Monday 14 November 2016

Langkah Panjang Pertamamu

"Kau ingat masa itu Mi. Saat hati di penuhi cerita akan kita saja. Aku menikmati akan sajian tingkah lucumu. Tandukmu yang kau tujukan pada buncitnya perutku kala itu, menuai gelak tawa yang menampilkan rapinya ukiran gigi susu di mulutku.

Ratusan lembar bingkai foto antara aku dan kamu tersusun di laci folderku kini. Ceritamu tentang harimau sumatera, kisah Umar sang bocah tak melihat yang hafal Alquran, Ivan Goji si perenang tak berlengan dan buku kelinci dan wortelnya masih suka ku buka berulang-ulang dalam malam gelap menuju lena, manakala mata ini sulit terpejam.

Aku ingat jari tengah dan telunjukku yang indah berlari mencoba sembunyi dari kejaran dua jariku pada balik dinding garis itu. Aku mengeong bagai kucing lapar yang ingin menerkammu. Kau pun laksana tikus kecil yang berusaha sembunyi dan mengunci pintu pada labirin kertas pijakan jari kita.

Mi, terkadang airmataku juga selalu kau buat jatuh. Sering kau sudahi jatah jajanku manakala aku selesai melahap jatah makan siangku. Padahal kau tau, aku sangat menginginkannya. Cobalah kau rasa minuman susu itu Mi, nikmat sekali rasanya, apalagi rasa coklat dan dingin. Tapi kau selalu bilang cukup, dengan alasan perutku sudah kenyanglah, mataku sudah mulai merah dan  mengantuk dan banyak pesan-pesan lagi darimu yang terkadang aku tidak paham, katamu kurang bagus nanti buat kesehatanku atau apalah".

Matahari kembali menyala setelah lama berdiam diri dirimbunan awan. Rasanya gerimis akan turun.

Angin berhawa sejuk menerpa tubuh lelaki gagah itu. Ujung kain sarungnya yang tak terlipat menjadi mainan sang angin.

Bulat bola matanya yang hitam, syahdu menatap tumpukan tanah. Hatinya tergores, ada luka tersayat menikam.

Bening air mulai membuntal di ujung mata itu. Mata yang selalu terlihat tenang. Dari sanalah dia mencoba memahami semuanya selama ini.

"Dulu selalu kau dodaidikan aku dengan kalimat tidur yang aku suka. Ya, nyanyian salawat dan lafaz pengagungan terhadap Allah. Kau pun dodaidikan dengan nama 25 nabi dan Rasul.

Andai kau buka matamu Mi, kau pasti tercengang aku kini lebih tinggi darimu. Mungkin tubuh ringkihmu mampu untuk ku gendong dan kudekap seperti dulu aku selalu kau sembunyikan dalam kain gendong.

Mi, aku tau kau mendengar, tuhan mengabulkan do'aku untukmu. Banyak malam yang ku lalui dengan melihat dirimu di ujung bibir lautan, segulungan ombak senantiasa memelukmu dalam ketenangan yang mampu menyunggingkan senyum terindahmu. Persis senyum saat aku masih di dekapan dadamu yang bergaun biru.

Aku ingin berbaur denganmu Mi, menangkap ikan-ikan di air dangkal itu. Tapi tak bisa. Kau hanya menatapku dan berkata,'dirimu belum ada ilmu nak, belajarlah, Mi akan menunggu disini'".

Matahari kembali bersandar pada gumpalan awan berkabut.
Titik-titik air terbawa deru angin.

"Dalam langkah panjangmu yang pertama dahulu kau sangkakan adalah perjalananmu yang mampu memisahkan kita berdua. Ternyata kita semua salah dugaan Mi.

Tulisanmu di buku itu masih menjadi sahabatku hingga kini, yaitu saat di mana aku juga telah melakukan perjalanan pertamaku yang panjang. Saat dimana perjalananku inilah yang mampu memisahkan kita."

Lelaki itu mencoba melangkahkan kakinya. Hujan mulai deras. Sendal jepit yang digunakan dibukanya perlahan. Banyak gumpalan tanah kuning menempel di sana. Ada kebahagiaan yang menyisa pada curahan air hujan yang telah membasahi hampir seluruh tubuhnya. "Mi sangat senang membiarkanku untuk menikmati mandi hujan setiap hujan itu hadir." Batinnya.

Langkah kecilnya mulai menyusuri pinggiran lorong kecil. Genangan air mulai mengambang pada petak pemakaman ini. Sekilas di palingkan wajahnya menatap timbunan yang tampak baru di antara lainnya. Ada sosok Mi yang tersenyum mengembang disana.####

Share:

0 komentar:

Post a Comment

Total Pageviews

Popular Posts

Powered by Blogger.

Apakah blog ini bermanfaat?

Translate

Copyright © Ummi Waffa Dan Tulisan | Powered by Blogger

Design by ThemePacific | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com