Masing-masing jamaah ada waktu yang dijadwalkan harus masuk asrama, walaupun itu pukul tujuh maghrib. Disaat seperti itu, waktu shalat di jaga oleh masing-masing diri atau individu!
Iring-iringan bus pengantar calon jamaah haji telah
memasuki pintu gerbang Asrama haji dan berhenti di depan sebuah ruangan aula.
Terlihat para punumpang dari bus lain sudah berjalan memasuki aula sambil
menggerek tas jinjing mereka masing-masing.
“Yuk
mak, kita sudah sampai!” saya berkata kepada mamak sambil membereskan
barang-barang bawaan.
“Udah
masuk Asrama haji ini Da,” tanya mamak sambil mencoba bangkit dari duduknya.
“Udah
mak,” jawab saya sambil mengangkat dua buah tas jinjing dari bawah kursi dan
meletakkannya di tengah lorong bus. “Sebentar ya mak, mamak tunggu di sini, Ida
turunkan tas kita dulu,” kata saya dan bergegas menurunkan kedua tas dari bus.
Setelah
meletakkan tas, kembali saya menaiki bus dan telah mendapati mamak berada di
muka pintu masuk yang berjalan tertatih sambil memegangi daun pintu bus.
“Pelan-pelan
buk!” kata seorang calon jamaah lain yang tadi berada di kursi belakang bus
dimana mamak duduk. Mamak tersenyum dan mencoba mengangkat turun kakinya dengan
susah payah.
“Kemana
kita Da?” tanya mamak sambil terus memegang dengan kuat lengan kiri saya.
“Ikuti
jamaah lain mak, mereka masuk aula disana,” jawab saya dengan anggukan yang
sudah pasti tidak bisa ditangkap oleh mata mamak lagi. Langkah mamak tertatih
mengikuti saya yang menggerek dua tas jinjing di dua tangan saya kiri dan
kanan. Asrama haji saat ini terlihat penuh dengan orang-orang dengan kesibukan
masing-masing, dalam hati saya membatin, ”Perjalanan
saya baru akan di mulai.”
***
Ruangan
aula riuh rendah dengan suara disana sini. Saya masih terpaku didepan pintu dan
tidak tau harus berjalan kekiri, kanan atau lurus kedepan. Banyak peserta yang
menggunakan seragam batik senada seperti yang saya dan mamak gunakan, akan
tetapi atribut lain, seperti kachu
yang tersimpul di leher masing-masing peserta ada beberapa warna berbeda dari
warna yang saya kenakan. Dengan langkah pasti saya maju kedepan mendekati sebuah
kursi yang masih kosong dan berbaur dengan jamaah dengan warna kachu yang senada, yaitu oranye.
Didepan
terlihat seorang panitia yang memegang mikrofon
dan berbicara sambil beberapa kali mengucapkan selamat datang kepada peserta
calon jamaah haji.
“Bapak
Ibu para tamu yang dirahmati Allah, untuk menghindari ketidakterarutan mohon
Bapak Ibu duduk pada tempat yang telah ditentukan sesuai dengan nomor yang
tertera di tas dada masing-masing. Dan kami harapkan kepada petugas
masing-masing daerah agar berperan aktif membantu para jamaah menemukan tempat
duduknya, terima kasih!”
Mendengar
apa yang baru disampaikan saya segera bangkit dan berjalan melihat keberadaan
nomor kursi 313 dan 314 yang menjadi tempat duduk mamak dan saya. Setelah
menemukan kursi tersebut, kembali saya menuntun mamak untuk pindah.
Dari
kursi yang baru saya tempati ada rasa terasing dari seluruh jamaah yang berasal
dari kota Langsa. Jika tadi saya berada dalam bus yang sama, rombongan yang
sama, dan pada peserta manasik haji yang sama, sekarang perbedaan itu sangat
terlihat. Mungkin hal inilah yang dikhawatirkan oleh Pak Is beberapa waktu yang
lalu. Saat ini baru terlihat bahwa regu kami memang benar-benar terpisah dari
rombongan kota Langsa. Jamaah calon haji Aceh timur dan Aceh Besar telah
membatasinya.
Sekilas saya berpaling memperhatikan
jamaah yang akan menjadi teman dalam satu regu dengan warna kachu yang sama, terdapat tiga wajah
yang telah saya kenal saat terakhir kegiatan pesijuk dan pemantapan gabungan
dahulu, dan selebihnya adalah wajah baru yang mungkin saya belum mengenal
mereka demikian juga dengan mereka. Dan rasa senang sedikit saya rasakan
kembali karena pada rombongan jamaah yang berasal dari Aceh Besar ada sepasang
suami istri yang masih kerabat dekat dari suami saya dari pihak ayahnya.
Setelah menyapanya, saya pun bergegas duduk.
Kembali saya berpaling pada barisan belakang, peserta
jamaah dengan kachu kuning berasal
dari Aceh Tamiang telah memenuhi hampir seluruh kursi yang tersedia. Saya
mencoba tetap tenang dan terus berdoa di hati ini,’Ya Allah mudahkanlah urusan saya ini dan jadikan mereka semua teman
saya dalam perjalanan untuk beribadah kepadaMu.’
***
Malam
ini ada beberapa agenda yang harus diselesaikan, antara lain pemantapan
kembali, cek kesehatan, pembagian
uang living cost dan hal lain yang
dianggap perlu.
Setelah
mengikuti berbagai kegiatan secara bersabar, maka sekarang giliran nomor urut
saya dan mamak mengantri untuk melakukan penimbangan koper agar segera di kemas
oleh pihak penerbangan. Alhamdulillah, koper
saya dan mamak tidak bermasalah dan kami diperbolehkan menuju gedung istirahat
pada malam ini sebelum besok akan bersiap-siap untuk berangkat pada pukul empat
sore.
“Kakak
di lantai tiga ya, karena masih muda dan sehat,” kata seorang petugas wanita
yang bertugas membagikan kunci kamar tempat kami menginap.
Saya
menatap mamak sesaat, “Saya tidak bisa jauh dari mamak kak, nanti darah tinggi
mamak jadi naik lagi karena cemas saya nggak ada dekat sama beliau.”
“Iya
dek, Saya pun nggak sanggup kalau naik tangga terlalu tinggi,” kata mamak
menyakinkan petugas yang masih memandang temannya satu dengan lainnya.
“Tapi
kak, di bawah khusus kamar untuk para jamaah yang lansia dan kurang sehat.”
“Kami
kan bawa orang tua lansia lho dek, ini mamak saya juga kurang sehat, kalau bisa
dijadikan dalam satu kamar kan tidak masalah,” Buk Tuti yang beriringan di
belakang saya dan mamak angkat bicara didepan petugas yang masih bingung dalam
menentukan sikap mereka. Hal tersebut wajar saja apabila mereka merasa tidak
mudah dalam menentukan sikap, disatu sisi mereka melihat saya dan Buk Tuti
sebagai jamaah yang sehat dan harus menempati lantai dua dan tiga terlebih
dahulu seperti jamaah lain, akan tetapi keadaan saya dan Buk Tuti yang berperan
sebagai pendamping menjadikan kami juga mendapat rahmat karena mendapatkan
fasilitas yang memudahkan kami menuntun orang tua masing-masing. Akhirnya
sebuah kamar di lantai dasar yang memiliki enam buah ranjang menjadi tempat
kami melepaskan lelah malam ini.
***
Setelah menyegarkan diri, kami segera melangkahkan
kaki menuju ruang makan. Ruang makan masih terlihat penuh dengan para jamaah
yang duduk pada kursi yang tersusun rapi. Perempuan dan laki-laki terpisah pada
jalur yang telah diatur oleh panitia. Setelah duduk sejenak, saya dan mamak
berencana kembali ke kamar untuk beristirahat.
“Udah cek kesehatan Dek?” tanya seorang jamaah yang
melintas berlawanan arah dari saya dan mamak.
“Belum Buk, dimana ruang untuk cek kesehatannya.”
“Pergi cek terus aja Dek, mumpung lagi sepi antriannya, nanti lama kali siapnya kalau udah
ramai peserta.
Saya melihat mamak dan meraih handphone untuk melihat waktu disana. Tertera jam sebelas malam
pada layarnya.
“Kita cek kesehatan dulu ya mak, kalau ditunggu nanti
lagi kita telat kali istirahatnya, sekarang aja kita cek kesehatan setelah itu
bisa istirahat terus,” kata saya kepada mamak sambil berjalan menuju ruangan
yang dijelaskan Ibu tadi.
Ruangan di dalam terlihat sibuk. Beberapa tirai pasien
layaknya rumah sakit telah tersedia disana dan beberapa petugas terlihat sedang
menangani pasien dalam keadaan terbaring diatas ranjang. Kembali saya
mendapatkan kemudahan dalam mengantri, petugas yang menjaga pintu mengutamakan
para orang tua lansia yang terlebih dahulu untuk masuk kedalam ruangan.
Sehingga setelah mamak masuk kedalam dan menempati tempat duduk antrian untuk
selanjutnya menuju meja pemeriksaan, saya juga diperkenankan masuk untuk
menemani beliau. Karena walaupun mamak tetap menggunakan tas dada yang berisi
segala keperluan beliau, seperti paspor,
buku kesehatan dan obat, akan tetapi kondisi beliau dan kehadiran saya yang
dimudahkan Allah sebagai pendamping keberangkatan haji beliau, menjadikan saya
menanamkan keyakinan bahwa, keberangkatan saya memang dipersiapkan untuk
menemani mamak, dan saya akan berusaha untuk menemani dengan ikhlas.
Pemeriksaan dilakukan dengan teliti oleh para petugas.
Setelah mamak selesai, sebuah gelang merah sebagai tanda sudah beliau kenakan.
Sedangkan saya harus menjalani cek kehamilan lagi. Terbayang diingatan saya
beberapa saat yang lalu, akan perkataan seorang petugas yang memeriksa mamak,
bahwa kehamilan dapat menyebabkan gagalnya keberangkatan dari calon jamaah
haji, akan tetapi untuk saat ini kekhawatiran saya tidak ada, disebabkan saat
ini saya dalam keadaan haid. Setidaknya hal tersebut dapat melapangkan dada
saya untuk tenang.
Pukul dua malam saya dan mamak baru bisa berjalan
keluar dari ruang cek kesehatan melalui pintu lainnya. Di depan pintu antrian,
masih terlihat jamaah yang berdiri menunggu giliran untuk bisa masuk ke dalam
ruangan. Bintang di langit kota Banda Aceh berkelip indah di atas sana. ‘Masih tersisa beberapa jam lagi untuk
beristirahat,’ bisik saya dalam hati.
***
Ruangan aula kembali ramai. Selepas shalat Dzuhur,
seluruh jamaah harus sudah berada di dalam aula dengan membawa tas jinjing
beserta tas dada yang akan menjalani pemeriksaan pihak penerbangan.
Bersamaan dengan pembagian uang living cost, secara berurutan para jamaah memasuki kendaraan yang
akan membawa kami menuju bandara Sultan
Iskandar Muda.
Handphone ditangan saya menunjukkan pukul empat sore.
Sebuah pesan baru saja masuk ketika saya hendak menyimpannya.
“Jam
berapa penerbangannya Dek!”
“Kata
panitia jam tujuh malam bang,” saya
membalas pesan yang baru saja dikirimkan oleh suami saya.
“Kami
nunggu di bandara aja ya!” balas suami
saya.
“Iya!” jawab saya. Sambil menutup lipatan handphone kembali bayangan suami saya
dan Waffa bermain di ingatan. Teringat saat-saat menyenangkan dalam membesarkan
Waffa dengan segala tingkah kecilnya. Terlintas kembali keadaan, dimana terlalu
banyak kesenangan dan rasa nyaman yang telah diberikan suami saya selama
menemani kehidupan bersama sepanjang tahun pernikahan. Kembali tetes air mata
menemani ingatan-ingatan tersebut.
Nomor
antrian dari kota Langsa sudah dari tadi berlalu diikuti oleh Aceh Timur dan
sekarang jamaah dari Aceh Besar sedang bersiap-siap. Pak Is sudah berdiri dan
membentuk barisan dibelakang nomor terakhir dari Aceh Besar. Melihat hal
tersebut, saya juga segera bersiap dan membereskan tas jinjing saya dan mamak.
Setelah
seluruh jamaah masuk ke dalam kendaraan yang akan membawa kami ke bandara,
pintu gerbang Asrama haji kembali dibuka dan beriringan kendaraan membawa kami
menyusuri jalan kota Banda Aceh.
“Kak
Asni ikut juga ke bandara Da?” tanya mamak.
“Tadi
katanya iya mak, Bang Mul sama Bang Zakir juga nunggu.”
“Tapi
mana nampak lagi ya, karena kita udah di dalam mobil, atau mungkin nanti ada di
beri kesempatan lagi untuk kita jumpa sama keluarga Da!” mamak berkata antusias
sambil meluruskan pandangannya.
“Mana
ada waktu lagi mak, ini aja udah jam enam, katanya pesawat berangkat jam tujuh.
Mamak nggak ingat, di asrama haji aja kita nggak boleh keluar lagi walaupun
untuk jumpa saudara dari balik pagar, apalagi ini! Jadwal berangkat hanya
tinggal sebentar lagi, mana mau panitia ambil resiko ada jamaah yang hilang
atau entah kemana perginya, bisa nggak jadi berangkat pesawatnya!”
Mamak
hanya mengangguk kecil sebagai isyarat membenarkan apa yang baru saja saya
jelaskan.
Laju
kendaraan yang kami tumpangi melaju dijalan aspal hitam melewati persimpangan
Aceh Besar dan terus bergerak. Matahari jingga menghiasi langit di ufuk Barat.
Kilau sinarnya menyentuh bening permukaan embun di rumput pematang sawah
disepanjang kiri dan kanan desa yang kami lalui.
Sesaat
laju kendaraan berkurang dan kamipun berjalan melambat. Saya mendongakkan wajah
kearah jendela. Terlihat orang-orang berjajar di pinggir jalan sambil
melambaikan tangan mereka. Bola mata saya bergerak cepat berusaha menangkap
bayangan Kak Asni, bang Mul dan suami saya. Pintu gerbang bandara masih
beberapa meter di depan sana, akan tetapi kendaraan yang lebih dahulu tiba
telah berbaris di depannya.
“Kami di bus nomor delapan,” pesan
singkat segera saya kirimkan ke beberapa nomor handphone guna memudahkan mereka untuk fokus melihat kendaraan dimana saya
dan mamak ada di dalamnya.
Mata
saya kembali mencari sosok Kak Asni, bang Mul dan suami diantara mereka yang
berbaris di pinggir jalan dan duduk di bangku yang tersedia di bawah pepohonan.
Akhirnya saya melihat baju koko biru yang saya kenal dan dipakai oleh seorang
anak kecil dengan tubuh yang sehat, ‘Waffa’
bisik saya lirih.
“Itu mereka mak!” kata saya kepada mamak.
Terlihat mamak tersenyum senang, “Ada Waffa?” katanya
kemudian dengan mata berkaca-kaca.
“Ada! Lagi di pangku sama bang Zakir, Kak Asni dan
anak-anaknya ada juga, anak-anak Bang Mul juga ada,” jawab saya gembira.
Laju kendaraan masih lambat menunggu kepastian dari
kendaraan yang paling depan untuk melaju. Saya berjalan kearah depan dan
berdiri di dekat pintu pada sisi kiri dari pak supir. Sambil menatap mereka
semua saya melambaikan tangan dengan rasa yang bercampur aduk. Senang, haru,
gembira dan harapan semua menyatu dalam kata-kata yang tidak dapat diuraikan.
***
Burung besi itu terlihat gagah. Warna tubuhnya yang
putih dan ekor berwarna biru sangat menyatu dengan kawanan awan putih di latar
belakang langit yang biru senja ini. Pada badannya terukir satu nama disana Garuda Indonesia.
Saya
dan mamak tersenyum saat beberapa kali blitz
kamera dari handphone pintar saya
berpendar. Masih terbayang para jamaah dari kota Langsa yang berada jauh di
depan sana, akan tetapi segera saya menghapus segala perasaan yang akan
menghalangi saya untuk beribadah secara baik di hati ini. Melihat wajah-wajah
baru yang masih berdiri berusaha memasukkan tas jinjing mereka ke dalam bagasi
di atas tempat duduknya, saya tersenyum dan segera mengalihkan pandangan pada
jendela pesawat.
“Ini bagaimana Da?” tanya mamak sambil memegang sebuah
tempat di depan beliau yang disediakan sebagai tempat untuk makan nanti.
“Ini begini nek!” jawab Raihan yang berada di samping
mamak sambil memutar pengait pada bagian atasnya.
“O, maklumlah! Nenek nggak tau,” jawab mamak yang
dibalas dengan senyuman.
Saya juga tersenyum menyaksikan hal tersebut. Ini
adalah kali pertama mamak naik pesawat terbang. Perasaan khawatir sangat tampak
pada wajahnya. Akan tetapi saya sering mengalihkan perasaan khawatir beliau
menjadi hal-hal yang boleh dianggap itu adalah hal biasa dengan harapan tingkat
kecemasan mamak akan turun terhadap hal yang dikhawatirkan tersebut. Dengan
kata lain saya harus tetap selalu tegar dengan mengesampingkan hal-hal yang
membuat saya lemah, terlebih lagi pada perjalanan kali ini.
“Ada takut mak!” tanya saya sambil tertawa. Mamak
hanya tersenyum kecut. Kedua tangannya mencengkeram erat penyandar di bawah
lengannya. Tidak banyak lagi kata-kata yang keluar dari bibirnya. Hal itu
wajar, mungkin beliau sedang mempersiapkan diri dengan hati yang terus
berdzikir kepada Allah.
Tempat duduk kami yang berada tidak jauh dari bagian
ekor pesawat menambah jelas deru mesin yang mengaung-ngaung. Perlahan saya
rasakan pesawat mulai bergerak maju dan berputar kemudian lurus kembali.
Pesawat yang sebelumnya riuh rendah dengan suara, kini terasa sepi. Layar
monitor di depan saya mencoba melalaikan dengan bacaan doa-doa perjalanan.
Seiring dengan hilangnya pengaruh gravitasi pada badan pesawat, kekuatan
dorongan membawa kami meloncat dan terbang menembus langit yang mulai gelap.
Saya menggenggam jemari kanan mamak yang terasa semakin kuat cengkeramannya,
memandang wajahnya sekilas dan kembali menyibukkan hati dengan doa-doa.
***
0 komentar:
Post a Comment