Saturday 16 February 2019

Inilah detik pertama menapak kaki di Madinah








Burung besi yang kami tumpangi membelah langit malam dan terbang bersandingkan awan dan bintang. Karena kelelahan yang luar biasa, saya mengambil kesempatan untuk mengembalikan kesegaran dengan memejamkan mata. Ingatan-ingatan kembali bermain dalam memori. Teringat akan besarnya nikmat yang Allah rasakan kepada saya saat ini, keluarga dan segalanya yang saya tinggalkan, serta Mamak di samping saya yang sekarang telah terlelap dalam tidurnya. Dalam hati saya mendesah, mengumpulkan segala kekhawatiran diri ‘akankah saya dapat membawa diri saya dan Mamak menjalani keadaan selama sebulan lebih di tempat yang saya baru akan menginjakkan kaki untuk pertama kalinya?’ mengingat hal-hal tersebut, butir air mata menetes pelan dari ujung mata yang terpejam dan saya biarkan terjun bebas tanpa berniat menyekanya. Biarlah percikan-percikan air itu menjadi jejak di langit malam, bahwa seorang anak keluarga Hasan pernah melewati angkasa ini bersama mamaknya dengan rasa keikhlasan yang paling mendalam.

***
  
Cakrawala malam yang pekat perlahan diterangi titik-titik terang yang berbaris menyambut siapa pun yang memandangnya. Seiring pesawat mendekati cahaya-cahaya yang semakin tampak pendarannya, tak lama kemudian pesawat berhenti dan tak bergerak lagi. Para jemaah kembali disibukkan dengan menurunkan barang bawaan dari bagasi masing-masing.
“Mak, yuk kita turun.”
Saya melihat Mamak mencoba bangkit dari kursi dengan susah payah. Perjalanan yang kurang lebih delapan jam telah melemaskan sebagian besar otot-ototnya untuk bergerak cepat. Perlahan Mamak menyusuri lorong-lorong pesawat dengan bersandar di kursi sebelah kiri dan kanannya.
Udara panas menyerbu masuk melalui pernapasan saat saya menggapai pintu pesawat. Beberapa jemaah telah berjalan melewati Mamak dan saya untuk ke sekian kalinya dan langsung turun serta menghilang di dalam kendaraan yang akan mengangkut kami menuju bagian pemeriksaan.
“Pelan-pelan, Bu! Sini saya bantu,” kata seorang pramugari sambil tersenyum ramah. Mamak kemudian menuruni anak tangga yang menurun dibantu pramugari tersebut dan disambut dengan beberapa petugas yang berdiri secara berselang di kaki tangga pesawat. Melihat keadaan itu, saya mempercepat langkah kaki dan berjalan melintasi mereka sambil menjinjing dua tas yang saya letakkan kembali tepat diujung tangga.
“Terima kasih ya, Pak!” jawab saya sambil meraih tangan Mamak dan menuntunnya mendekati tempat di mana dua tas jinjing kami berada. Beberapa jemaah terlihat dalam kelompok-kelompok kecil dengan kachu  yang berbeda dari warna kachu yang saya gunakan. Saya mencoba untuk tenang dan mengikuti para jemaah yang mulai memasuki pintu kendaraan yang terbuka dan berdiri di antara mereka.


Saya mengambil handphone pintar untuk melihat waktu yang menunjukkan pukul sebelas waktu Arab Saudi. Setelah menatap sekeliling yang dipenuhi para jemaah dengan wajah-wajah lelah dan tas di sana sini saya mengabadikan Mamak yang duduk di atas tas jinjing kami sambil memegangi salah satu tiang dalam sebuah foto.



Kendaraan yang kami tumpangi berjalan terseok di antara batu-batu kecil yang mengguncang semua isinya. Hanya sedikit tempat duduk yang tersedia, sehingga sebagian besar dari kami harus berdiri sampai pada tempat yang mengharuskan kami turun di depan sebuah ruangan kaca.


Saya melirik ke sana kemari guna mencari identitas yang menjelaskan bahwa benar inilah bandara Amir Mahmud Airport (AMA) seperti yang dikatakan oleh panitia manasik haji beberapa waktu yang lalu, akan tetapi hasilnya nihil. Sambil bergegas membuntuti terus para jemaah yang masuk melalui pintu kaca, pandangan kembali saya luruskan.

Terlihat kesibukan luar biasa di dalam ruangan ini. Bagaimana tidak, tiga ratus sembilan puluhan jemaah yang baru tiba dari kelompok terbang BTJ satu asal Aceh terlihat mengantre pada barisan-barisan dengan pintu yang dijaga oleh petugas dengan wajah Arab yang kental. Di ujung pemandangan yang lain mata saya baru menangkap bahwa bukan hanya rombongan kami yang baru tiba, akan tetapi jemaah dari Afrika, Afganistan, India telah memenuhi bagian lain dari pintu bandara ini. 
“Banjir! Banjir!” teriak seorang petugas berwajah Indonesia dari sebuah toilet ladies dan kembali melanjutkan kata-katanya dalam bahasa Arab yang tidak saya mengerti kepada seorang teman di sisinya sambil mengangkat kain dari roknya yang terjuntai ke lantai.
Saya melirik sumber suara sesaat. Air tampak menggenangi lantai tempat yang mungkin adalah sebuah toilet kering. Akan tetapi, ramainya lalu lalang orang yang masuk ke sana menjadikan hal tersebut tidak terkendali.
Kembali saya menatap jemaah dengan kachu yang bernada sama dengan warna yang saya dan Mamak gunakan. Entahlah, dalam hati saya terasa lebih tenang apabila saya berada di antara mereka, sehingga walaupun nanti ada saatnya saya membutuhkan pertolongan, setidaknya mereka sudah sedikit paham dengan keadaan saya sekarang.
Tas jinjing kembali saya satukan dan menuntun Mamak untuk pergi mendekati jemaah yang hampir berbilang sedikit ini. Mungkin sebagian besar sudah selesai dari pemeriksaan dan pergi menunggu entah di mana lagi, pikir saya.
“Masih jauh lagi, Da?” tanya Mamak yang mulai kelihatan letih karena harus berjalan dari tempat selesainya pemeriksaan tadi. Berulang kali beliau berhenti sambil memegangi pinggang dan menegakkan badannya sambil meringis.
Saya memandang jauh ke depan, mengikuti arah para jemaah yang terlihat berbaris dengan jarak yang tidak teratur. Mereka terus berjalan sambil menggerek tas jinjing dan terus berjalan. Sambil membenarkan posisi tas jinjing yang tertindih pada bagian atasnya saya kembali menggapai lengan Mamak, “Ida juga nggak tahu, Mak! Tapi, kita harus terus jalan, kalau tidak nanti kita ketinggalan sama rombongan,” jawab saya.

Mamak kembali tegar dan mengangkat kakinya perlahan untuk kemudian berjalan. Ternyata jalan yang harus kami lalui dari pemeriksaan cukup jauh. Untuk saya yang dalam kondisi sehat, hal ini tidak menjadi masalah, akan tetapi bagi Mamak ini merupakan jalan yang sudah sangat panjang dan beliau hampir-hampir tidak bisa untuk melanjutkan.

“Aduh, Da! Berhenti dulu, pinggang Mamak sakit!” keluhnya sambil mencoba bersandar pada dinding yang menemani kami sepanjang jalan tadi.
Mata saya melihat rombongan Kota Langsa telah memenuhi ujung ruangan ini dan berhenti di depan  sebuah pintu yang masih dalam keadaan tertutup. Segera saya memberikan tas jinjing sebagai alas untuk Mamak duduk. Melihat rombongan Kota Langsa yang tidak berapa jauh lagi dari tempat Mamak dan saya berada, perasaan saya sedikit tenang.
Jemaah lain melewati kami sambil menyapa dan segera berlalu saat mendapati jawaban tidak ada masalah dari saya. Akan tetapi, saya tidak melihat kehadiran anggota regu yang sebelumnya bersama-sama saat di asrama haji. Ah, mungkin mereka juga sedang disibukkan dengan urusannya masing-masing, saya membatin.

***
  
“Mak, cepat, Mak!” Dengan tergesa saya menggenggam tas jinjing dan membantu Mamak untuk bangkit. Rombongan Kota Langsa yang telah bergerak sesaat setelah pintu dibuka menjadikan saya bersiap untuk terus mengikuti langkah mereka yang cepat. Udara panas kembali menusuk hidung, walaupun saya telah menggunakan masker, akan tetapi rasa panas itu tetap terasa.
Banyak sekali kendaraan terparkir di halaman ini. ”Bapak-Ibu jemaah agar selalu diingat bahwa mobil-mobil yang akan menjadi angkutan kita selama di Mekah maupun Madinah nanti adalah kendaraan yang bertuliskan BTJ 01, Bukan yang lain.Pesan dari panitia kembali terngiang di kepala saya. Setelah terus mengikuti jemaah itu, akhirnya sampai juga di depan  kendaraan yang bertuliskan BTJ 01 Bus No:4. Saya melirik ke sana kemari untuk  mencari wajah yang saya kenal guna bertanya ‘saya naik bus nomor berapa?’  akan tetapi masing-masing jemaah dalam kesibukannya dan mereka juga terlihat bingung.
“Udah, Dek, naik bus ini aja!” kata seorang ibu yang mungkin membaca apa yang sedang saya pikirkan, “yang penting ini, kan, bus BTJ 01,” katanya lagi.
Sambil menimbang-nimbang melihat kondisi Mamak yang sudah sangat keletihan dan mengingat perkataan panitia tentang kondisi kendaraan yang ada akan berbeda untuk setiap keadaan, ada yang menyediakan sesuai jumlah kursi dalam satu rombongan, ada pula yang kursinya tidak mencukupi, sehingga sebagian rombongan harus naik pada kendaraan berikutnya, hal itu tidak menjadi masalah, asalkan BTJ 01 maka seluruh jemaah boleh naik. Tapi, alangkah baiknya apabila tetap bersama-sama dalam satu regu.

Saya membuang napas demi mengingati itu semua. Jangankan mencari anggota yang satu regu, tempat bertanya saja tidak ada. Mungkin inilah saatnya untuk menjadi jemaah calon haji yang mandiri seperti yang terus ditekankan oleh panitia manasik. Walaupun tersedianya ketua regu, ketua rombongan dan ketua kloter, akan tetapi mereka semua mempunyai tugas dan kesibukan masing-masing, kata saya pada diri sendiri. Setelah mendengar Mamak melontarkan pertanyaan apa lagi yang kita tunggu, saya pun bergegas naik dan duduk pada salah satu kursi kosong.
Perasaan lapar kembali datang, begitu juga sepertinya dengan Mamak. Bekal yang dibagikan oleh pihak pesawat tadi segera dibuka dan beliau menikmatinya dalam keadaan yang benar-benar terlihat santai.

Malam merangkak lambat. Setelah melihat kembali waktu pada layar handphone, saya tertidur pulas saat kendaraan belum menunjukkan tanda-tanda untuk bergerak sama sekali.

★★★

Pegunungan ini terlihat indah. Rumah-rumah penduduk menempati tempat-tempat pada bagian lembah yang sedikit landai. Pantai datar terhampar di bagian bawah kaki gunung dihubungkan dengan anak-anak tangga yang terbuat dari lereng Bukit itu sendiri sampai kedasarnya terlihat sangat indah. Beberapa pengunjung memanjakan tubuh mereka dengan berendam pada tempat-tempat yang tidak dalam. Saya tersenyum senang manakala menatap birunya lautan di cakrawala yang hampir menguning.

Dengan gembira langkah kaki ini saya bawa untuk menyusuri jalan setapak dilereng gunung dan berniat pulang. Deru ombak tak bersuara tiba-tiba pecah. Berulang kali percikannya sampai di lereng gunung dan membuat saya mempercepat langkah agar tidak basah. Akan tetapi, debur ombak semakin tinggi dan bergemuruh, seperti ombak yang datang pada barisan batu-batu karang. Saya kembali tertegun menatap laut biru masih dalam keadaan tenang di tengahnya, kaki saya terhenti dan membiarkan air laut berkirim salam pada pakaian yang saya gunakan.

Tangan saya menggapai lengan yang kini basah dan mengusapnya berkali-kali. Ternyata lengan saya sedang digerak-gerakkan oleh Mamak yang duduk di samping. Sambil merilekskan badan, saya segera mengawasi keadaan di dalam kendaraan yang disibukkan dengan para jemaah yang melangkah turun dengan tas jinjing mereka di tangan. Saya mengeluarkan handphone dan menekan tombolnya. Jam tiga waktu Arab Saudi, berarti dibutuhkan waktu selama empat jam dari pemeriksaan di bandara sampai hotel tempat tujuan kami. Kembali saya terngiang mimpi yang baru menyapa, ah, hanya sebuah mimpi! Tapi entahlah, semoga hanya kebaikan yang tersurat dari mimpi-mimpi di dalam tidur.

***
  

Suasana di dalam dan luar ruangan layaknya seperti pasar. Suara orang-orang berbicara dalam beberapa bahasa menemani timbunan koper-koper yang baru saja diturunkan dengan susah payah dari sebuah kendaraan pengangkut dan ditumpukkan di sana sini. Seorang panitia dengan jas rompi tak berlengan dilengkapi warna bendera Indonesia di dada kanannya membagi-bagikan kartu nama kepada jemaah yang baru turun dari kendaraan sambil tersenyum ramah.

“Untuk apa ini, Dek?” tanya saya ingin tahu kepada panitia yang wajahnya menegaskan bahwa statusnya mungkin sebagai mahasiswa. Siapa tahu hal ini merupakan salah satu kartu-kartu yang dipakai seperti layaknya lembaran DAPIH yang disobek di dalam pesawat dan tempat pemeriksaan tadi.
“Untuk identitas, Bu! Ini adalah Amjad Hotel,” katanya sambil menunjuk sebuah gambar denah lokasi di belakang kartu.
Saya mengangguk tanda mengerti. Berarti hanya sebuah kartu nama. Setelah tersenyum, kembali hal yang sama dilakukannya pada peserta lain di belakang saya.
Saya mencoba untuk melangkah pelan di antara jemaah yang sebagian telah mengambil posisi duduk di atas tas jinjing mereka dan berhenti saat tidak ada ruang lagi untuk saya menggerek tas bawaan saya dan Mamak.  
“Duduk di sini aja, Mak!” kata saya sambil menuntun Mamak duduk di atas tas jinjing kami.
Beberapa jemaah laki-laki dari Kota Langsa yang saya ketahui ditunjuk sebagai ketua regu dan rombongan terlihat sedang bernegosiasi dengan beberapa orang berwajah Arab yang mungkin sebagai pemilik hotel dengan bahasa berbeda antara satu dengan lainnya. Akan tetapi, kehadiran wajah baru Indonesia yang ditugaskan sebagai panitia penerimaan di Madinah menjadi penengah dalam pembicaraan tersebut, mungkin lebih tepatnya sebagai penerjemah.


Pak Is sebagai ketua regu saya dan Mamak dan beberapa orang lainnya, berkali-kali menghampiri kami dengan membawa selembar kertas dan berkata, “Sebentar, ya! Urusan kamar belum beres lagi ini.” Tampak beliau sedikit kebingungan sambil mengulang-ulang tentang masalah ‘regu yang keberapa dan bagaimana ini!’ 
Setelah menunggu lama, akhirnya kami dipersilakan untuk mengantre pada lift hotel. Butuh kesabaran yang tinggi agar bisa berada di dalam lift. Wajah-wajah lelah para orang tua, beragam sifat dari jemaah yang menghiasi diri masing-masing, ada yang mengalah dan ada yang tidak, banyaknya barang-barang yang menemani para jemaah, ketersediaan lift yang hanya berjumlah empat pintu untuk mengangkut orang sebanyak ini, menjadikan hal ini benar-benar sebagai ujian pengendalian diri.
Akhirnya sebuah kamar luas yang berisi delapan ranjang tidur menjadi tempat peristirahatan yang sesungguhnya.
“Hei! Alhamdulillah kita jumpa lagi ya,” sorak Bu Tuti senang dan saya menyambutnya dengan gembira.
“Iya, kalau jodoh nggak akan ke mana ya!” jawab Mamak sambil tersenyum juga.
“Cuma kita berempat aja nih, tapi ranjangnya ada delapan?” tanya Bu Tuti.
“Belum tahu juga Bu, tapi pasti nggak mungkin ya kita aja di sini, sebentar lagi pasti ada jemaah lain lagi.”
“Ida udah ambil koper ya?” tanya Bu Tuti sambil melihat dua koper besar telah memenuhi di sudut ruangan. “Saya mau cari tas koper juga dulu ya!” katanya setelah meletakkan tas jinjing, kemudian menghilang di balik pintu.
Seiring waktu berlalu, ranjang-ranjang tadi telah dipenuhi para teman yang akan selalu menemani dalam perjalanan ibadah haji ini. Bu Tuti dan orang tuanya, Ibu Aminah dan orang tuanya, Nenek Samidah yang berangkat tanpa pendamping dan Raihan, merupakan jemaah lebih muda di antara kami semua yang berangkat didampingi oleh suaminya.
Ruangan hotel berbintang yang disediakan membuat kami merasakan suasana nyaman beristirahat ditemani cerita-cerita yang menjadi bumbu pada perjalanan ini sampai alunan azan Subuh  dari Masjid Nabawi terdengar.
Saya hanya memperhatikan mereka bergegas untuk berangkat menuju panggilan.
“Setelah azan Subuh  kita masih memiliki waktu yang panjang kalau di Madinah. Cukup untuk kita berjalan kaki sebelum iqamah bergema,” jelas Raihan yang ternyata telah satu kali menunaikan ibadah haji beberapa tahun yang lalu. Memandang Raihan, mengingatkan saya kembali akan sosok yang pernah menjadi perhatian saya saat berada di anak tangga masjid sambil menutup lipatan laptop dan menunggu suami saya selesai melaksanakan salat Isya serta tarawihnya. Akan tetapi, ingatan itu segera saya hilangkan, mungkin perasaan saya saja, ucap saya sendiri.
Keadaan saya yang masih dalam keadaan haid menjadikan saya memilih untuk berada di dalam hotel ditemani Mamak dan Nek Samidah. Alhamdulillah ya Allah, kau berikan kesempatan diri ini untuk melangkahkan kaki dengan aman di negeri kekasih-Mu, Madinah Al Munawarah, saya berkata lirih dalam hati sambil memejamkan mata. 😍

Bersambung....





Share:

2 comments:

  1. Sangat terenyuh baca artikelnya.

    Jika ada waktu, silakan mampir ke blog kami: ANEKA CARA BLOG

    Terima kasih.

    ReplyDelete
  2. terima kasih sudah membaca,

    Saran yang boleh di coba

    ReplyDelete

Total Pageviews

Popular Posts

Powered by Blogger.

Apakah blog ini bermanfaat?

Translate

Copyright © Ummi Waffa Dan Tulisan | Powered by Blogger

Design by ThemePacific | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com