Saturday 26 November 2016

Malaikat Api



Yuhui....
"Hei bangun-bangun, sudah tiba waktunya, perintah sudah harus dilaksanakan sekarang." Merah berselancar ria, menerobos kumpulan biru, coklat, hitam, hijau dan kelabu yang masih tertidur pulas tak sadarkan diri.

"Aku seperti para Ashabul Kahfi saja Tam, ini pasti bukanlah tidurku yang panjang." Celoteh biru kepada hitam. Tangannya kembali mangusap kedua mata. Dia pun menguap beberapa kali.

"Aku juga demikian, badanku sakit semua." Ujar hitam.
Merah masih berteriak sambil terus melajukan selancarnya. Tubuhnya meliuk segesit ular Sanca. Tiupan angin menambah keanggunan gerakannya.

Wajar saja jika kehadirannya mampu membuat rumah kami yang tadinya laksana pemakaman tak terurus menjadi sebuah pasar dengan pesta pora di setiap sudutnya.
Perkampungan dilapisan bawah itu kini telah dipenuhi kumpulan warna. Para pemimpin dari kabilah masing-masing warna telah berada pada posisinya masing-masing.
Kilauan sinar berpendar memenuhi pelataran yang semula hening.
Kumpulan burung malam telah beranjak pergi. Mereka meninggalkan sarang untuk bergerak pada tempat yang telah disepakati.

Serumpunan semut juga sudah memperbaiki sarang mereka ditanah terdalam, mereka aman disana dengan persediaan makanan dalam jumlah yang cukup.
Sambut sahut binatang malam tak terdengar lagi, menandakan hutan yang tadinya ramai jadi tak berpenghuni.
Biru mulai memanaskan tubuhnya. Hitam yang sedari tadi disampingnya merasa terusik.

"Diamlah sebentar Ru, aku merasa tidak nyaman bila kau terus seperti itu." Biru hanya cengengesan melirik hitam.

"Aku sudah tidak sabar nih! Pasti ada tugas penting untuk kita, jika tidak mana mungkin Merah sesenang itu." Kata biru. Kedua bola matanya menatap Merah yang berdiri di barisan terdepan.

Hitam mengikuti arah bola mata Biru. Di atas podium, Hitam melihat keanggunan kilauan merah, ada kecut di dirinya. "Ah, warna itu adalah warna yang menampakkan kematian secara nyata, jalang keanggunan gerakannya menambah kharismatik empunya warna." Bisiknya dalam hati. Hitam merasa ada sesuatu yang kurang dalam dirinya, akan tetapi seketika Hitam tersadar, bahwa dirinya juga lambang kegelapan hakiki. 

Lihatlah kegelapan yang menyelimuti dasar lautan dari palung-palung terdalam, bukankah dirinya empunya tempat itu, sang warna Hitam? Seketika perasaan syukur menjalar disekujur tubuhnya, membasuh biak rasa yang tadinya menggelegar. Kini rasa itu padam.
Merah tampak gagah. Mahkota telah disematkan pada kepalanya.

"Teman-teman, maaf kuhaturkan kepada semuanya yang telah ku ganggu dalam tidurnya. Malam ini adalah spesial bagi kita, sekian lama kita mendiami bebatuan, rerumputan, para tumbuhan dan lapisan tanah dan ranting, saat ini telah sampai perintah dari pencipta kita untuk menyerang musuhNya. Dari hasil pendengaranku, para malaikat telah berbisik-bisik bahwa cukup lama musuh itu telah diberi tangguh, akan tetapi tiada perubahan yang mereka tampakkan, melainkan kegilaan yang menjadi-jadi. Untuk itu, aku telah bersumpah akan menjalankan perintah itu dan tidak akan mengingkarinya. Bagi kalian semua berlaku sumpah yang sama, apakah kalian mendengarku?"

"Iya, kami dengar." Sahut seluruh penghuni hutan yang telah tersulut jihad.

"Apakah kalian patuh terhadap perintahNya?" Merah kembali berteriak.

"Ya, kami taat dan kami patuh!" Pekik mereka.

"Jika begitu, serbulah mereka wahai ciptaan Allah, buat mereka ketakutan, Allah berjanji akan membantu kita untuk mencampakkan ketakutan di hati mereka dan rasa putus asa yang mendalam. Kejar mereka seperti rudal-rudal mereka mengejar para mujahid di tanah para nabi ini, jangan biarkan mereka terlelap sejenakpun untuk menikmati indahnya tidur di malam ataupun siang hari. Serang mereka, sesungguhnya Allah telah menjamin kemenangan kepada kita." Merah terus berteriak membakar semangat para warna.

Pasukan dari kabilah Merah memimpin di depan, mereka tertawa terbahak-bahak, liukan tubuh mereka terasa semakin indah dengan usikan,dari sang angin. Suara gemeretak menjalar ke selatan dan utara. Hitam tersenyum riang manakala angin membawa liukan tubuh Merah meninggalkan apa yang baru saja dilewatinya. Hitam pun bergumam, 'sekarang giliranku.'

Tidak butuh waktu lama untuk merubah tampilan apa yang dilalui pasukan itu menjadi lautan warna yang menyisakan sesak. Kegosongan, asap yang meninggi, bau amis dari binatang piaraan mereka yang tak bisa lari melebihi kencangnya angin. Semuanya berubah gersang.
Merah menoleh ke belakang, di lihatnya hasil kerja para anak buahnya, diapun tersenyum.

"Mari semua! perjalanan kita masih panjang." 

Para kabilah warna hampir menduduki semua pos penting wilayah musuh. Kencangnya tiupan angin yang digunakan para warna berselancar mempermudah mereka untuk pindah dari satu tempat ke tempat lainnya.
Ratusan kilometer dari huru hara itu, gema adzan terus berkumandang dari bibir-bibir para mujahid di rumah mereka masing-masing.

Hei, apakah sudah masuk waktu shalat? Tidak, shalat Isya telah mereka tunaikan secara berjamaah di jalan raya. 

Jadi, untuk apa suara adzan itu?
Mereka sedang memanggil tuhan mereka, dengarlah suara mereka bertalu-talu di malam yang merangkak larut ini. Mereka memanggil dan memanggil seraya berseru di hati, "Ya Allah, kami di larang untuk mengumandangkan panggilanMu di mesjid-mesjid yang kami cintai, tapi dengarkanlah ya Allah, kami akan mengumandangkan adzan di rumah-rumah yang kami tempati dan kami jadikan tempat shalat untuk menyembahMu Ya Allah."

Merah masih menari indah. Gema adzan masih terdengar sayup-sayup ditelinganya.
Fajar telah menyingsing, akan tetapi perintah itu belum di tarik.
Matanya memandang lurus kedepan. Gedung putih bertingkat yang menghalang jalannya menjadi sasaran selanjutnya.

Sayapnya di kembangkan kembali. Diapun tersenyum laksana Malaikat Api. #####
Share:

0 komentar:

Post a Comment

Total Pageviews

Popular Posts

Powered by Blogger.

Apakah blog ini bermanfaat?

Translate

Copyright © Ummi Waffa Dan Tulisan | Powered by Blogger

Design by ThemePacific | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com