Sunday 30 October 2016

Bahagia Itu Sederhana



Lelaki bersahaja itu membetulkan letak sarung bercorak pintu aceh yang di pakainya sore ini. Indah nian dalam sorotan retinaku yang menyipit karena cahaya matahari jingga. 

Dauni terkekeh terpingkal-pingkal mendengar jawaban dari lelaki itu atas pertanyaan si ibu yang berada tak jauh dari depannya. Tampak muka sang ibu berubah masam.

"Kau dengar Dahanu, sungguh jawaban yang sempurna dari lidah lelaki itu, aku sangat suka sekali saat dia menjawab dengan 'hate brok' (hati yang buruk)." Dauni tetap terpingkal sejalur angin yang terus menggodanya.

Memang sepintas ku rasakan tidak ada hubungannya sama sekali apa yang menjadi pertanyaan si ibu dengan lelaki itu, yang ku dengar adalah si ibu mengeluhkan dirinya adalah madu dari suaminya, tetapi selalu mendapat hinaan langsung maupun tidak langsung dari istrinya yang pertama, terasa berat sekali bagi dirinya menurut sebagaimana lelaki itu jelaskan sore ini pada surat Annisa, 'kita harus memaafkan' katanya. Jadi kalau kita tidak bisa memaafkan bagaimana? Tanyanya, saya sakit hati! dan itulah jawaban yang di dengar Dauni dari lelaki itu. Hmm.. 'hate brok', aku ingin juga terpingkal seperti Dauni, tapi melihatnya senang seperti itu, cukuplah bagiku hanya diam dan mendoakan si ibu agar di jauhkan dari hal tersebut.

"Bahagia akan kita rasakan jika kita memenuhi hati ini dengan keikhlasan, bahagia itu sederhana, ada kalanya kita melihat anak saat dia tersenyum hati sudah gembira, banyak juga yang harus kumpul-kumpul bersama teman dia baru bisa bahagia, ada dari mereka cukup bersama ibunya maka kebahagian dapat dirasakan, tak sedikit juga harus menipu dirinya sendiri dengan mencari kesenangan yang dalam pandangannya akan berakhir bahagia layaknya teman dari kalangan narkoba, manusia se-ide dalam maksiat, juga sahabat mata yang bersyahwat tanpa kendali, banyak juga mencari kebahagiaan dalam peperangan yang mampu melepaskan lengan dari tangannya, mengucurkan darah dari puluhan pembuluh darah yang di robek pedang, tombak ataupun mata panah agar nyata sumpahnya kepada Allah, mereka kebanyakan adalah rombongan Islam terdahulu dari para sahabat Rasulullah, ada kalanya bahagia hanya datang saat membaca ayat Alquran dengan suara kita sendiri, dan membaca maknanya seperti yang kita lakukan saat ini, maka bahagia itu sederhana sekali, tergantung kepada pilihan hati kita, tapi jangan biarkan hati kita 'brok' (atau buruk)." Lelaki itu menutup lipatan Alquran di depannya.

Yah, pelajaran yang sempurna di pelataran mesjid itu.

"Hei Dahanu, aku merasa bahagia di sini bersamamu sambil ditemani angin yang terus menerpa diri ini, bagaimana denganmu sobat?"

Dahanu melirik Dauni, ada senyum di ujung bibirnya. "Aku lebih bahagia saat-saat seperti ini Dauni, saat ada lelaki bersarung itu berada di pelataran mesjid dan mengajarkan ibu-ibu di sana akan makna Alquran dan aku mampu menatapnya seperti ini." Bisik lirih Dahanu di dalam hati tanpa gema bibirnya. Kata -kata itu terus tenggelam seiring hilangnya matahari ditelan suara azan maghrib.####
Share:

0 komentar:

Post a Comment

Total Pageviews

Popular Posts

Powered by Blogger.

Apakah blog ini bermanfaat?

Translate

Copyright © Ummi Waffa Dan Tulisan | Powered by Blogger

Design by ThemePacific | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com