Wednesday 19 October 2016

Mengimbangi Fitnah ala Cimi


Kilau mentari menjanjikan kesegaran udara di pagi yang biru.
Malu dan riang dedaunan menyambut tamunya kala itu.

"Bersihkanlah sebagian sayapmu cimi, biar kesegaran yang kau dapatkan."
Seakan tak mendengar dayu suara Rungbu, Cimi menyibukkan diri untuk terus terbang dari satu dahan ke dahan lainnya.

"Cimi, aku sedang bicara padamu! Berhentilah melakukan hal itu terus menerus." Rasa jenuh mulai merajai pelataran sukma Rungbu yang dari tadi sudah beberapa kali mengingatkan sang adik.
Seketika Cimi menghentikan kepakannya. Sebuah dahan yang berdaun pucuk menjadi pilihannya menjejakkan kaki mungilnya. Wajahnya menunjukkan aura tak sedap yang langsung mendapat pelukan sang kakak.

"Ada apa denganmu? Kau lihat, pagi ini begitu indah di rumah kita. Cahaya matahari yang sempurna, dan cepatlah, bila tidak bergegas kau akan ditinggal Ibu untuk piknik sesaat lagi."
"Kau tahu kak! Seharusnya aku bisa merasakan apa yang engkau rasakan saat ini, tapi perasaanku terusik oleh ulah suara itu! Suara-suara di pagi hari yang penuh dengan prasangka dan hasutan terhadap orang lain yang kebenarannya masih diragukan." Cimi mencibir, menampakkan paruh panjangnya yang coba di diselingi dengan siulan kecil nan indah.

"Oh...tentang mereka yang menyibukkan diri dengan gosip itu? Ah... biarlah, mereka kan jauh disana di dalam kotak berwarna, dan biarkan itu menjadi urusan dua orang didepannya, tidakkah kau lihat, mereka tidak merasa terganggu sebagaimana saat ini kau rasakan, mari adikku, kita masih ada rencana yang harus di laksanakan hari ini."

Rungbu mencoba mengepakkan sayapnya, tetapi wajah memelas sang adik menghentikan gerak itu.
"Kak, aku tau bahwa mereka sama saja kedudukannya, baik yang dilihat, maupun orang yang melihat hal bohong tersebut, tapi tidakkah engkau ingat akan pesan ibu tentang  Abu Darda, seorang sahabat dari rahmatan lil'alamin, yang..."

"Iya, iya, kakak masih ingat, kata ibu beliaulah yang menyeru manusia untuk memiliki dunia tanpa terikat kepadanya, ya kan? Orang itu maksudmu?" Rungbu mengepakkan sayap indahnya yang di balas kepakan sang adik dengan gemas.

"Aduh, bukan kak, bukan perkataannya yang itu, tapi perkataannya disaat menghadapi orang yang berbuat dosa, semua orang mengumpatnya, akan tetapi Abu Darda melarang mereka dan berkata: 'Andai kalian menemukan orang ini terperosok di dalam lubang, tidakkah kalian akan mengeluarkannya dari lubang itu?' Lalu mereka menjawab: 'ya.' Kemudian Abu Darda berkata lagi: 'Kalau begitu, janganlah kalian mengumpatnya! Pujilah Allah yang telah menyelamatkan kalian." Cimi kembali bercicit ria.
"Tahukah kamu kakakku sayang, aku sekarang sedang memuji Allah, harapku semoga kebaikan yang dilimpahkan kepada mereka." Cimi tersenyum.

"Duh...terpujinya adikku. Kakak pikir kamu membenci mereka, dari tadi sikapmu membuatku tak nyaman begitu." Rungbu berkicau memperdengarkan suara termerdunya.

"Mengapa aku harus membenci mereka, aku hanya benci kepada perbuatannya saja, tapi jika mereka meninggalkan amal itu, maka mereka adalah saudaraku sebagai mahluk Allah."

Rungbu menatap sinar yang mulai meninggi. Embun terlihat hendak pergi dari peraduannya. Paruhnya di kepakkan beberapa kali. "Cepatlah Cimi, mungkin ibu sudah mengkhawatirkan kita."

Cimi mengikuti arah terbang kakak tercintanya. Setidaknya manakala pagi hari mulai terkotori oleh fitnah dan prasangka buruk para manusia, dirinya, seekor burung, dapat mengimbangi gerak dosa-dosa itu dengan dzikrullah sebanyak yang Cimi mampu.###
Share:

0 komentar:

Post a Comment

Total Pageviews

Popular Posts

Powered by Blogger.

Apakah blog ini bermanfaat?

Translate

Copyright © Ummi Waffa Dan Tulisan | Powered by Blogger

Design by ThemePacific | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com