Sunday 16 October 2016

Sebongkah Rezeki Domi Namel

Domi mencoba keluar dari jalur yang seharusnya dilalui saat ini. Insting binatangnya bekerja dan saraf penciumannya menemukan sesuatu yang menggiurkan sedang menanti di atas sana.

Ujung matanya mencoba menerobos dan melebeli angka berapa yang cocok pada kaki meja yang menghadang di depan. Tapi, ah... apa pentingnya angka itu untuk Domi, toh tidak ada yang harus dilaporkan kepada siapapun untuk angka itu.

Kakinya berjalan cepat mencoba membentuk arus lurus, tapi tidak bisa, sebagai seekor semut, inilah jalur yang bisa kami tempuh, cepat, berhenti sebentar, mengendus-endus, berbelok dan seperti itulah seterusnya, bisiknya lirih.

Hatinya berbunga, aroma segar yang dirasakannya semakin nyata didepan hidungnya.
Akhirnya, dengan nafas terengah dan tetap teratur, kaki lincahnya membawa segenap anggota tubuh mungil itu ke puncak yang menurutnya sangat tinggi.

Domi mencoba menoleh kebawah, sekedar ingin menikmati pemandangan luar biasa dari sudut matanya yang kecil.

"Hai!" Namel mencoba menampakkan cengiran terbagusnya kepada Domi.
Domi tersenyum senang, dalam hatinya dia memberi acungan jempol kepada sahabatnya yang satu ini. Pasalnya, hidung Namel masih berfungsi seperti hidungnya akan makanan segar.

Domi celingukan kekiri dan kebelakang Namel, hal yang di tanggapi oleh Namel dengan berkata, "Ayolah... hanya aku disini, mari kita berangkat terus, bila kau mencari semut lain selain aku, usahamu akan sia-sia."

"Ya, baiklah seharusnya aku sudah tahu itu, pesan akan lautan manisan itu lebih menarik bagi para semut yang lain dibandingkan kesegaran yang sedang aku dan kamu rasakan sekarang, benarkan!" 

"Jadi, dimana buruan kita?" Namel melirik Domi jenaka.
Namel sangat mengerti akan kelebihan sobatnya satu ini. Dalam diri Domi tersimpan naluri pemburu yang hebat dan itu sudah ditunjukkan dalam beberapa kesempatan saat Namel mengikuti jejaknya.

Antena Domi tetap bergerak-gerak mencoba menerima sinyal dari sensor yang terus dihidupkannya.
"Kau lihat disana Namel? bongkahan kristal itulah yang mengganggu penciumanku sehingga aku memutuskan untuk mengubah arah kaki ini."
"Apa kubilang tadi, kau selalu tepat dalam masalah buruan makanan ini, benar kan kawan!" Namel terrsenyum puas.

Domi mempercepat langkah kakinya, tapi walaupun Domi mencoba menciptakan jalur lurus, tetap saja kebengkokan yang terus tercipta.

Domi menyunggingkan senyum saat melihat Namel berputar-putar kegirangan di antara bongkahan kristal gula. Dalam pandangan Domi, bongkahan rezeki itu lebih mirip dengan lautan yang bisa merenggut nyawa mereka kapan saja.

"Cepatlah Namel, ambil gula itu seperlunya dan kita harus segera pergi dari sini."

Domi mempercepat langkah kakinya, di mulutnya telah dipenuhi dengan kristal gula terbaik yang menjadi pilihannya. Namel menoleh, "ayolah.... kita masih bisa tinggal beberapa waktu lagi." Bujuk Namel, seolah dia tidak perduli akan ditinggalkan oleh Domi yang menunggu kehadirannya di sisi meja saat itu juga.

"Sekarang atau kau akan mati Namel?" Teriak Domi.
"Apa, mati, siapa yang akan membunuhku." Namel melongok ke kiri, kanan dan belakang sambil berputar. 
Domi berhenti dan dengan kakinya menunjuk arah yang mampu memutar kembali tubuh Namel. "Itu!" Katanya.
"Manusia itu? Kau bercanda Domi, lihat wajahnya, sungguh indah di pandang mata, tidak mungkin manusia seperti itu tega membunuh diriku yang mungil ini. Benarkan sobat?" Namel menampakkan wajah culunnya pada Domi mengharap jawaban yang akan di katakannya sesuai dengan apa yang kini berseliweran di otak mungilnya.

Domi sangat paham akan temannya yang satu ini. Tapi Domi adalah seekor semut dengan prinsip yang kuat, dia tidak akan membiarkan pemahaman salah tetap memenuhi benak temannya satu ini tentang manusia yang dalam pandangannya sangat tidak mungkin terselip sifat jahat.

Domi menarik nafas pelan. "Kau ingat ini hari apa Namel?"
"Iya, jumat." Namel nyengir. "Tapi apa hubungannya dengan pembunuhan terhadap diriku oleh manusia itu?"

"Sobat terbaikku, jika manusia ini memang baik seperti sangkaanmu, maka seharusnya dia tidak berada disini saat ini. Kau tidak dengar tadi, pada waktu kita mendaki kaki meja ini, telingaku sudah menangkap suara khutbah dari khatib di mesjid sebelah. Nah, sekarang posisi manusia yang satu ini dimana?" Domi tersenyum menang karena telah merubah aura wajah Namel yang sedang mengangkat kedua alis matanya.

Tanpa menunggu mulut sahabatnya mengeluarkan sepotong kata Domi segera melanjutkan. "Kau tau Namel, dihari jumat ini, adalah hari pilihan Allah bagi umat Muhammad untuk melaksanakan shalat jumat, hmm, hari istimewa yang bertabur berkah dan pengurangan rakaat shalat bagi para rijalun untuk shalat dzuhur, yang tadinya  empat rakaat menjadi dua rakaat."

"Mungkin manusia di depan kita ini bukan umat Muhammad Dom!" Namel menyela.

"O... syukurlah, dan kuharap sangkaanmu tepat, karena jika tidak, maka kita dalam masalah besar."
"Maksudmu?"
Domi membalikkan badannya,"Karena jika benar manusia ini umat Muhammad, tapi tidak melaksanakan shalat terlebih lagi shalat jumat karena dia seorang rijalun atau laki-laki, maka sesungguhnya dia telah di laknat oleh Allah, malaikat dan seluruh mahluk hidup seluruh alam, termasuk aku sekarang sedang mendapat perintah Allah untuk melaknatnya," Sejurus kemudian kembali berjalan cepat.

Domi buru-buru memungut beberapa butir kristal dan bergerak mengikuti jejak Domi.
"Jadi, tempat ini juga bahaya untuk kita ya!"
"Ha..Ha..ternyata otakmu jalan juga teman, tempat yang dekat dengan manusia terlaknat oleh Allah seperti itu yang ada hanya keburukan saja, maka kita harus segera menjauhinya, kau lihat mayang-mayang kepala para syaitan yang telah ditancapkan di setiap pori-pori tubuhnya? Itulah yang menjadikan dia susah menjalankan perintah Allah."
Domi mempercepat langkah kakinya yang tak pernah bisa lurus. Dalam benaknya menyayangkan manusia yang terlihat indah itu, seandainya manusia itu mengetahui bahwa shalat jumat yang sekarang sedang di laksanakan oleh jenisnya di mesjid sebelah tempat dia berada merupakan sebongkah rezeki yang dihidangkan khusus untuknya, bukan untuk Domi sang semut dari golongan binatang, maka akan dipastikan manusia ini akan melangkah cepat seperti diriku saat ini. 

"Gimana Namel, apakah lidahmu dapat merasakan sejuknya kristal itu?"
Namel tak sanggup menjawab, mulutnya telah penuh dengan cairan gula yang meleleh di ujung-ujung bibirnya. Kepalanya menggangguk setuju. #####

Share:

0 komentar:

Post a Comment

Total Pageviews

Popular Posts

Powered by Blogger.

Apakah blog ini bermanfaat?

Translate

Copyright © Ummi Waffa Dan Tulisan | Powered by Blogger

Design by ThemePacific | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com