Saturday 2 February 2019

Kiat mengeraskan hati sebagai istri dan emak dari buah hati


Pertama: serahkan segala perkaramu kepada Allah saja, jangan pake orang kedua, ketiga bahkan keempat;

Kedua: pakai kaos kaki dan sepatumu, bismillah, berangkatlah!😎


              Selepas shubuh pada hari selasa tanggal enam Dzulqaidah, bertepatan dengan sembilan Agustus, saya beserta suami dan Waffa meluncur ke rumah mamak.
            Mamak baru saja selesai shalat manakala saya masuk ke dalam rumah dan menyapanya dengan salam. Semua keperluan saya dan mamak selama pergi sudah saya lengkapi didalam tas koper dan dikembalikan kepada panitia sehari sebelum keberangkatan, jadi hanya tas jinjing yang berisikan keperluan untuk semalam saja ada bersama kami.
            Setelah selesai bersiap-siap, Kak Ita yang dari tadi membantu mamak segera memeluk dan menciumi mamak untuk yang kesekian kalinya. Derai air mata membasahi pipinya.
            “Jaga mamak ya Ida,” Katanya berlinang air mata sambil menatap saya yang tak kalah menumpahkan air mata, “Kakak yakin Ida bisa!” katanya sambil memeluk saya yang hanya mampu membalas dengan anggukan.     
            Lirih doa-doa terlintas dalam hati segera saya panjatkan untuk semua yang saya dan mamak akan tinggalkan pada hari ini, kakak saya beserta anak-anaknya, abang beserta keluarganya, adek-adek dan suami serta anak saya yang pada hari ini harus saya ikhlaskan untuk ditinggalkan.
            Sambil bergegas menuju tempat berkumpul yang telah dijanjikan, maka seluruh anggota keluarga turut mengantarkan kepergian kami.
***
Sebuah lapangan yang berada di tengah kota sudah dipenuhi orang-orang yang turut mengantarkan para calon jamaah haji. Terlebih lagi kloter ini adalah kelompok pertama dari gelombang pertama yang akan berangkat menunaikan ibadah haji, sehingga seremonial pelepasan dilaksanakan dengan sangat menyentuh hati.
“Mana mereka Da?” tanya  mamak yang telah duduk di salah satu kursi Bus dengan saya disampingnya.
Saya melambaikan tangan kepada para keluarga yang telah berdiri disisi kaca tempat mamak duduk, “Itu mak!” jawab saya sambil sedikit memalingkan wajah beliau.
Mamak kemudian tersenyum, dan berkata, “Nggak nampak mamak, Da!”
Terdengar desahan kecil mamak. Saya menahan sesak yang menghimpit dada dan mencium pipinya dengan lembut. Setelah itu saya kembali melambaikan tangan kepada orang-orang terkasih yang telah Allah titipkan kepada saya, dari Kak Ita, Bang Mul, Adek kembar dan si buah hati Waffa yang terdiam disisi suami saya seraya menatap bus bergerak perlahan. Seiring salawat badar yang dikumandangkan para pengantar jamaah, kembali tertanam di hati saya, ‘Ya Allah, mudahkanlah urusanku dalam perjalanan ini.’
***
Laju iring-iringan bus pengantar calon jamaah haji meluncur bebas hambatan di jalan raya sepanjang Langsa-Banda Aceh. Keberadaan pihak keamanan didepan rombongan menjadikan perjalanan ini tidak terkendala.
Sepanjang perjalanan, terlihat banyak orang yang berdiri dan melambaikan tangannya ke arah bus calon jamaah haji. Terbayang bertahun-tahun yang lalu saat saya juga termasuk kedalam golongan orang yang berdiri melambaikan tangan kepada jamaah yang akan menunaikan ibadah haji, terlintas harapan pada diri saya kepada Allah untuk segera menggabungkan diri saya kedalam golongan orang-orang yang berada di dalam bus sana, dan dengan izin Allah saat ini saya telah ada di dalam bus yang akan mengantarkan saya menunaikan ibadah haji, bahkan ditambah kehadiran mamak di samping saya.
Sekilas saya memandangi wajah mamak yang tertidur pulas lalu mengambil handphone yang berbunyi. Sebuah pesan masuk dari Kak Asni, “Sudah sampai dimana Ida?”
Saya pun melirik jalan raya dan mencoba memastikan keberadaan saya saat ini dan membalas pesan yang masuk, “Seulimeum kak!”
“Ada waktu untuk jumpa nggak? Atau langsung masuk Asrama haji?”
“Belum tau, nanti Ida sms lagi kalau udah ada khabar,” jawab saya.
Kak Asni berhenti dari membalas pesan saya. Selepas acara pesijuk dirumah saya dan mamak beberapa hari yang lalu, Kak Asni kembali ke Banda Aceh dan berjanji menunggu kami di sana saja. Karena seluruh calon jamaah haji dari empat kabupaten kota akan berkumpul di Asrama haji sebelum bertolak ke Arab Saudi.
Sedangkan yang turut mengantarkan saya dan mamak dari Langsa sambil mengiringi bus adalah suami saya beserta Waffa dan seorang saudara dekat. Bang Mul beserta keluarganya akan menyusul malam harinya.
Bus tetap melaju dengan kencang. Setelah beberapa waktu lalu mendapatkan informasi dari panitia yang bertugas pada bus dimana saya berada, maka saya kembali mengirimkan pesan kepada Kak Asni dan juga suami saya, “Kata panitia kami akan berhenti dan singgah di Mesjid Lampineung samping kantor Gubernur sebelum masuk asrama, artinya masih bisa berjumpa disana.”
***
Pukul lima sore terhitung rombongan bus kami memasuki kota Banda Aceh. Terlihat kemacetan yang panjang manakala bus pengantar calon jamaah haji berbaris dengan kendaraan lain di badan-badan jalan.
“Mak, turun dulu yuk!” pinta saya pada mamak setelah bus terparkir dan hampir seluruh jamaah turun dari bus.
“Kemana kita? Apa udah sampai?” balas mamak sambil kebingungan.
“Kita udah sampai di Banda Aceh, tapi jam tujuh malam nanti batu kita diperbolehkan masuk Asrama haji, jadi masih ada waktu untuk istirahat di sini, Kak As juga udah menunggu kita di sana!” jawab saya menyakinkan mamak.
Banyak pengantar calon jamaah haji lain juga datang untuk menemui keluarga dan karib kerabat mereka. Banyak rasa yang dicurahkan dari mereka yang akan berangkat dan juga mereka yang akan ditinggalkan. Saya memperhatikan pemandangan demikian dengan perasaan yang tidak menentu.
Sambil terus menuntun langkah mamak menuju sebuah kantin untuk beristirahat. Saya kembali merasakan kebersamaan terakhir bersama orang-orang yang saya cintai sambil menikmati masakan Kak Asni yang disuguhkan kepada saya dan mamak.
***
Ternyata perjalanan waktu terasa begitu singkat apabila kita sedang dihadapkan kepada sebuah pekerjaan. Kembali panitia mengumumkan bahwa para calon jamaah haji diminta untuk kembali menaiki busnya masing-masing agar dapat memasuki Asrama Haji tepat waktu.
“Sampaikan salam saya kepada Rasulullah,” pesan suami saya.
Sambil terus berusaha tegar, saya kembali menggenggam jemari suami saya dan menciumnya. Berdiri sejajar memandangi wajahnya membuat hati saya bergejolak, kembali saya memeluknya dan membisikkan kata,”Terima kasih telah menemani saya selama ini dan memberi kesempatan kepada saya untuk menjadi seorang istri.”
Tangisan saya kembali pecah, terlintas masa di awal berumah tangga saat belum hadirnya Waffa di tengah-tengah kami yang berbilang tahun, suami saya tetap setia mendampingi sepanjang perjalanan walaupun beragam dorongan untuk mencari pendamping hidup yang lain selalu berdatangan dari beberapa pihak, akan tetapi jalan tersebut tidak di tempuh olehnya.
Dengan lembut suami saya menepuk-nepuk pundak saya. Tidak ada kata yang beliau ucapkan selain menyunggingkan senyuman yang menjadi ciri khasnya. Walau saya rasa perang batin juga berkecamuk di dalam diri suami saya, akan tetapi kebesaran jiwanya tidak menunjukkan sedikitpun tanda-tanda demikian diwajahnya.
Dari dalam bus yang terus melaju membawa saya dan mamak, saya melambaikan tangan kepada mereka dengan air mata yang terus berderai.
Share:

0 komentar:

Post a Comment

Total Pageviews

Popular Posts

Powered by Blogger.

Apakah blog ini bermanfaat?

Translate

Copyright © Ummi Waffa Dan Tulisan | Powered by Blogger

Design by ThemePacific | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com