nasi lengkap dengan lauk pauk sekadarnya menjadi perhatian saya.
“Di bawah, banyak orang yang beli, rata-rata para jemaah mengantre untuk membeli, kalau mau Ida ambil aja satu,” katanya ramah sambil menawarkan kepada saya.
“Nggak usah aja, Kak, Ida turun sendiri aja!” jawab saya sambil menanyakan Mamak apa yang harus saya belikan untuk beliau. Setelah bersiap, saya berjalan menyusuri lorong hotel dan mencapai pintu lift.
Beberapa jemaah laki-laki dan perempuan yang berusia jauh di atas saya terlihat memenuhi lorong-lorong hotel. Sebagian mereka ada yang terduduk di lantai yang dihiasi oleh ambal tebal di depan  kamarnya karena tidak dapat masuk dan menunggu kepulangan teman sekamar yang belum pulang dari masjid, ada yang berdiri sambil bercerita antara satu dengan lainnya dan ada yang menunggu terbukanya pintu lift seperti saya.
Perlahan lift berhenti dan membuka pintu. Seketika orang yang berada di dalamnya menyeruak di antara orang yang berdiri dan berjalan keluar di lantai lima yang saya tempati.
“Eh, mau ke mana, Ida?” tanya Kak Anakerabat suami saya yang telah saya sapa saat berada di asrama haji di tanah air.
“Cari nasi, Kak!” jawab saya.
“Ya, ya!” katanya melangkah pergi sesaat sambil menyentuh bahu saya.
Saya hanya tersenyum dan merasakan kebahagiaan saat mengetahui di lantai yang dihuni oleh sebagian besar jemaah dari Aceh Besar, setidaknya ada keluarga yang mampu meniupkan suasana dingin di hati. Sebuah pintu lift dengan tujuan lantai bawah segera terbuka dan saya menghilang bersama ditutupnya pintu tersebut.

***

Matahari belum terbangun dari tidurnya. Akan tetapi, cahayanya yang telah berkirim salam dengan langit menjadikan terciptanya lorong-lorong terang di belakang bangunan-bangunan yang menjulang tinggi. Pintu kaca segera membuka manakala hanya dua langkah terpaut dari saya. Udara panas seketika memenuhi seluruh rongga pernapasan dan membuat saya refleks untuk menarik masker dan berusaha bernapas normal. Inilah kota Madinah, walaupun dikatakan pihak kesehatan dari tanah air bahwa jemaah yang akan berhaji pada musim ini akan merasakan suasana sangat panas lagi yang mencapai lima puluhan derajat celcius pada puncak haji nanti, merasakan panas yang sangat berbeda dari keadaan di tanah air saja sudah menjadikan kerongkongan saya seakan tercekat apabila terlalu lama berbicara tanpa pelindung. Kembali saya bertasbih dan memohon dimudahkan Allah untuk apa pun yang akan saya jalani.
Jemaah lain riuh rendah menanyakan harga kepada penjual yang berdiri di sudut-sudut tiang yang sedikit gelap.
“Berapa harga nasinya, Kak?” tanya saya kepada seorang jemaah asal Kota Langsa yang saya kenal saat sedang menyantap sebungkus nasi bersama suaminya sambil duduk di sisi depan hotel.
“Kalau seperti ini hanya tiga Riyal, tapi ada juga nasi soto dengan harga lima Riyal,” jawabnya sambil tersenyum.
Mata saya kembali menatap jemaah yang membuat lingkaran pada diri sang penjual. Setelah melihat sana sini pada beberapa tempat yang bertumpuk akhirnya saya memilih satu tempat dan berdiri di sana guna mendengarkan pembicaraan mereka.  Mengingat keadaan saya yang tidak paham akan bahasa Arab, saya hanya mematung mendengarkan. Tetapi, perasaan senang segera menghampiri, ternyata sang penjual berbicara dalam bahasa Indonesia dan menawarkan dagangannya dengan lembut sambil menyebutkan harga-harga yang harus dibayar jika membelinya. Setidaknya berkurang sudah kekhawatiran saya untuk mendapatkan kemudahan di saat mencari makanan pagi hari yang harus kami penuhi sendiri disebabkan tidak tersedianya jatah makan yang diberikan oleh negara saat kami berada di Madinah dan beberapa hari lagi saat di Mekah.

***

“Masjidnya jauh, Kak?” tanya saya kepada Bu Tuti dan mulai terbiasa memanggilnya dengan sebutan Kakak.
“Enggak berapa jauhlah, setidaknya dari sini kita berjalan lurus melewati dua gang dari bangunan seperti hotel ini, terus kita ketemu pasar seperti pasar tradisional di tanah air, dari situ aja udah tampak gerbang nomor tujuh dari Masjid Nabawi,” jelas Bu Tuti yang mampu membangkitkan rasa penasaran saya.
Terlintas perkataan Ummi mengenai nomor-nomor gerbang ini.  Kalau kita sampai pada lokasi masjid Nabawi maupun Masjidil Haram, yang perlu kita ingat adalah nomornya, jadi kita masuk lewat pintu itu maka kita keluar juga harus dengan nomor yang sama, pesan beliau saat mengenang perjalanannya ke tanah suci ini.
Saya melihat Mamak yang masih duduk bersandar. Hanya Raihan yang tidak berada di dalam kamar setelah sesaat tadi pulang dan keluar lagi bersama suaminya.
“Mamak sanggup jalan? Kita ikut aja nanti saat Kak Tuti dan Kak Aminah pergi untuk melaksanakan salat Duhur,” kata saya antusias yang dibalas dengan respon Kak Aminah.
“Iya, Mak! Jalan-jalan, biar tahu masjidnya,” katanya sambil tertawa.
“Aku boleh ikut juga ya!” Nek Samidah juga kelihatan bersemangat untuk pergi.
“Boleh aja lho, kita jalan sama-sama, kok!” jawab Bu Tuti sambil berseloroh.
“Siap-siap terus, Mak!” kata saya kepada Mamak sambil melihatnya masih memikirkan sesuatu.
“Hmmm, siap-siap apanya! Cuma mukena aja dibawa, kan?” balasnya sambil menoleh.
Akhirnya, setelah bersiap, saya dan Mamak, Bu Tuti dan Mamaknya, Kak Aminah dan mamaknya serta Nek Samidah melangkahkan kaki menuju masjid dari sebuah kota suci Madinah Almunawarah.
Langkah-langkah kaki yang tadinya berderap sama mulai terlihat perbedaan manakala hotel tempat kami menginap menghilang tertutupi oleh gedung dengan tinggi yang sama. Perlahan jarak terus membentang di antara kami bertujuh. Berulang kali sapaan dan tanya dilontarkan kepada saya oleh Bu Tuti dan Kak Aminah yang mendapati saya harus berhenti berkali-kali dari berjalan oleh permintaan Mamak. Saya tetap menjawab tidak apa-apa dan memberikan mereka pilihan untuk terus berjalan di depan. Semakin lama semakin jauh langkah kaki memisahkan saya dan Mamak yang tertinggal di belakang, hanya punggung Nek Samidah yang masih terlihat walaupun kondisi beliau hampir sama seperti Mamak yang terus berhenti setelah beberapa langkah berjalan akan tetapi beliau lebih terlihat lebih sehat daripada Mamak, sedangkan Bu Tuti dan kak Aminah beserta orang tua mereka sudah hilang dari pandangan.
“Aduh, masih jauh, Ida? Berhenti dulu!” tanya Mamak sambil menekankan intonasi pada nama saya.
Saya meringis, tidak tahu harus mengambil langkah apa. Apakah kembali saja ke hotel atau tetap berjalan walaupun dalam kenyataannya keenam teman saya berjalan tadi telah lenyap sama sekali dari pandangan. Walau terpaksa, bibir saya menjawab pertanyaan dari Mamak yang menggambarkan keletihan luar biasa dengan perjalanan ini. “Ida nggak tahu, Mak, tapi di depan udah tampak gerbang nomor tujuh, pasti masjidnya udah dekat,” jawab saya.
Dalam hati saya berkata sendiri, mungkin bagi saya jarak yang terbentang di depan mata tergolong dekat, tapi bagi Mamak? Mungkin akan bermakna sebaliknya. Mamak tetap mengikuti langkah saya yang berjalan sambil menuntunnya hingga memasuki gerbang yang saya maksud.
Payung-payung megah dan lebar yang selama ini hanya saya saksikan di layar kaca maupun berbagai foto kini hadir di depan  mata dengan indahnya. Gema tasbih berulang kali saya lafazkan dan saya mencoba berbagi kegembiraan dengan Mamak akan hal ini. Melihat wajah Mamak penuh bermandikan keringat, saya menyimpan kembali kata-kata yang hendak saya lontarkan.
“Mamak capek, Da, masih jauh lagi?” tanya Mamak sambil menghentikan langkahnya.
“Udah sampai kita, Mak! Tapi, Ida nggak tampak Bu Tuti dan Kak Aminahnya,” jawab saya sambil mengedarkan pandangan ke pemandangan yang baru pertama ini masuk ke dalam mata saya. Orang-orang yang berbeda wajah antara satu dengan lainnya, gaun hitam yang menjuntai, wajah para jemaah India, Afrika, Pakistan, Afganistan, Cina, membuat saya terpaku. Suasana halaman masjid terasa begitu luas dan seketika saya kehilangan arah untuk menentukan mana timur, barat, utara maupun selatan. Sambil menuntun Mamak untuk duduk di  salah satu dinding payung saya terus memikirkan arah mana yang harus saya ambil untuk bergerak selanjutnya, tapi pertanyaan kembali mengusik saya, akankah mereka semua dapat saya temukan di antara ratusan orang yang sedang berlalu lalang dalam arah yang berbeda-beda? Sedangkan sekarang ini wajah jemaah Indonesia saja, bayangannya tidak saya dapatkan!
Keputusan untuk kembali ke hotel harus saya ambil dan menuntun Mamak berjalan pulang menyusuri jalan yang saya harus kenali sebagai rute perjalanan saat pergi tadi terasa lebih lama. Perjalanan ini sangat memberi pelajaran bagi saya. Ya, Mamak terlalu letih apabila harus berjalan, tidak ada cara lain selain mencari kursi roda sebagai alat bantu saya untuk menuntun langkah Mamak.

***

Saya kembali turun ke lobi hotel guna mencari informasi tempat yang menyediakan kursi roda. Keterbatasan bahasa membuat saya hanya mampu berkomunikasi sebatas jemaah dari tanah air dan mereka juga sama seperti saya, tidak mengetahui tempat yang saya maksud. Sambil memperhatikan para jemaah Indonesia yang baru tiba dari bandara dari kursi lobi, riuh rendah suara dan kesibukan mereka membuat saya bangkit dan kembali ke kamar.
Waktu berjalan dengan keadaan yang saling berseberangan, di satu sisi di luar sana, sengatan matahari membakar apa saja yang disentuhnya, sementara di dalam lorong-lorong hotel ini, rasa nyaman kembali saya rasakan.
“Dari mana, Ida?” tanya Kak Ana. Gelas bening di tangan kanannya masih kosong. Mungkin beliau hendak mengambil air panas yang disediakan pihak hotel di setiap lorong-lorong ini, bisik hati saya.
“Dari bawah, Kak, lagi cari informasi tempat yang menjual kursi roda.
“Untuk siapa kursi roda?”
“Tapi untuk Mamak, Kak! Tapi pagi Ida bawa Mamak jalan, rencana Ida mau ke masjid Nabawi, tapi Mamak nggak sanggup, Kak.
“Kenapa nggak bawa dari tanah air aja kemarin?”
“Ida dengar saran dari orang lain untuk apa dibawa, karena di sini ada katanya!”
“Iya, tapi kalau tidak tahu tempat jualnya, repot juga kan?” kata Kak Ana sambil menepuk bahu saya, “Udah dulu ya, Ida, ini mau buat minuman hangat,” kata beliau sambil tersenyum dan berlalu.
Sambil melangkah menuju pintu kamar, terlintas apa-apa yang merupakan saran dari beberapa orang yang saya temui di bawah tadi, juga Kak Ana baru saja berlalu. Ah, semua buntu, rasanya minuman hangat dari beberapa sachet kopi berkrim yang disediakan untuk seluruh jemaah selama di Madinah siang tadi menjadi pilihan saya guna menghilangkan rasa penat yang hadir.

***

Rasanya terlalu lama saya menunggu pulangnya teman-teman sekamar dari melaksanakan salat Isya yang mereka kerjakan. Mamak terlihat masih berbincang-bincang dengan Nek Samidah tentang apa saja yang mereka anggap menarik pembicaraan. Tidak lama berselang, pintu kamar dibuka dan Bu Tuti masuk beserta mamaknya.
“Nggak pulang sama Kak Aminah, Kak?” tanya saya setelah Bu Tuti meletakkan tas bawaan di sisi tempat tidurnya.
“Kami terpisah, entah ke mana pun dia, nggak tampak lagi. Huh, orangnya lebih banyak dari kemarin, untung Mamak, Kak Tuti pegang kuat-kuat, kalau nggak mungkin terpisah juga. Udah pada berdatangan kloter-kloter dari daerah dan negara lain, Da!” jelas Bu Tuti.
Tak lama pintu terbuka dan Kak Aminah masuk dengan wajah gusar disertai mamaknya di belakang.
“Ha, ini dia! Ke mana tadi dicariin di belakang kok tiba-tiba hilang?” kata Bu Tuti.
“Saya tampak Kakak tadi, cuma karena beberapa orang udah lewat di depan  saya, saya tidak bisa ikuti Kakak lagi, jadi sewaktu saya cari-cari lagi udah nggak tampak, lalu saya tarik tangan Mamak terus, takut terpisah lagi, dan saya duduk terus di tempat yang kosong. Ini pun saya cari Bapak dulu, kata kawannya yang pergi dengan beliau, Bapak juga nggak jumpa dan belum pulang sampai sekarang.”
Saya terdiam mencoba memahami kejadian yang baru terjadi. Di antara begitu banyak orang yang mempunyai tujuan sama yaitu melaksanakan salat di masjid Nabawi, membuat semuanya berkumpul pada satu tempat dan satu titik. Ini belum seberapa dikarenakan masih banyak kloter pertama yang belum sampai di Madinah selama beberapa hari kedepan. Lalu, bagaimana jadinya nanti di musim haji, di mana seluruh jemaah dari kloter gelombang pertama maupun gelombang kedua telah berkumpul semua? Saya mematung sambil terus menikmati nasi jatah malam yang telah disediakan.
“Berarti sama seperti aku yang kemarin juga tersesat waktu pulang. Aku nggak tampak lagi pun kalian, mana hotel ini aku nggak ingat lagi jalannya, untung ada jumpa orang yang tahu saat aku bilang hotel jemaah Indonesia, maka itu dibawanyalah aku ke sini!” Seketika Nek Samidah berbicara yang membuat orang seisi kamar bersahutan dalam kata-kata. Saya kembali hanyut dalam keadaan yang saya tidak tahu bagaimana harus menjalaninya.

***

“Ida, ada yang mau jumpa, nih.Suara Kak Ana menyapa setelah salam di muka pintu kamar.
Apa yang menjadi kebahagiaan bagi setiap orang adalah mendapatkan apa yang menjadi keinginannya secara tak terduga dan dengan cara yang mudah, demikianlah yang saya pikirkan. Kehadiran Kak Ana dengan seorang kerabat yang kata beliau merupakan kerabat dekat di tanah air dari silsilah suami saya membawa kebahagiaan juga rasa syukur yang tiada tara.
Cecek dapat kabar bahwa istri Zakir berangkat dalam kloter ini, jadi saat di bawah tadi berjumpa dengan Dokter Diah, Cecek bilang sama beliau bahwa Ida itu keponakan saya juga kalau dilihat dari suaminya, terus Dokter Diah bilang, ‘Iya, dan mamaknya Ida itu pasien saya udah puluhan tahun.’”
Entahlah, perasaan senang yang bagaimana lagi yang dapat saya ukirkan tentang apa yang ada di hati saya saat ini, menemani Kak Ana dan beliau yang menerangkan silsilah keluarga mampu membuat saya kembali berada di lingkungan keluarga seperti saat saya berada di tanah air. Seiring berjalannya waktu, sekarang beliau telah memiliki sebuah travel yang mengantarkan para jemaah untuk melaksanakan umrah berserta haji dari tanah air.


Cecek dengar Ida butuh korsi roda untuk Mamak, iya?” tanyanya seketika.
“Iya, tapi nggak tahu di mana belinya,” jawab saya sambil melirik Kak Ana.
Pertemuan itu sangat singkat. Bahkan terlalu singkat untuk dapat dijadikan momen berkumpulnya kembali keluarga lama di negara orang. Akan tetapi, kehadiran beliau sebagai paman dari suami saya kembali membuat perasaan syukur saya membuncah dada, sebuah kursi roda yang masih berbalut kertas dan bermerk diserahkan sambil tertawa. Terlebih lagi saat saya menanyakan harga yang hanya dibalas dengan perkataan, “Udah, pakai aja, semoga bermanfaat,” sambil meninggalkan saya yang terdiam di depan pintu lift.

Saya kembali memanggil-manggil Allah dalam hati, Ya Allah, manakah nikmat-Mu yang sanggup aku dustakan? Kalaupun ini merupakan sebuah rencana yang tidak disengaja, maka sungguh kejadiannya sangat sempurna. Jika ini merupakan hadiah bagi Mamak, sungguh kegembiraan itu ada pada diri saya yang memandang indahnya hadiah ini dan betapa sempurnanya ketidaksengajaan perjumpaan ini.

Sambil menunggu pintu lift membuka, mata saya tertuju pada lembaran kertas yang tertempel pada dinding luar lift. Berisikan sebuah ajakan untuk melakukan ziarah ke masjid Nabawi, dan pekuburan Baqi. Oh mungkin ini kabar yang dibawa Bu Tuti tentang agenda ziarah bersama muassasah Madinah esok hari, kata saya pada diri sendiri.


Malam ini, saya gembira dan membagi kegembiraan itu bersama Mamak dan teman sekamar lainnya. Akan tetapi, keadaan pada diri kita tidak selalu sama halnya pada diri orang lain, Kak Aminah berjuang keras bersama Pak Is sebagai ketua regu dan beberapa orang dari panitia kloter untuk mencari bapaknya yang tersesat. Baru menjelang dini hari beliau ditemukan tertidur pada salah satu sudut di dalam masjid Nabawi.

Bersambung ya...
Share:

0 komentar:

Post a Comment

Total Pageviews

Popular Posts

Powered by Blogger.

Apakah blog ini bermanfaat?

Translate

Copyright © Ummi Waffa Dan Tulisan | Powered by Blogger

Design by ThemePacific | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com