Sunday 13 November 2016

Bulan Hantu



"Kau dengar apa yang terjadi dengan Renda malam kemarin? Ih, aku jadi bergidik mendengarnya." Safu mengoceh pelan, kakinya tetap mengikuti irama sendal jepit yang di pakainya malam ini.

"Untunglah Mail mengejarnya, jika tidak pasti Renda nggak akan selamat." Balas Rafi.

"Aku nggak sanggup bayangin saat kaki kiri Renda di tarik dan di seret-seret sepanjang pematang tambak sampai masuk ke hutan bangka, di situ kan gelap, syukur malam itu malam terang, jadi Mail yang berada di depannya nampak saat Renda diseret." Safu mengangkat lipatan kain sarung di pundak turun naik dengan kedua tangannya.

"Mungkin Mail tarik-tarikan dengan hantu itu ya, tapi syukurlah Renda bisa lepas."

"Iya, kalau dipikir rasanya mustahil kali ada hantu di zaman begini ya Fi. Mau nggak percaya tapi hal gaib itu ada. Eh, malah di malam yang sama sekitar jam sebelas Bang Unir lihat orang di pengkolan depan rumahnya, yang aneh kan orang itu makin di lihat makin beda." Safu menambahkan. Sebenarnya Safu malas untuk cerita karena semakin di omongin kata tengku, hantu itu semakin mendekati, katanya lagi karena senang hatinya kita menyebut-nyebut dia. Bulu kuduk Safu mulai meremang. 

Rafi menoleh tiba-tiba. Kakinya kini terpaku di bumi. "Yang benar aja nih! Trus orang itu perempuan apa laki-laki?" Tanya Rafi tak sabar.

"Ya putih gitu! Rambutnya panjang sepinggang, tapi mukanya nggak jelas, orang kata Bang Unir makin di lihat makin beda aja, tapi postur tubuhnya mirip almarhumah kak Dara yang rumahnya di dekat pengkolan itu." Safu tetap berjalan dengan langkah kecil dan disusul Rafi yang berjalan cepat.

"Mungkin aja roh kak Dara itu Fu, jangan-jangan yang narik kaki kiri Rendi adalah roh yang sama." Kepala Rafi mengangguk-angguk seolah puas dengan persepsi yang baru saja di lontarkan.

Safu menoleh langit. Tangannya menunjuk bulan yang sinarnya semakin berpendar. "Kau lihat bulan itu, malam besok genap 15, purnama Fi, aku baca di internet tadi fengshui cina mengatakan malam besok adalah puncak malam hantu."

"Maksudmu?" tanya Rafi tak mengerti.

"Kata mereka ini adalah bulan hantu, banyak roh yang gentayangan." 

"Bulan Nopember ini." Rafi menjadi semakin bingung. Di pandangi Safu tak lekang untuk menanti jawaban selanjutnya.

"Bukan, bukan bulan Nopembernya, dalam kalender mereka bulan ini pas dengan kalender apa gitu?" Safu menjelaskan. Sebenarnya Safu juga kurang paham akan isi artikel yang di bacanya, dan sekuat tenaga dihubung-hubungkan dengan ilmu yang dimiliki, tapi tetap saja dia belum tau titik terangnya.

Rafi tiba-tiba menyela. "Aku pernah dengar dari ayahku, kata beliau aku memiliki watak yang keras, karena aku lahir di bulan safar. Memang benar ya."

"Bisa jadi, aku juga pernah dengar, kata tengku bulan safar itu panas, tapi aku nggak tau panas apanya!" 

"Ya, ya, karena panas itu tadi, makanya para roh keluar dari tempatnya. Hei, Fu sekarang kan bulan safar, besok 15 safar 1438 H, pas itu, mungkin itu sebabnya." Rafi menjetikkan jari. 

"Ah, ngaco bener kau Rafi. Yang jelas kita mau lewatin pengkolan dekat rumah almarhumah kak Dara nih, aku ada perasaan nggak nyaman tau." Safu mengusap kuduk lehernya dengan tangan kanan berkali-kali. Tanpa menunggu aba-aba, sendal jepitnya sudah di bawa berlari menyusuri pengkolan jalan yang ternyata tiba-tiba gelap. Terangnya lampu jalan kini di gantikan cahaya redup bulan yang mulai di selimuti arakan awan. Semua lampu itu kini mati.

"Safu, tunggu!" Rafi lari tunggang langgang mengejar Safu yang hampir hilang di ujung jalan itu.####
Share:

0 komentar:

Post a Comment

Total Pageviews

Popular Posts

Powered by Blogger.

Apakah blog ini bermanfaat?

Translate

Copyright © Ummi Waffa Dan Tulisan | Powered by Blogger

Design by ThemePacific | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com