Saturday 2 February 2019

Keadaan di dalam asrama haji saat jamaah pertama kali tiba di sana



Masing-masing jamaah ada waktu yang dijadwalkan harus masuk asrama, walaupun itu pukul tujuh maghrib. Disaat seperti itu, waktu shalat di jaga oleh masing-masing diri atau individu!

Iring-iringan bus pengantar calon jamaah haji telah memasuki pintu gerbang Asrama haji dan berhenti di depan sebuah ruangan aula. Terlihat para punumpang dari bus lain sudah berjalan memasuki aula sambil menggerek tas jinjing mereka masing-masing.
            “Yuk mak, kita sudah sampai!” saya berkata kepada mamak sambil membereskan barang-barang bawaan.
            “Udah masuk Asrama haji ini Da,” tanya mamak sambil mencoba bangkit dari duduknya.
            “Udah mak,” jawab saya sambil mengangkat dua buah tas jinjing dari bawah kursi dan meletakkannya di tengah lorong bus. “Sebentar ya mak, mamak tunggu di sini, Ida turunkan tas kita dulu,” kata saya dan bergegas menurunkan kedua tas dari bus.
            Setelah meletakkan tas, kembali saya menaiki bus dan telah mendapati mamak berada di muka pintu masuk yang berjalan tertatih sambil memegangi daun pintu bus.
            “Pelan-pelan buk!” kata seorang calon jamaah lain yang tadi berada di kursi belakang bus dimana mamak duduk. Mamak tersenyum dan mencoba mengangkat turun kakinya dengan susah payah.
            “Kemana kita Da?” tanya mamak sambil terus memegang dengan kuat lengan kiri saya.
            “Ikuti jamaah lain mak, mereka masuk aula disana,” jawab saya dengan anggukan yang sudah pasti tidak bisa ditangkap oleh mata mamak lagi. Langkah mamak tertatih mengikuti saya yang menggerek dua tas jinjing di dua tangan saya kiri dan kanan. Asrama haji saat ini terlihat penuh dengan orang-orang dengan kesibukan masing-masing, dalam hati saya membatin, ”Perjalanan saya baru akan di mulai.”
***
            Ruangan aula riuh rendah dengan suara disana sini. Saya masih terpaku didepan pintu dan tidak tau harus berjalan kekiri, kanan atau lurus kedepan. Banyak peserta yang menggunakan seragam batik senada seperti yang saya dan mamak gunakan, akan tetapi atribut lain, seperti kachu yang tersimpul di leher masing-masing peserta ada beberapa warna berbeda dari warna yang saya kenakan. Dengan langkah pasti saya maju kedepan mendekati sebuah kursi yang masih kosong dan berbaur dengan jamaah dengan warna kachu yang senada, yaitu oranye.
            Didepan terlihat seorang panitia yang memegang mikrofon dan berbicara sambil beberapa kali mengucapkan selamat datang kepada peserta calon jamaah haji.
            “Bapak Ibu para tamu yang dirahmati Allah, untuk menghindari ketidakterarutan mohon Bapak Ibu duduk pada tempat yang telah ditentukan sesuai dengan nomor yang tertera di tas dada masing-masing. Dan kami harapkan kepada petugas masing-masing daerah agar berperan aktif membantu para jamaah menemukan tempat duduknya, terima kasih!”
            Mendengar apa yang baru disampaikan saya segera bangkit dan berjalan melihat keberadaan nomor kursi 313 dan 314 yang menjadi tempat duduk mamak dan saya. Setelah menemukan kursi tersebut, kembali saya menuntun mamak untuk pindah.
            Dari kursi yang baru saya tempati ada rasa terasing dari seluruh jamaah yang berasal dari kota Langsa. Jika tadi saya berada dalam bus yang sama, rombongan yang sama, dan pada peserta manasik haji yang sama, sekarang perbedaan itu sangat terlihat. Mungkin hal inilah yang dikhawatirkan oleh Pak Is beberapa waktu yang lalu. Saat ini baru terlihat bahwa regu kami memang benar-benar terpisah dari rombongan kota Langsa. Jamaah calon haji Aceh timur dan Aceh Besar telah membatasinya.
            Sekilas saya berpaling memperhatikan jamaah yang akan menjadi teman dalam satu regu dengan warna kachu yang sama, terdapat tiga wajah yang telah saya kenal saat terakhir kegiatan pesijuk dan pemantapan gabungan dahulu, dan selebihnya adalah wajah baru yang mungkin saya belum mengenal mereka demikian juga dengan mereka. Dan rasa senang sedikit saya rasakan kembali karena pada rombongan jamaah yang berasal dari Aceh Besar ada sepasang suami istri yang masih kerabat dekat dari suami saya dari pihak ayahnya. Setelah menyapanya, saya pun bergegas duduk.
Kembali saya berpaling pada barisan belakang, peserta jamaah dengan kachu kuning berasal dari Aceh Tamiang telah memenuhi hampir seluruh kursi yang tersedia. Saya mencoba tetap tenang dan terus berdoa di hati ini,’Ya Allah mudahkanlah urusan saya ini dan jadikan mereka semua teman saya dalam perjalanan untuk beribadah kepadaMu.’
***
            Malam ini ada beberapa agenda yang harus diselesaikan, antara lain pemantapan kembali, cek kesehatan, pembagian uang living cost dan hal lain yang dianggap perlu.
            Setelah mengikuti berbagai kegiatan secara bersabar, maka sekarang giliran nomor urut saya dan mamak mengantri untuk melakukan penimbangan koper agar segera di kemas oleh pihak penerbangan. Alhamdulillah, koper saya dan mamak tidak bermasalah dan kami diperbolehkan menuju gedung istirahat pada malam ini sebelum besok akan bersiap-siap untuk berangkat pada pukul empat sore.
            “Kakak di lantai tiga ya, karena masih muda dan sehat,” kata seorang petugas wanita yang bertugas membagikan kunci kamar tempat kami menginap.
            Saya menatap mamak sesaat, “Saya tidak bisa jauh dari mamak kak, nanti darah tinggi mamak jadi naik lagi karena cemas saya nggak ada dekat sama beliau.”
            “Iya dek, Saya pun nggak sanggup kalau naik tangga terlalu tinggi,” kata mamak menyakinkan petugas yang masih memandang temannya satu dengan lainnya.
            “Tapi kak, di bawah khusus kamar untuk para jamaah yang lansia dan kurang sehat.”
            “Kami kan bawa orang tua lansia lho dek, ini mamak saya juga kurang sehat, kalau bisa dijadikan dalam satu kamar kan tidak masalah,” Buk Tuti yang beriringan di belakang saya dan mamak angkat bicara didepan petugas yang masih bingung dalam menentukan sikap mereka. Hal tersebut wajar saja apabila mereka merasa tidak mudah dalam menentukan sikap, disatu sisi mereka melihat saya dan Buk Tuti sebagai jamaah yang sehat dan harus menempati lantai dua dan tiga terlebih dahulu seperti jamaah lain, akan tetapi keadaan saya dan Buk Tuti yang berperan sebagai pendamping menjadikan kami juga mendapat rahmat karena mendapatkan fasilitas yang memudahkan kami menuntun orang tua masing-masing. Akhirnya sebuah kamar di lantai dasar yang memiliki enam buah ranjang menjadi tempat kami melepaskan lelah malam ini.
***
Setelah menyegarkan diri, kami segera melangkahkan kaki menuju ruang makan. Ruang makan masih terlihat penuh dengan para jamaah yang duduk pada kursi yang tersusun rapi. Perempuan dan laki-laki terpisah pada jalur yang telah diatur oleh panitia. Setelah duduk sejenak, saya dan mamak berencana kembali ke kamar untuk beristirahat.
“Udah cek kesehatan Dek?” tanya seorang jamaah yang melintas berlawanan arah dari saya dan mamak.
“Belum Buk, dimana ruang untuk cek kesehatannya.”
“Pergi cek terus aja Dek, mumpung lagi sepi antriannya, nanti lama kali siapnya kalau udah ramai peserta.
Saya melihat mamak dan meraih handphone untuk melihat waktu disana. Tertera jam sebelas malam pada layarnya.
“Kita cek kesehatan dulu ya mak, kalau ditunggu nanti lagi kita telat kali istirahatnya, sekarang aja kita cek kesehatan setelah itu bisa istirahat terus,” kata saya kepada mamak sambil berjalan menuju ruangan yang dijelaskan Ibu tadi.
Ruangan di dalam terlihat sibuk. Beberapa tirai pasien layaknya rumah sakit telah tersedia disana dan beberapa petugas terlihat sedang menangani pasien dalam keadaan terbaring diatas ranjang. Kembali saya mendapatkan kemudahan dalam mengantri, petugas yang menjaga pintu mengutamakan para orang tua lansia yang terlebih dahulu untuk masuk kedalam ruangan. Sehingga setelah mamak masuk kedalam dan menempati tempat duduk antrian untuk selanjutnya menuju meja pemeriksaan, saya juga diperkenankan masuk untuk menemani beliau. Karena walaupun mamak tetap menggunakan tas dada yang berisi segala keperluan beliau, seperti paspor, buku kesehatan dan obat, akan tetapi kondisi beliau dan kehadiran saya yang dimudahkan Allah sebagai pendamping keberangkatan haji beliau, menjadikan saya menanamkan keyakinan bahwa, keberangkatan saya memang dipersiapkan untuk menemani mamak, dan saya akan berusaha untuk menemani dengan ikhlas.
Pemeriksaan dilakukan dengan teliti oleh para petugas. Setelah mamak selesai, sebuah gelang merah sebagai tanda sudah beliau kenakan. Sedangkan saya harus menjalani cek kehamilan lagi. Terbayang diingatan saya beberapa saat yang lalu, akan perkataan seorang petugas yang memeriksa mamak, bahwa kehamilan dapat menyebabkan gagalnya keberangkatan dari calon jamaah haji, akan tetapi untuk saat ini kekhawatiran saya tidak ada, disebabkan saat ini saya dalam keadaan haid. Setidaknya hal tersebut dapat melapangkan dada saya untuk tenang.
Pukul dua malam saya dan mamak baru bisa berjalan keluar dari ruang cek kesehatan melalui pintu lainnya. Di depan pintu antrian, masih terlihat jamaah yang berdiri menunggu giliran untuk bisa masuk ke dalam ruangan. Bintang di langit kota Banda Aceh berkelip indah di atas sana. ‘Masih tersisa beberapa jam lagi untuk beristirahat,’ bisik saya dalam hati.
***
Ruangan aula kembali ramai. Selepas shalat Dzuhur, seluruh jamaah harus sudah berada di dalam aula dengan membawa tas jinjing beserta tas dada yang akan menjalani pemeriksaan pihak penerbangan.
Bersamaan dengan pembagian uang living cost, secara berurutan para jamaah memasuki kendaraan yang akan membawa kami menuju bandara Sultan Iskandar Muda.
Handphone ditangan saya menunjukkan pukul empat sore. Sebuah pesan baru saja masuk ketika saya hendak menyimpannya.
“Jam berapa penerbangannya Dek!”
“Kata panitia jam tujuh malam bang,” saya membalas pesan yang baru saja dikirimkan oleh suami saya.
“Kami nunggu di bandara aja ya!” balas suami saya.
            “Iya!” jawab saya. Sambil menutup lipatan handphone kembali bayangan suami saya dan Waffa bermain di ingatan. Teringat saat-saat menyenangkan dalam membesarkan Waffa dengan segala tingkah kecilnya. Terlintas kembali keadaan, dimana terlalu banyak kesenangan dan rasa nyaman yang telah diberikan suami saya selama menemani kehidupan bersama sepanjang tahun pernikahan. Kembali tetes air mata menemani ingatan-ingatan tersebut.
            Nomor antrian dari kota Langsa sudah dari tadi berlalu diikuti oleh Aceh Timur dan sekarang jamaah dari Aceh Besar sedang bersiap-siap. Pak Is sudah berdiri dan membentuk barisan dibelakang nomor terakhir dari Aceh Besar. Melihat hal tersebut, saya juga segera bersiap dan membereskan tas jinjing saya dan mamak.
            Setelah seluruh jamaah masuk ke dalam kendaraan yang akan membawa kami ke bandara, pintu gerbang Asrama haji kembali dibuka dan beriringan kendaraan membawa kami menyusuri jalan kota Banda Aceh.
            “Kak Asni ikut juga ke bandara Da?” tanya mamak.
            “Tadi katanya iya mak, Bang Mul sama Bang Zakir juga nunggu.”
            “Tapi mana nampak lagi ya, karena kita udah di dalam mobil, atau mungkin nanti ada di beri kesempatan lagi untuk kita jumpa sama keluarga Da!” mamak berkata antusias sambil meluruskan pandangannya.
            “Mana ada waktu lagi mak, ini aja udah jam enam, katanya pesawat berangkat jam tujuh. Mamak nggak ingat, di asrama haji aja kita nggak boleh keluar lagi walaupun untuk jumpa saudara dari balik pagar, apalagi ini! Jadwal berangkat hanya tinggal sebentar lagi, mana mau panitia ambil resiko ada jamaah yang hilang atau entah kemana perginya, bisa nggak jadi berangkat pesawatnya!”
            Mamak hanya mengangguk kecil sebagai isyarat membenarkan apa yang baru saja saya jelaskan.


            Laju kendaraan yang kami tumpangi melaju dijalan aspal hitam melewati persimpangan Aceh Besar dan terus bergerak. Matahari jingga menghiasi langit di ufuk Barat. Kilau sinarnya menyentuh bening permukaan embun di rumput pematang sawah disepanjang kiri dan kanan desa yang kami lalui.

            Sesaat laju kendaraan berkurang dan kamipun berjalan melambat. Saya mendongakkan wajah kearah jendela. Terlihat orang-orang berjajar di pinggir jalan sambil melambaikan tangan mereka. Bola mata saya bergerak cepat berusaha menangkap bayangan Kak Asni, bang Mul dan suami saya. Pintu gerbang bandara masih beberapa meter di depan sana, akan tetapi kendaraan yang lebih dahulu tiba telah berbaris di depannya.
            “Kami di bus nomor delapan,” pesan singkat segera saya kirimkan ke beberapa nomor handphone guna memudahkan mereka untuk fokus melihat kendaraan dimana saya dan mamak ada di dalamnya.
            Mata saya kembali mencari sosok Kak Asni, bang Mul dan suami diantara mereka yang berbaris di pinggir jalan dan duduk di bangku yang tersedia di bawah pepohonan. Akhirnya saya melihat baju koko biru yang saya kenal dan dipakai oleh seorang anak kecil dengan tubuh yang sehat, ‘Waffa’ bisik saya lirih.
“Itu mereka mak!” kata saya kepada mamak.
Terlihat mamak tersenyum senang, “Ada Waffa?” katanya kemudian dengan mata berkaca-kaca.
“Ada! Lagi di pangku sama bang Zakir, Kak Asni dan anak-anaknya ada juga, anak-anak Bang Mul juga ada,” jawab saya gembira.
Laju kendaraan masih lambat menunggu kepastian dari kendaraan yang paling depan untuk melaju. Saya berjalan kearah depan dan berdiri di dekat pintu pada sisi kiri dari pak supir. Sambil menatap mereka semua saya melambaikan tangan dengan rasa yang bercampur aduk. Senang, haru, gembira dan harapan semua menyatu dalam kata-kata yang tidak dapat diuraikan.
***
Burung besi itu terlihat gagah. Warna tubuhnya yang putih dan ekor berwarna biru sangat menyatu dengan kawanan awan putih di latar belakang langit yang biru senja ini. Pada badannya terukir satu nama disana Garuda Indonesia.

 Saya dan mamak tersenyum saat beberapa kali blitz kamera dari handphone pintar saya berpendar. Masih terbayang para jamaah dari kota Langsa yang berada jauh di depan sana, akan tetapi segera saya menghapus segala perasaan yang akan menghalangi saya untuk beribadah secara baik di hati ini. Melihat wajah-wajah baru yang masih berdiri berusaha memasukkan tas jinjing mereka ke dalam bagasi di atas tempat duduknya, saya tersenyum dan segera mengalihkan pandangan pada jendela pesawat.
“Ini bagaimana Da?” tanya mamak sambil memegang sebuah tempat di depan beliau yang disediakan sebagai tempat untuk makan nanti.
“Ini begini nek!” jawab Raihan yang berada di samping mamak sambil memutar pengait pada bagian atasnya.
“O, maklumlah! Nenek nggak tau,” jawab mamak yang dibalas dengan senyuman.
Saya juga tersenyum menyaksikan hal tersebut. Ini adalah kali pertama mamak naik pesawat terbang. Perasaan khawatir sangat tampak pada wajahnya. Akan tetapi saya sering mengalihkan perasaan khawatir beliau menjadi hal-hal yang boleh dianggap itu adalah hal biasa dengan harapan tingkat kecemasan mamak akan turun terhadap hal yang dikhawatirkan tersebut. Dengan kata lain saya harus tetap selalu tegar dengan mengesampingkan hal-hal yang membuat saya lemah, terlebih lagi pada perjalanan kali ini.
“Ada takut mak!” tanya saya sambil tertawa. Mamak hanya tersenyum kecut. Kedua tangannya mencengkeram erat penyandar di bawah lengannya. Tidak banyak lagi kata-kata yang keluar dari bibirnya. Hal itu wajar, mungkin beliau sedang mempersiapkan diri dengan hati yang terus berdzikir kepada Allah.


Tempat duduk kami yang berada tidak jauh dari bagian ekor pesawat menambah jelas deru mesin yang mengaung-ngaung. Perlahan saya rasakan pesawat mulai bergerak maju dan berputar kemudian lurus kembali. Pesawat yang sebelumnya riuh rendah dengan suara, kini terasa sepi. Layar monitor di depan saya mencoba melalaikan dengan bacaan doa-doa perjalanan. Seiring dengan hilangnya pengaruh gravitasi pada badan pesawat, kekuatan dorongan membawa kami meloncat dan terbang menembus langit yang mulai gelap. Saya menggenggam jemari kanan mamak yang terasa semakin kuat cengkeramannya, memandang wajahnya sekilas dan kembali menyibukkan hati dengan doa-doa.
***
Share:

0 komentar:

Post a Comment

Total Pageviews

Popular Posts

Powered by Blogger.

Apakah blog ini bermanfaat?

Translate

Copyright © Ummi Waffa Dan Tulisan | Powered by Blogger

Design by ThemePacific | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com