Burung besi
yang kami tumpangi membelah langit malam dan terbang bersandingkan awan dan
bintang. Karena kelelahan yang luar biasa, saya mengambil kesempatan untuk
mengembalikan kesegaran dengan memejamkan mata. Ingatan-ingatan kembali bermain
dalam memori. Teringat akan besarnya nikmat yang Allah rasakan kepada saya saat
ini, keluarga dan segalanya yang saya tinggalkan, serta Mamak di samping saya
yang sekarang telah terlelap dalam tidurnya. Dalam hati saya mendesah,
mengumpulkan segala kekhawatiran diri ‘akankah saya dapat membawa diri saya dan
Mamak menjalani keadaan selama sebulan lebih di tempat yang saya baru akan
menginjakkan kaki untuk pertama kalinya?’ mengingat hal-hal tersebut, butir air
mata menetes pelan dari ujung mata yang terpejam dan saya biarkan terjun bebas
tanpa berniat menyekanya. Biarlah percikan-percikan air itu menjadi jejak di langit malam,
bahwa seorang anak keluarga Hasan pernah melewati angkasa ini bersama mamaknya dengan rasa keikhlasan yang
paling mendalam.
***
Cakrawala malam yang pekat perlahan
diterangi titik-titik terang yang berbaris menyambut siapa pun yang
memandangnya. Seiring pesawat mendekati cahaya-cahaya yang semakin tampak
pendarannya, tak lama kemudian pesawat berhenti dan tak bergerak lagi. Para jemaah
kembali disibukkan
dengan menurunkan barang bawaan dari bagasi masing-masing.
“Mak, yuk kita turun.”
Saya melihat Mamak mencoba bangkit
dari kursi dengan susah payah.
Perjalanan yang kurang lebih delapan jam telah melemaskan sebagian besar
otot-ototnya untuk bergerak cepat. Perlahan Mamak menyusuri lorong-lorong
pesawat dengan bersandar di kursi sebelah kiri dan kanannya.
Udara panas menyerbu masuk melalui
pernapasan saat saya menggapai pintu pesawat. Beberapa jemaah telah berjalan
melewati Mamak dan saya untuk ke sekian kalinya dan langsung turun serta
menghilang di dalam kendaraan yang akan mengangkut kami menuju bagian
pemeriksaan.
“Pelan-pelan, Bu! Sini saya bantu,” kata seorang
pramugari sambil tersenyum ramah. Mamak kemudian menuruni anak tangga yang
menurun dibantu pramugari tersebut dan disambut dengan beberapa petugas yang
berdiri secara berselang di kaki tangga pesawat. Melihat keadaan itu, saya
mempercepat langkah kaki dan berjalan melintasi mereka sambil menjinjing dua
tas yang saya letakkan kembali tepat diujung tangga.
“Terima kasih ya, Pak!” jawab saya sambil meraih
tangan Mamak dan menuntunnya mendekati tempat di mana dua tas jinjing kami
berada. Beberapa jemaah terlihat dalam kelompok-kelompok kecil dengan kachu yang berbeda dari warna kachu yang saya gunakan. Saya mencoba untuk tenang dan mengikuti
para jemaah yang mulai memasuki pintu kendaraan yang terbuka dan berdiri di
antara mereka.
Saya mengambil handphone pintar untuk melihat waktu yang
menunjukkan pukul sebelas waktu Arab Saudi. Setelah menatap sekeliling yang
dipenuhi para jemaah dengan wajah-wajah lelah dan tas di sana sini saya
mengabadikan Mamak yang duduk di atas tas jinjing kami sambil memegangi salah
satu tiang dalam sebuah foto.
Kendaraan yang kami tumpangi
berjalan terseok di antara batu-batu kecil yang mengguncang semua isinya. Hanya
sedikit tempat duduk yang tersedia, sehingga sebagian besar dari kami harus
berdiri sampai pada tempat yang mengharuskan kami turun di depan sebuah ruangan
kaca.
Saya melirik ke sana kemari guna
mencari identitas yang menjelaskan bahwa benar inilah bandara Amir Mahmud Airport (AMA) seperti yang
dikatakan oleh panitia manasik haji beberapa waktu yang lalu, akan tetapi
hasilnya nihil. Sambil bergegas membuntuti terus para jemaah yang masuk melalui
pintu kaca, pandangan kembali saya luruskan.
Terlihat kesibukan luar biasa di
dalam ruangan ini. Bagaimana tidak, tiga ratus sembilan puluhan jemaah yang
baru tiba dari kelompok terbang BTJ satu asal Aceh terlihat mengantre pada
barisan-barisan dengan pintu yang dijaga oleh petugas dengan wajah Arab yang
kental. Di ujung pemandangan
yang lain mata saya baru menangkap bahwa bukan hanya rombongan kami yang baru tiba, akan tetapi jemaah
dari Afrika, Afganistan, India telah memenuhi bagian lain dari pintu bandara
ini.
“Banjir! Banjir!” teriak seorang
petugas berwajah Indonesia dari sebuah toilet ladies dan kembali melanjutkan kata-katanya dalam bahasa Arab yang
tidak saya mengerti kepada seorang teman di sisinya sambil mengangkat kain dari roknya yang
terjuntai ke lantai.
Saya melirik sumber suara sesaat.
Air tampak menggenangi lantai tempat yang mungkin adalah sebuah toilet kering.
Akan tetapi,
ramainya lalu lalang orang yang masuk ke sana menjadikan hal tersebut tidak
terkendali.
Kembali saya menatap jemaah dengan kachu yang bernada sama dengan warna
yang saya dan Mamak gunakan. Entahlah, dalam hati saya terasa lebih tenang
apabila saya berada di antara mereka, sehingga walaupun nanti ada saatnya saya
membutuhkan pertolongan, setidaknya mereka sudah sedikit paham dengan keadaan
saya sekarang.
Tas jinjing kembali saya satukan dan
menuntun Mamak untuk pergi mendekati jemaah yang hampir berbilang sedikit ini.
Mungkin sebagian besar sudah selesai dari pemeriksaan dan pergi menunggu entah di
mana lagi, pikir saya.
“Masih jauh lagi, Da?” tanya Mamak yang mulai
kelihatan letih karena harus berjalan dari tempat selesainya pemeriksaan tadi.
Berulang kali beliau berhenti sambil memegangi pinggang dan menegakkan badannya
sambil meringis.
Saya memandang jauh ke depan, mengikuti arah para jemaah
yang terlihat berbaris dengan jarak yang tidak teratur. Mereka terus berjalan
sambil menggerek tas jinjing dan terus berjalan. Sambil membenarkan posisi tas
jinjing yang tertindih pada bagian atasnya saya kembali menggapai lengan Mamak,
“Ida juga nggak tahu, Mak! Tapi, kita harus terus jalan, kalau tidak
nanti kita ketinggalan sama rombongan,” jawab saya.
Mamak kembali tegar dan mengangkat
kakinya perlahan untuk kemudian berjalan. Ternyata jalan yang harus kami lalui
dari pemeriksaan cukup jauh. Untuk saya yang dalam kondisi sehat, hal ini tidak
menjadi masalah, akan tetapi bagi Mamak ini merupakan jalan yang sudah sangat
panjang dan beliau hampir-hampir tidak bisa untuk melanjutkan.
“Aduh, Da! Berhenti dulu, pinggang Mamak sakit!” keluhnya
sambil mencoba bersandar pada dinding yang menemani kami sepanjang jalan tadi.
Mata saya melihat rombongan Kota Langsa telah memenuhi ujung
ruangan ini dan berhenti di depan sebuah
pintu yang masih dalam keadaan tertutup. Segera saya memberikan tas jinjing
sebagai alas untuk Mamak duduk. Melihat rombongan Kota Langsa yang tidak berapa jauh
lagi dari tempat Mamak dan saya berada, perasaan saya sedikit tenang.
Jemaah lain melewati kami sambil
menyapa dan segera berlalu saat mendapati jawaban tidak ada masalah dari saya.
Akan tetapi,
saya tidak melihat kehadiran anggota regu yang sebelumnya bersama-sama saat di
asrama haji.
Ah, mungkin mereka juga
sedang disibukkan dengan urusannya masing-masing,
saya membatin.
***
“Mak, cepat, Mak!” Dengan tergesa saya menggenggam tas
jinjing dan membantu Mamak untuk bangkit. Rombongan Kota Langsa yang telah bergerak
sesaat setelah pintu dibuka
menjadikan saya bersiap untuk terus mengikuti langkah mereka yang cepat. Udara
panas kembali menusuk hidung, walaupun saya telah menggunakan masker, akan
tetapi rasa panas itu tetap terasa.
Banyak sekali kendaraan terparkir di
halaman ini. ”Bapak-Ibu jemaah agar selalu diingat bahwa
mobil-mobil yang akan menjadi angkutan kita selama di Mekah maupun Madinah
nanti adalah kendaraan yang bertuliskan BTJ 01, Bukan yang lain.” Pesan dari panitia kembali terngiang
di kepala saya. Setelah terus mengikuti jemaah itu, akhirnya sampai juga di
depan kendaraan yang bertuliskan BTJ 01 Bus No:4. Saya melirik ke sana
kemari untuk mencari wajah yang saya
kenal guna bertanya ‘saya naik bus nomor berapa?’ akan tetapi
masing-masing jemaah dalam kesibukannya dan mereka juga terlihat bingung.
“Udah, Dek, naik bus ini aja!” kata
seorang ibu
yang mungkin membaca apa yang sedang saya pikirkan, “yang penting ini, kan, bus BTJ 01,” katanya lagi.
Sambil menimbang-nimbang melihat
kondisi Mamak yang sudah sangat keletihan dan mengingat perkataan panitia
tentang kondisi kendaraan yang ada akan berbeda untuk setiap keadaan, ada yang
menyediakan sesuai jumlah kursi dalam satu rombongan, ada pula yang kursinya
tidak mencukupi, sehingga sebagian rombongan harus naik pada kendaraan
berikutnya, hal itu tidak menjadi masalah, asalkan BTJ 01 maka seluruh jemaah
boleh naik. Tapi,
alangkah baiknya apabila tetap bersama-sama dalam satu regu.
Saya membuang napas demi mengingati
itu semua. Jangankan mencari anggota yang satu regu, tempat bertanya saja tidak
ada. Mungkin inilah saatnya untuk menjadi jemaah calon haji yang mandiri
seperti yang terus ditekankan oleh panitia manasik. Walaupun tersedianya ketua
regu, ketua rombongan dan ketua kloter, akan tetapi mereka semua mempunyai
tugas dan kesibukan masing-masing,
kata saya pada diri sendiri. Setelah mendengar Mamak melontarkan pertanyaan apa
lagi yang kita tunggu, saya pun bergegas naik dan duduk pada salah satu kursi
kosong.
Perasaan lapar kembali datang,
begitu juga sepertinya dengan Mamak. Bekal yang dibagikan oleh pihak pesawat
tadi segera dibuka
dan beliau menikmatinya dalam keadaan yang benar-benar terlihat santai.
★★★
Pegunungan ini
terlihat indah. Rumah-rumah penduduk menempati tempat-tempat pada bagian lembah
yang sedikit landai. Pantai datar terhampar di bagian bawah kaki gunung dihubungkan dengan anak-anak
tangga yang terbuat dari lereng Bukit itu sendiri sampai kedasarnya terlihat
sangat indah. Beberapa pengunjung memanjakan tubuh mereka dengan berendam pada
tempat-tempat yang tidak dalam. Saya tersenyum senang manakala menatap birunya
lautan di cakrawala yang
hampir menguning.
Dengan gembira langkah kaki ini saya
bawa untuk menyusuri jalan setapak dilereng gunung dan berniat pulang. Deru
ombak tak bersuara tiba-tiba pecah. Berulang kali percikannya sampai di lereng
gunung dan membuat saya mempercepat langkah agar tidak basah. Akan tetapi, debur ombak semakin tinggi dan
bergemuruh, seperti ombak yang datang pada barisan batu-batu karang. Saya
kembali tertegun menatap laut biru masih dalam keadaan tenang di tengahnya, kaki saya terhenti dan
membiarkan air laut berkirim salam pada pakaian yang saya gunakan.
Tangan saya menggapai lengan yang
kini basah dan mengusapnya berkali-kali. Ternyata lengan saya sedang digerak-gerakkan
oleh Mamak yang duduk di samping. Sambil merilekskan badan, saya segera mengawasi
keadaan di dalam kendaraan yang disibukkan
dengan para jemaah yang melangkah turun dengan tas jinjing mereka di tangan.
Saya mengeluarkan handphone dan
menekan tombolnya. Jam tiga waktu Arab Saudi, berarti dibutuhkan waktu selama
empat jam dari pemeriksaan di bandara sampai hotel tempat tujuan kami. Kembali
saya terngiang mimpi yang baru menyapa, ah, hanya sebuah mimpi! Tapi entahlah,
semoga hanya kebaikan yang tersurat dari mimpi-mimpi di dalam tidur.
***
Suasana di dalam dan luar ruangan
layaknya seperti pasar. Suara orang-orang berbicara dalam beberapa bahasa
menemani timbunan koper-koper yang baru saja diturunkan dengan susah payah dari sebuah kendaraan pengangkut
dan ditumpukkan di sana sini. Seorang panitia dengan jas rompi tak berlengan
dilengkapi warna bendera Indonesia di dada kanannya membagi-bagikan kartu nama
kepada jemaah yang baru turun dari kendaraan sambil tersenyum ramah.
“Untuk apa ini, Dek?” tanya saya ingin tahu kepada
panitia yang wajahnya menegaskan bahwa statusnya mungkin sebagai mahasiswa.
Siapa tahu hal ini merupakan salah satu kartu-kartu yang dipakai seperti
layaknya lembaran DAPIH yang disobek di
dalam pesawat dan tempat pemeriksaan tadi.
“Untuk identitas, Bu! Ini adalah Amjad Hotel,” katanya
sambil menunjuk sebuah gambar denah lokasi di belakang kartu.
Saya mengangguk tanda mengerti.
Berarti hanya sebuah kartu nama. Setelah tersenyum, kembali hal yang sama
dilakukannya pada peserta lain di belakang saya.
Saya mencoba untuk melangkah pelan
di antara jemaah yang sebagian telah mengambil posisi duduk di atas tas jinjing
mereka dan berhenti saat tidak ada ruang lagi untuk saya menggerek tas bawaan
saya dan Mamak.
“Duduk di sini aja, Mak!” kata saya sambil menuntun Mamak
duduk di atas tas jinjing kami.
Beberapa jemaah laki-laki dari Kota Langsa yang saya ketahui
ditunjuk sebagai ketua regu dan rombongan terlihat sedang bernegosiasi dengan
beberapa orang berwajah Arab yang mungkin sebagai pemilik hotel dengan bahasa
berbeda antara satu dengan lainnya. Akan tetapi, kehadiran wajah baru Indonesia yang
ditugaskan sebagai panitia penerimaan di Madinah menjadi penengah dalam
pembicaraan tersebut, mungkin lebih tepatnya sebagai penerjemah.
Pak Is sebagai ketua regu saya dan Mamak
dan beberapa orang lainnya, berkali-kali menghampiri kami dengan membawa
selembar kertas dan berkata, “Sebentar, ya! Urusan kamar belum beres lagi ini.” Tampak beliau
sedikit kebingungan sambil mengulang-ulang tentang masalah ‘regu yang keberapa
dan bagaimana ini!’
Setelah menunggu lama, akhirnya kami
dipersilakan untuk mengantre pada lift hotel. Butuh kesabaran yang tinggi agar
bisa berada di dalam lift. Wajah-wajah lelah para orang tua, beragam sifat dari
jemaah yang menghiasi diri masing-masing, ada yang mengalah dan ada yang tidak,
banyaknya barang-barang yang menemani para jemaah, ketersediaan lift yang hanya
berjumlah empat pintu untuk mengangkut orang sebanyak ini, menjadikan hal ini
benar-benar sebagai ujian pengendalian diri.
Akhirnya sebuah kamar luas yang
berisi delapan ranjang tidur menjadi tempat peristirahatan yang sesungguhnya.
“Hei! Alhamdulillah kita jumpa lagi
ya,” sorak Bu Tuti senang dan saya menyambutnya dengan gembira.
“Iya, kalau jodoh nggak akan ke mana
ya!” jawab Mamak sambil tersenyum juga.
“Cuma kita berempat aja nih, tapi
ranjangnya ada delapan?” tanya Bu Tuti.
“Belum tahu juga Bu, tapi pasti nggak mungkin
ya kita aja di sini, sebentar lagi pasti ada jemaah lain lagi.”
“Ida udah ambil koper ya?” tanya Bu Tuti sambil melihat dua
koper besar telah memenuhi di sudut ruangan. “Saya mau cari tas koper juga dulu
ya!” katanya setelah meletakkan tas jinjing, kemudian menghilang di balik
pintu.
Seiring waktu berlalu,
ranjang-ranjang tadi telah dipenuhi para teman yang akan selalu menemani dalam
perjalanan ibadah haji ini. Bu Tuti dan orang tuanya, Ibu Aminah dan orang
tuanya, Nenek Samidah yang berangkat tanpa pendamping dan Raihan, merupakan jemaah
lebih muda di antara kami semua yang berangkat didampingi oleh suaminya.
Ruangan hotel berbintang yang
disediakan membuat kami merasakan suasana nyaman beristirahat ditemani
cerita-cerita yang menjadi bumbu pada perjalanan ini sampai alunan azan Subuh dari Masjid Nabawi terdengar.
Saya hanya memperhatikan mereka bergegas
untuk berangkat menuju panggilan.
“Setelah azan Subuh kita masih memiliki waktu yang panjang kalau
di Madinah. Cukup untuk kita berjalan kaki sebelum iqamah bergema,” jelas
Raihan yang ternyata telah satu kali menunaikan ibadah haji beberapa tahun yang
lalu. Memandang Raihan, mengingatkan saya kembali akan sosok yang pernah
menjadi perhatian saya saat berada di anak tangga masjid sambil menutup lipatan
laptop dan menunggu suami saya selesai melaksanakan salat Isya serta
tarawihnya. Akan tetapi,
ingatan itu segera saya hilangkan, mungkin
perasaan saya saja,
ucap saya sendiri.
Keadaan saya yang
masih dalam keadaan haid menjadikan saya memilih untuk berada di dalam hotel
ditemani Mamak dan Nek
Samidah. Alhamdulillah ya Allah, kau berikan kesempatan diri ini untuk
melangkahkan kaki dengan aman di negeri kekasih-Mu, Madinah Al
Munawarah, saya berkata lirih
dalam hati sambil memejamkan mata. 😍Bersambung....
Sangat terenyuh baca artikelnya.
ReplyDeleteJika ada waktu, silakan mampir ke blog kami: ANEKA CARA BLOG
Terima kasih.
terima kasih sudah membaca,
ReplyDeleteSaran yang boleh di coba