Pertama: serahkan segala perkaramu kepada Allah saja, jangan pake orang kedua, ketiga bahkan keempat;
Kedua: pakai kaos kaki dan sepatumu, bismillah, berangkatlah!😎
Selepas shubuh pada hari selasa tanggal enam
Dzulqaidah, bertepatan dengan sembilan Agustus, saya beserta suami dan Waffa
meluncur ke rumah mamak.
Mamak
baru saja selesai shalat manakala saya masuk ke dalam rumah dan menyapanya
dengan salam. Semua keperluan saya dan mamak selama pergi sudah saya lengkapi
didalam tas koper dan dikembalikan kepada panitia sehari sebelum keberangkatan,
jadi hanya tas jinjing yang berisikan keperluan untuk semalam saja ada bersama
kami.
Setelah
selesai bersiap-siap, Kak Ita yang dari tadi membantu mamak segera memeluk dan
menciumi mamak untuk yang kesekian kalinya. Derai air mata membasahi pipinya.
“Jaga
mamak ya Ida,” Katanya berlinang air mata sambil menatap saya yang tak kalah
menumpahkan air mata, “Kakak yakin Ida bisa!” katanya sambil memeluk saya yang
hanya mampu membalas dengan anggukan.
Lirih
doa-doa terlintas dalam hati segera saya panjatkan untuk semua yang saya dan
mamak akan tinggalkan pada hari ini, kakak saya beserta anak-anaknya, abang
beserta keluarganya, adek-adek dan suami serta anak saya yang pada hari ini
harus saya ikhlaskan untuk ditinggalkan.
Sambil
bergegas menuju tempat berkumpul yang telah dijanjikan, maka seluruh anggota
keluarga turut mengantarkan kepergian kami.
***
Sebuah lapangan yang berada di tengah kota sudah
dipenuhi orang-orang yang turut mengantarkan para calon jamaah haji. Terlebih
lagi kloter ini adalah kelompok pertama dari gelombang pertama yang akan
berangkat menunaikan ibadah haji, sehingga seremonial pelepasan dilaksanakan
dengan sangat menyentuh hati.
“Mana mereka Da?” tanya mamak yang telah duduk di salah satu kursi
Bus dengan saya disampingnya.
Saya melambaikan tangan kepada para keluarga yang
telah berdiri disisi kaca tempat mamak duduk, “Itu mak!” jawab saya sambil
sedikit memalingkan wajah beliau.
Mamak kemudian tersenyum, dan berkata, “Nggak nampak
mamak, Da!”
Terdengar desahan kecil mamak. Saya menahan sesak yang
menghimpit dada dan mencium pipinya dengan lembut. Setelah itu saya kembali
melambaikan tangan kepada orang-orang terkasih yang telah Allah titipkan kepada
saya, dari Kak Ita, Bang Mul, Adek kembar dan si buah hati Waffa yang terdiam
disisi suami saya seraya menatap bus bergerak perlahan. Seiring salawat badar
yang dikumandangkan para pengantar jamaah, kembali tertanam di hati saya, ‘Ya Allah, mudahkanlah urusanku dalam
perjalanan ini.’
***
Laju iring-iringan bus pengantar calon jamaah haji
meluncur bebas hambatan di jalan raya sepanjang Langsa-Banda Aceh. Keberadaan
pihak keamanan didepan rombongan menjadikan perjalanan ini tidak terkendala.
Sepanjang perjalanan, terlihat banyak orang yang
berdiri dan melambaikan tangannya ke arah bus calon jamaah haji. Terbayang
bertahun-tahun yang lalu saat saya juga termasuk kedalam golongan orang yang
berdiri melambaikan tangan kepada jamaah yang akan menunaikan ibadah haji,
terlintas harapan pada diri saya kepada Allah untuk segera menggabungkan diri
saya kedalam golongan orang-orang yang berada di dalam bus sana, dan dengan
izin Allah saat ini saya telah ada di dalam bus yang akan mengantarkan saya
menunaikan ibadah haji, bahkan ditambah kehadiran mamak di samping saya.
Sekilas saya memandangi wajah mamak yang tertidur
pulas lalu mengambil handphone yang
berbunyi. Sebuah pesan masuk dari Kak Asni, “Sudah
sampai dimana Ida?”
Saya pun melirik jalan raya dan mencoba memastikan
keberadaan saya saat ini dan membalas pesan yang masuk, “Seulimeum kak!”
“Ada
waktu untuk jumpa nggak? Atau langsung masuk Asrama haji?”
“Belum
tau, nanti Ida sms lagi kalau udah ada khabar,” jawab saya.
Kak Asni berhenti dari membalas pesan saya. Selepas
acara pesijuk dirumah saya dan mamak beberapa hari yang lalu, Kak Asni kembali
ke Banda Aceh dan berjanji menunggu kami di sana saja. Karena seluruh calon
jamaah haji dari empat kabupaten kota akan berkumpul di Asrama haji sebelum
bertolak ke Arab Saudi.
Sedangkan yang turut mengantarkan saya dan mamak dari
Langsa sambil mengiringi bus adalah suami saya beserta Waffa dan seorang
saudara dekat. Bang Mul beserta keluarganya akan menyusul malam harinya.
Bus tetap melaju dengan kencang. Setelah beberapa
waktu lalu mendapatkan informasi dari panitia yang bertugas pada bus dimana
saya berada, maka saya kembali mengirimkan pesan kepada Kak Asni dan juga suami
saya, “Kata panitia kami akan berhenti
dan singgah di Mesjid Lampineung samping kantor Gubernur sebelum masuk asrama,
artinya masih bisa berjumpa disana.”
***
Pukul lima sore terhitung rombongan bus kami memasuki
kota Banda Aceh. Terlihat kemacetan yang panjang manakala bus pengantar calon
jamaah haji berbaris dengan kendaraan lain di badan-badan jalan.
“Mak, turun dulu yuk!” pinta saya pada mamak setelah
bus terparkir dan hampir seluruh jamaah turun dari bus.
“Kemana kita? Apa udah sampai?” balas mamak sambil
kebingungan.
“Kita udah sampai di Banda Aceh, tapi jam tujuh malam
nanti batu kita diperbolehkan masuk Asrama haji, jadi masih ada waktu untuk
istirahat di sini, Kak As juga udah menunggu kita di sana!” jawab saya
menyakinkan mamak.
Banyak pengantar calon jamaah haji lain juga datang
untuk menemui keluarga dan karib kerabat mereka. Banyak rasa yang dicurahkan
dari mereka yang akan berangkat dan juga mereka yang akan ditinggalkan. Saya
memperhatikan pemandangan demikian dengan perasaan yang tidak menentu.
Sambil terus menuntun langkah mamak menuju sebuah kantin
untuk beristirahat. Saya kembali merasakan kebersamaan terakhir bersama
orang-orang yang saya cintai sambil menikmati masakan Kak Asni yang disuguhkan
kepada saya dan mamak.
***
Ternyata perjalanan waktu terasa begitu singkat
apabila kita sedang dihadapkan kepada sebuah pekerjaan. Kembali panitia
mengumumkan bahwa para calon jamaah haji diminta untuk kembali menaiki busnya
masing-masing agar dapat memasuki Asrama Haji tepat waktu.
“Sampaikan salam saya kepada Rasulullah,” pesan suami
saya.
Sambil terus berusaha tegar, saya kembali menggenggam
jemari suami saya dan menciumnya. Berdiri sejajar memandangi wajahnya membuat
hati saya bergejolak, kembali saya memeluknya dan membisikkan kata,”Terima
kasih telah menemani saya selama ini dan memberi kesempatan kepada saya untuk
menjadi seorang istri.”
Tangisan saya kembali pecah, terlintas masa di awal
berumah tangga saat belum hadirnya Waffa di tengah-tengah kami yang berbilang
tahun, suami saya tetap setia mendampingi sepanjang perjalanan walaupun beragam
dorongan untuk mencari pendamping hidup yang lain selalu berdatangan dari
beberapa pihak, akan tetapi jalan tersebut tidak di tempuh olehnya.
Dengan lembut suami saya menepuk-nepuk pundak saya.
Tidak ada kata yang beliau ucapkan selain menyunggingkan senyuman yang menjadi
ciri khasnya. Walau saya rasa perang batin juga berkecamuk di dalam diri suami
saya, akan tetapi kebesaran jiwanya tidak menunjukkan sedikitpun tanda-tanda
demikian diwajahnya.
Dari dalam bus yang
terus melaju membawa saya dan mamak, saya melambaikan tangan kepada mereka
dengan air mata yang terus berderai.
0 komentar:
Post a Comment